Sabtu, 31 Desember 2016

Missione è vocazione e scelta#



Mi chiamo Ferdinandus Supandri e sono rientrato in Italia il 14 ottobre 2016. Prima, ero in Indonesia, il mio paese natale, per le vacanze e soprattutto per ricevere l’ordinazione presbiterale il 30 agosto 2016.




Con e per i giovani…
I superiori mi hanno chiesto di venire qui a Salerno, per realizzare il sogno di san Guido Maria Conforti: “Fare del mondo una sola famiglia in Cristo”. Mi impegnerò nell’animazione missionaria e vocazionale.

È un lavoro che richiede tutto di me: tanta forza fisica e mentale e un cuore umile, pronto a essere arricchito, prima di tutto, dalla Parola vivente del Signore, dalle realtà in cui mi trovo e sarò aiutato anche dalle persone conquistate dall’impegno missionario di san Guido Conforti.

Mi permetterò di dire che lavorerò con e per i giovani, ravvivando in loro lo spirito missionario perché si sentano protagonisti, inviati da Dio all’interno della vita ecclesiale e umana.

Credo che una tra le numerose caratteristiche dei giovani sia l’entusiasmo della scoperta: scoprire se stessi, il senso, il dono e il disegno di Dio nella loro vita.

Perciò, mi auguro che anche la mia presenza possa aiutare a orientare i ragazzi a scoprire e sentire la presenza di Dio nella loro esistenza.  



# l’articolo è stato già pubblicato nei Missionari Saveriani di dicembre 2016

Rabu, 30 November 2016

Nunang Sebelas September Dua Ribu Enambelas…



Saya hendak mengabadikan salah satu moment penting dalam hidup saya yaitu misa perdanaku yang berlangsung di Paroki St. Mikael Nunang, Nunang, Wae Sano, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia pada tanggal 11 September 2016. Wajar kalau keluargaku, sahabat, kenalan, umat paroki Nunang, para konfrater Xaverian, dan semua yang hadir memusatkan perhatian kepadaku. Saya merasakan sungguh hal itu terjadi. Di lain pihak saya memusatkan perhatianku pada hal yang terkandung di balik kehadiran mereka: mereka datang untuk merayakan apa yang Tuhan kerjakan dalam hidupku melalui campur tangan mereka. Sebenarnya bukan saya yang menjadi obyek perhatian pada saat itu, melainkan terpusat pada rasa syukur karena Tuhan mendengar doa-doa kami. Di balik banyaknya umat yang hadir saya menangkap atau memetic sebuah pesan yang sangat mendalam dan sangat besar yaitu bahwa mereka datang mendoakan dan mendukung saya. Ini merupakan sebuah panggilan dan tugas yang perlu kuingat selalu dan perlu kujalani. Berikut ini saya lampirkan komentar yang kubuat sendiri untuk mengantar umat dalam mengikuti misa perdanaku. Di dalamnya terkandung pula makna yang kuberikan dari apa yang Tuhan limpahkan kepadaku.

@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

Ibu, bapak, saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, hari ini kita berkumpul untuk bersyukur kepada Allah atas rahmat-Nya yang berlimpah kepada kita, terutama atas rahmat imamat yang Tuhan anugerahkan kepada anak, adik, saudara kita P. Ferdinandus Supandri, SX yang telah ditahbiskan menjadi pelayan Tuhan dan Gereja-Nya di Paroki Santo Fransiskus Asisi, Aek Nabara, pada tanggal 30 Agustus 2016 yang lalu oleh Monsignor Anicetus Bongsu Sinaga, Ofm.Cap, uskup Keuskupan Agung Medan.
           
Selama 11 tahun P. Yanto (atau kerap dipanggil Pandri oleh teman-temannya di komunitas Xaverian) telah merelakan dirinya dibimbing dan dibentuk oleh Tuhan lewat nasihat, didikan, contoh dari orang tua dan keluarganya, juga sahabat kenalan, para pastor dan para pendidik yang telah mendampinginya. P. Yanto meyakini bahwa rahmat imamat khusus yang beliau terima bukanlah hasil perjuangan pribadinya, bukan pula karena kepintarannya belaka, juga bukan karena beliau lebih dari yang lain; melainkan karena Tuhan mendengar dan merestui kerinduannya, juga mendengar doa-doa umat paroki Nunan
g. Tuhan telah memilihnya di antara kita untuk diutus kepada kita, umat-Nya, oleh karena itu mari kita bersama-sama bersyukur atas perhatian Tuhan terhadap Gereja-Nya yang masih berziarah di dunia ini. 
Sakramen imamat yang beliau terima bukanlah hal yang harus dibanggakan karena merupakan anugerah Tuhan yang harus disebarluaskan atau diwujudnyatakan kepada umat yang dia layani. Untuk itu di awal panggilannya sebagai pengudus umat, pewarta Sabda Allah dan gembala Gereja-Nya kita mendukung dan mendoakannya agar, melalui cara hidupnya, kita dapat merasakan dan menikmati betapa baiknya Tuhan (bdk.Mzm 33/34,9) kepada kita.
            Pada kesempatan khusus ini, P. Yanto akan merayakan Ekaristi: menghadirkan kembali cinta Tuhan, lewat korban Yesus Kristus, yang besar kepada kita. Untuk itu marilah kita bersama-sama membuka hati agar Tuhan layak hadir dan membaharui hidup kita. Dengan meriah marilah kita menyanyikan lagu pembuka.


Selasa, 30 Agustus 2016

Bergoyang ria tanpa musik….

Aek Nabara, Sumatera Utara, 24 Agustus 2016
Kurang lima belas menit jam Sembilan pagi mobil kijang biru meluncur keluar dari halaman Paroki Aek Nabara. Pengemudinya adalah Br. Siprianus dengan dibantu oleh co-sopir P. Valentin, sx. Di kursi tengah ditempati oleh dua orang Flores: Sr. Cornelia, KYM dan saya.  Kami sedang meluncur ke Stasi Panjomuran untuk merayakan ekaristi.

Selama tiga puluh menit mobil ini melaju dengan kecepatan delapan puluh sampai dengan seratus kilometer per jam; namun selama empat puluh menit kemudian berubah drastis menjadi sepuluh sampai dua puluh kilometer per jam karena kondisi jalan tidak memungkinkan lain daripada itu. Berkali-kali kami bergoyang bukan karena mengikuti irama musik; dari pop Perancis sampai irama musik country  dipadu dengan musik Ambon kesukaan bang sopir, melainkan karena kondisi jalan yang bergelombang dan berdebu. Keadaan itu tidak menghalangi semangat dan kerinduan kami untuk bertemu umat stasi yang tentu saja sedang menanti kehadiran Kristus melalui pelayanan sakramen yang hedak kami hadirkan.

Tepat jam sepuluh kami memasuki halaman dan kapela stasi Panjomuran dan disambut dengan hangat oleh seorang bapak yang segera menjemput dan memberi salam kepada kami. Di dalam kapela yang berukuran sangat kecil dan belum rampung pembangunannya ini telah hadir sekitar belasan umat termasuk beberapa anak-anak yang satu per satu pun datang menyalami kami. 

Perhatianku tak dapat kuhindarkan dari suasana internal kapel yang menampakkan apa adanya. Ketika menghadap ke altar, ada sekitar dua lajur yang lumayan kontras: satu lajur berisi bangku-bangku tempat umat duduk. Di dalam kapel, sebagai tempat ibadat, sangat tepat keberadaan bangku-bangku ini. Lajur lainnya diisi oleh material untuk pembangunan gereja: tampak sekali setumpuk balok-balok panjang yang tergeletak ke arah altar, selain itu masih ada banyak sekali besi beton dan beberapa sak semen. Sekitar dua meter dari pintu masuk tergantung sebuah ember kecil yang berisi lilin untuk keperluan ibadat yang sengaja dimasukkan di situ untuk menghindari serangan para  tikus. Keberadaan altar menjadi simbol   utama identitas kesakralan tempat umat katolik ini berkumpul memuliakan dan memperbarui iman mereka akan Tuhan yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. 

Disatukan oleh iman akan Allah yang rela merendahkan diri-Nya, menjadi manusia dan lahir di kandang yang hina demi menyelamatkan umat-Nya telah mengalahkan teriknya mentari maupun jarak yang sangat jauh. Semangat Tuhan yang ingin bertemu dengan umat-Nya melandasi pengorbanan masing-masing dari kami untuk saling berjumpa di tempat yang sederhana ini. Memang sungguh dirasakan bahwa dalam kesederhaan, baik tempat maupun kesederhanaan hidup umat di stasi ini, Tuhan menghadirkan diri-Nya.

Kehadiran-Nya itu kami rasakan lewat katekese liturgis sederhana dan singkat yang dibuat oleh Sr. Cornelia, KYM sebelum misa dimulai. Beliau mengantar umat untuk berjumpa dengan Tuhan dalam Ekaristi kudus melalui beberapa penjelasan singkat soal sikap umat dalam mengikuti misa: termasuk kemudian membuat latihan koor singkat dan mempersiapkan para lektor. Dalam waktu yang bersamaan saya membantu P. Valentin mempersiapkan altar dan mempersiapkan segala hal untuk pembaptisan Jessica, seorang anak yang berumur lebih dari satu tahun. Kerinduan kami untuk berjumpa dengan Tuhan diteguhkan dan disempurnakan lewat perayaan Ekaristi kudus dengan mengambil bacaan bukan dari bacaan harian dari yang bersangkutan melainkan mengambil bacaan dari hari Minggu biasa sebelumnya. Jadi, kami merayakan ekaristi mingguan di hari Selasa.  Ini merupakan pengalaman pertama dan baru bagiku di mana hari “Selasa dijadikan hari Minggu”: sebuah pengalaman iman yang sangat menyentuh di mana Tuhan dirindukkan kehadiran-Nya dan bersedia ditemui dalam suasana tempat yang sederhana terutama di dalam hati orang-orang sederhana. Terima kasih Tuhan untuk semuanya ini.


Sekitar pukul tiga belas lebih tiga puluh menit keempat penumpang istimewa dari mobl kijang biru ini kembali bergoyang ria mengikuti gelombang naik turunnya jalan yang kami lalui untuk kembali ke markas paroki pusat Aek Nabara. Sebuah perjalanan yang jauh tetapi menyenangkan karena semangat Tuhan untuk menjumpai umat dalam kesederhanaan suasana lahir batin mereka telah meresap dalam cara hidupku. Semoga Tuhan memampukanku untuk mengenal-Nya lebih mendalam menjadi mimpiku sepanjang perjalanan pulang ini. 

Kamis, 25 Agustus 2016

“Nyasar” dari Bologna sampai Dubai…



Saya masuk pesawat Emirates EK 094 dari Borgo Panigello, Bologna, Italia jam 14.45 setelah menempuh perjalanan panjang dari Parma selama satu jam lebih. Saya menempati kuris no. 39 K persis bagian jendela: sebelah kanan dari pesawat. Saya tidak mengira mendapat tempat strategis ini di mana dengan mudah saya dapat mengambil foto dengan kamera yang dihadiahkan oleh Giovanni Ruzzi, sahabat sekaligus penderma dan fotografer resmi dari frater-frater teologi di Parma.

Ketika saya mau menempati kursiku saya harus meminta permisi kepada salah satu penumpang di kursi I untuk dapat menuju kursiku. Tampaknya beliau berasal dari Inggris karena badannya tinggi besar, berambut panjang hitam lebih panjang dari rambutku: bahasa Inggrisnya sangat lancar seperti air mengalir. Kepada dia saya bertanya, sekedar untuk memulai percakapan dengan beliau, apakah saya bisa meletakkan tas tangan atau ransel kecilku di bawah kursi dudukku. Dia bilang tidak tahu apakah diperkenankan meletakkan tasku itu di bawah kakiku dengan nada yang cenderung menolak atau melarang. Saya mengikuti pesannya dengan menempatkan tasku itu di bagasi di atas kepala seteleha lebih dahulu mengeluarkan, tentu saja, diariku ini, HP dan kamera dengan maksud dapat menggunakan mereka secara leluasa saat adat kesempatan baik. Beberapa saat kemudian saya mengambil pena dan menggoresi diari ini dengan cerita atau kisah atau unek-unek yang sedang kutulis sejak dari sekarang ini.

Saat menulis ini, baru kusadari bahwa inilah kesempatan pertama saya menulis lagi dalam bahasa Indonesia setelah setahun lebih absen menulis dalam bahasa yang kucintai karena sibuk lebih dari setahun terakhir saya sibuk menyelesaikan skripsi atau tesinaku. Rasanya ide yang terungkap dalam kalimat mengalir lancar tanpa harus berhenti memikirkan atau memilih kata-kata dalam bahasa Indonesia. Hal ini bisa menggambarkan suasana hatiku yang gembira menyambut kesempatan emas ini untuk kembali ke tanah air terutama untuk berjumpa, bersua dengan keluargaku yang kucintai dan kurindukan.

Jujur saja sejak saya berangkat dari Parma jam 11.00 siang sampai saat ini suasana hatiku sangat tenang tanpa sedikitpun merasa takut selain rasa lapar minta makan saat duduk di ruang tunggu—Sebotol air minum dan dua bungkus kecil biskuit berhasil memuaskan rasa haus dan laparku yang tidak kubayangkan akan terjadi sejak saya berangkat dari Parma. Ya, itulah otaknya laki-laki, yang tidak memikirkan sebelumnya kebutuhan primer selama perjalanan jauh—Saya yakin bahwa rasa tenang ini ada atau datang berkat rahmat Tuhan juga berkat doa banyak orang terhadapku. Untuk mensyukuri ini dan untuk meminta perlindunganNya selama perjalanan ini saya membuat tanda salib dan berdoa dalam hati saat hendak melangkahkan kakiku ke tangga pesawat. Saya yakin Tuhan ada dan hadir bersamaku, bersama kami. Tuhan bekerja dan membantu kami lewat kecerdasan dan kerjasama semua pihak termasuk pilot, pramugari dan para petugas lainnya.

Tak kusia-siakan kesempatan duduk dekat jendela pesawat untuk melihat kota, pulau, laut dan awan dari atas pesawat. Kalau sebelumnya saya melihat awan dari bawah, sekarang saya melihat kota dari atas awan. Pemandangannya tentu saja indah dan menyeluruh: terutama menyaksikan cahaya lampu di kota maupun cahaya lampu kapal-kapal yang sedang berlayar di laut. Melihat kota dari atas pesawat seakan membrowsing sebuah kota di google maps.

Selain memandang indahnya alamku dari jendela pesawat saya sempat meluangkan waktu untuk nonton film sampai tertidur lelap. Akibatnya kurun waktu lima jam lima menit, waktu tempuh dari Borgo Panigello (Italia) ke Dubai  (Qatar) sangat singkat: sampai akhirnya pesawat EK 094 mendarat di Dubai jam 21.00 waktu Italia atau jam 23.00 waktu Qatar. Satu jam kemudian saya baru bisa menemukan pintu A17, pintu di mana para penumpang yang hendak ke Indonesia akan check in, meskipun telah menggunakan dua jasa angkutan: bus dari pesawat ke ruang tunggu, kereta api dari ruang tunggu ke pintu check in tanpa sedikit pun macet. Itu menandakan betapa luasnya area Bandara Internasional Dubai. 

Setelah selesai makan malam yang telat atau sarapan pagi yang terlalu cepat di restoran Buffet the Mazzinai, yang terletak di ruang A2, di mana saya dapat memakan nasi campur daging, saya menempati kursi dekat tempat charge HP untuk mengecas Hpku yang baru dihadiahkan kepadaku oleh P. Raimondo Sommacal, sx, empat hari lalu, tepatnya Sabtu, 2 Juli 2016. Sambil menunggu baterai penuh, saya lanjut menulis kisah perjalanan pulangku ke tanah air untuk bertemu keluarga sekaligus mempersiapkan diri untuk menerima tahbisan imam yang akan berlangsung di Aeknabara tanggal 30 Agustus 2016. Inilah cuti pertama yang kubuat setelah ”nyasar” di Italia selama tiga tahun sepuluh bulan (1 September 2012-5 Juli 2016). Merupakan waktu cuti yang sangat ditunggu-tunggu.


Di tempat ini, di ruang tunggu zona A, ada banyak sekali orang: kebanyakan dari kami berasal dari India dan Indonesia di mana di antara orang-orang Indonesia ada lebih dari 30 anggota tentara indonesia (TNI). Saya tidak tahu dari mana datangnya mereka: bisa jadi mereka baru pulang dari suatu tugas misi. Orang-orang bule tidak terlalu banyak di ruang tunggu ini.

Hal-hal aneh yang terjadi selama perjalanan ini juga saat berada di Dubai adalah sebagai berikut. Tanpa sadar, saat berbicara dengan pelayan restoran, saya menggunakan bahasa Italia. Saya baru sadari soal itu ketika dia bilang bahwa dia tidak mengerti pertanyaanku. Dengan diam sejenak sambil mengingat kembali bahasa Inggrisku, saya menanyainya dalam bahasa Inggris yang terbata-bata. Lalu, ketika saya sampai di tangga setelah makan di restoran Buffet the Mazzinai  kujumpai dua orang pemuda India: mereka menanyaiku di mana restoran—yang diindikasikan dalam tiket—dalam bahasa India. Saya mengerti pertayaan mereka itu karena mereka menggunakan mimik minta makan. Saya berusaha menjelaskan dalam bahasa Inggris tetapi mereka tetap menjawabku dalam bahasa India di mana salah satu dari mereka mengulang kata restoran.

Di sekeliling tempat dudukku sekarang kudengar merdunya suara orang berbicara bahasa Indonesia, bahkan ada juga yang berbahasa Jawa. Hanya saya saja yang belum berani memperdengarkan suaraku karena tidak ada seorangpun yang saya kenal untuk ngobrol. Duduk, diam dan menunggu memang hal yang sangat melelahkan. Hampir setiap lima menit saya mengontrol jam check in yang tidak kunjung tiba. Sepertinya waktu transit terasa lebih panjang dari waktu tempuh pesawat dari Bologna ke Dubai. Tapi, ya, mau gimana lagi. Satu-satunya hal yang menarik yang saya lakukan adalah mengamati orang yang lalu lalang ke sana kemari. Aroma kue-kue dari McDOnalds atau aroma kopi dari bar maupun aroma makanan dari restoran yang ada di hadapan kami tidak menarik sama sekali perhatianku. Mau otak-atik HP tidak bisa karena gak tahu apa-apa mengoperasikan HP.   


Kamis, 30 Juni 2016

Desidererei di essere perdonato…

Il tema del campo lavoro missionario 2016 gestito dai Missionari Saveriani, Missionarie di Maria (Saveriane) e Laici Saveriani a Salerno è stata: “Missione: Misericordia”. Ai ragazzi partecipanti (12-18 anni) è stato ribadito di comprendere la missione non tanto di andare a un paese lontano dalla propria o di fare cose grandi quanto piuttosto, prima di tutto, di cominciare da sé a costruire e coltivare un cuore compassionevole rispecchiandosi a Gesù Cristo, il volto misericordioso di Dio Padre. Gesù salva e difende la donna che sta per essere lapidata con misericordia poiché Gesù vede la donna non dal suo peccato commesso, ma intuisce che la donna ha bisogno di essere liberata. Gesù ha compassione verso la donna. Gesù agisce non con la legge umana, ma con la legge divina, cioè misericordia. In una riflessione di gruppo, ai ragazzi è stata provocata questa domanda: “Se fossi tu al posto della donna, come desidereresti di essere giudicata/o?” Le risposte sono state queste: “Desidererei di essere giudicato con misericordia; desidererei di essere perdonato; desidererei di essere liberato”. Implicitamente nelle loro risposte contengono già il germe della misericordia da coltivare.

In particolare, in questo momento, vorrei evidenziare l’atto misericordioso di Gesù a Zaccheo in cui Gesù si fa accogliere da Zaccheo.

Nella Lectio Divina, martedì 21 giugno 2016, abbiamo letto e riflettuto la conversione di Zaccheo. C’era questa domanda nel nostro gruppo: che cosa mi incuriosisce, che cosa mi impressiona, che cosa mi attrae o che cosa mi meraviglia della storia di Zaccheo?

Mi impressiona la conversione immediata di Zaccheo. Mi sono chiesto: qual è la causa di questa sua conversione? Sapere che il suo cambiamento di atteggiamenti è nato dall’esperienza di essere accolto/amato da Gesù. Zaccheo è salito sull’albero non per essere guardato o visto da Gesù o dalla folla, per guardare Gesù: è salito non per convertirsi, ma per curiosità di conoscere Gesù.

Un’altra particolarità è lo sguardo di Gesù, puntato direttamente su Zaccheo sull’albero. Come mai Gesù, che sta in mezzo alla folla, riesce a notare o guardare Zaccheo? Il che significa che Gesù ha pensato o desiderato o voluto quest’incontro particolare con Zaccheo. In realtà Gesù ha preparato e ha voluto farsi accogliere da Zaccheo. Quindi la conversione di Zaccheo è avvenuta da quest’iniziativa sua e dall’accoglienza fatta da Gesù. Gesù non giudica Zaccheo per il lavoro che fa, per quanti soldi ha rubato o per i peccati che ha commesso: piuttosto Gesù accoglie Zaccheo come una persona bisognosa d’amore e di accoglienza.

Durante la messa conclusiva ho condiviso questo pensiero ai ragazzi:
 “Cari ragazzi, quest’accoglienza; questa capacità di incontrare e di accettare gli altri ce l’avete nel vostro sangue, fa parte del vostro DNA. Vi confesso che siete davvero le persone eccezionali, accoglienti e calorosi.  Mi stupisce il vostro modo in cui accogliete gli altri. La cosa che dovete fare è far crescere/alimentare nel vostro cuore questa capacità di accogliere calorosamente gli altri: dovete aumentarla, moltiplicarla ed esprimerla a chiunque.

Ancora una volta ve lo ripeto che l’esperienza di essere accolti e amati genera vita e fa la differenza. Tale esperienza suscita un cambiamento sentimentale, interiore e relazionale. L’esperienza di essere accettati in certo modo cambia la propria vita e la vita degli altri. L’esperienza dell’innamoramento—la vostra fase di vita—ce lo dimostra chiaramente. Cioè ci si innamora poiché ci si accorge di essere pensato/voluto/trattato con attenzione e sguardo particolare”.

Che cosa significa “Missione: Misericordia”? Essere misericordiosi significa porre o svolgere il proprio cuore (cordia) nei miseri altrui (misericordia: miseri e cordia). Il cuore si intende non tanto l’organo biologico dell’uomo quanto piuttosto il centro interiore dove si sperimenta la gioia e la delusione; la compassione e l’indifferenza su di sé e sugli altri. La missione come misericordia significa, quindi, coinvolgersi alla gioia degli altri. Significa anche avere compassione alle preoccupazioni, ai problemi e alle sofferenze delle persone in casa e dei vicini di casa.

Vorrei finire questo “racconto” scrivendo queste belle frasi formulati da alcuni dei ragazzi:
“Missione è muoversi, partire sempre per un nuovo servizio che non è destinato solo ai propri cari, ma a chiunque si trovi sul cammino”.
“Missione è non sentirsi mai arrivato nella formazione, nella fede, nell’amore e disponibilità per gli altri”.
“La più grande missione di un uomo è essere cristiani”.
“Le cose più vive e vere della nostra esistenza sono anche quelle che non si possono spiegare”.


Desidererei di essere perdonato…

Il tema del campo lavoro missionario 2016 gestito dai Missionari Saveriani, Missionarie di Maria (Saveriane) e Laici Saveriani a Salerno è stata: “Missione: Misericordia”. Ai ragazzi partecipanti (12-18 anni) è stato ribadito di comprendere la missione non tanto di andare a un paese lontano dalla propria o di fare cose grandi quanto piuttosto, prima di tutto, di cominciare da sé a costruire e coltivare un cuore compassionevole rispecchiandosi a Gesù Cristo, il volto misericordioso di Dio Padre. Gesù salva e difende la donna che sta per essere lapidata con misericordia poiché Gesù vede la donna non dal suo peccato commesso, ma intuisce che la donna ha bisogno di essere liberata. Gesù ha compassione verso la donna. Gesù agisce non con la legge umana, ma con la legge divina, cioè misericordia. In una riflessione di gruppo, ai ragazzi è stata provocata questa domanda: “Se fossi tu al posto della donna, come desidereresti di essere giudicata/o?” Le risposte sono state queste: “Desidererei di essere giudicato con misericordia; desidererei di essere perdonato; desidererei di essere liberato”. Implicitamente nelle loro risposte contengono già il germe della misericordia da coltivare.


In particolare, in questo momento, vorrei evidenziare l’atto misericordioso di Gesù a Zaccheo in cui Gesù si fa accogliere da Zaccheo.

Nella Lectio Divina, martedì 21 giugno 2016, abbiamo letto e riflettuto la conversione di Zaccheo. C’era questa domanda nel nostro gruppo: che cosa mi incuriosisce, che cosa mi impressiona, che cosa mi attrae o che cosa mi meraviglia della storia di Zaccheo?

Mi impressiona la conversione immediata di Zaccheo. Mi sono chiesto: qual è la causa di questa sua conversione? Sapere che il suo cambiamento di atteggiamenti è nato dall’esperienza di essere accolto/amato da Gesù. Zaccheo è salito sull’albero non per essere guardato o visto da Gesù o dalla folla, per guardare Gesù: è salito non per convertirsi, ma per curiosità di conoscere Gesù.

Un’altra particolarità è lo sguardo di Gesù, puntato direttamente su Zaccheo sull’albero. Come mai Gesù, che sta in mezzo alla folla, riesce a notare o guardare Zaccheo? Il che significa che Gesù ha pensato o desiderato o voluto quest’incontro particolare con Zaccheo. In realtà Gesù ha preparato e ha voluto farsi accogliere da Zaccheo. Quindi la conversione di Zaccheo è avvenuta da quest’iniziativa sua e dall’accoglienza fatta da Gesù. Gesù non giudica Zaccheo per il lavoro che fa, per quanti soldi ha rubato o per i peccati che ha commesso: piuttosto Gesù accoglie Zaccheo come una persona bisognosa d’amore e di accoglienza.

Durante la messa conclusiva ho condiviso questo pensiero ai ragazzi:
 “Cari ragazzi, quest’accoglienza; questa capacità di incontrare e di accettare gli altri ce l’avete nel vostro sangue, fa parte del vostro DNA. Vi confesso che siete davvero le persone eccezionali, accoglienti e calorosi.  Mi stupisce il vostro modo in cui accogliete gli altri. La cosa che dovete fare è far crescere/alimentare nel vostro cuore questa capacità di accogliere calorosamente gli altri: dovete aumentarla, moltiplicarla ed esprimerla a chiunque.

Ancora una volta ve lo ripeto che l’esperienza di essere accolti e amati genera vita e fa la differenza. Tale esperienza suscita un cambiamento sentimentale, interiore e relazionale. L’esperienza di essere accettati in certo modo cambia la propria vita e la vita degli altri. L’esperienza dell’innamoramento—la vostra fase di vita—ce lo dimostra chiaramente. Cioè ci si innamora poiché ci si accorge di essere pensato/voluto/trattato con attenzione e sguardo particolare”.

Che cosa significa “Missione: Misericordia”? Essere misericordiosi significa porre o svolgere il proprio cuore (cordia) nei miseri altrui (misericordia: miseri e cordia). Il cuore si intende non tanto l’organo biologico dell’uomo quanto piuttosto il centro interiore dove si sperimenta la gioia e la delusione; la compassione e l’indifferenza su di sé e sugli altri. La missione come misericordia significa, quindi, coinvolgersi alla gioia degli altri. Significa anche avere compassione alle preoccupazioni, ai problemi e alle sofferenze delle persone in casa e dei vicini di casa.

Vorrei finire questo “racconto” scrivendo queste belle frasi formulati da alcuni dei ragazzi:
“Missione è muoversi, partire sempre per un nuovo servizio che non è destinato solo ai propri cari, ma a chiunque si trovi sul cammino”.
“Missione è non sentirsi mai arrivato nella formazione, nella fede, nell’amore e disponibilità per gli altri”.
“La più grande missione di un uomo è essere cristiani”.
“Le cose più vive e vere della nostra esistenza sono anche quelle che non si possono spiegare”.


Selasa, 31 Mei 2016

Il rapporto tra giustizia e misericordia Nella Bibbia, in Tommaso d’Aquino e in Papa Francesco


 Premessa
Questo lavoro scaturisce dalla mia lettura del n. 20 della Bolla Misericordiae vultus di Papa Francesco, in cui egli evidenzia un rapporto intrinseco tra giustizia e misericordia sulla base della visione biblica dei due concetti.
Questo rapporto (per lui, Papa Francesco) è molto importante per evitare la concezione legalistica della giustizia, cioè osservare la legge letteralmente. Questa tendenza legalistica crea la separazione. Dice il Papa: “Davanti alla visione di una giustizia come mera osservanza della legge, che giudica dividendo le persone in giusti e peccatori, Gesù punta a mostrare il grande dono della misericordia che ricerca i peccatori per offrire loro il perdono e la salvezza”.[1]
Nel contesto culturale e religioso, almeno del Vangelo, questa giustizia legalistica creava una esclusione tra i giusti e i non giusti; tra i santi e i peccatori, gli osservanti e i non osservanti. In particolare, se funzionasse ancora la legge: ‘occhio per occhio, dente per dente’, allora tutta la gente mancherebbe almeno di una parte del corpo. Nel nostro contesto la giustizia legalistica permette l’oppressione e la violenza. In fondo al principio legalistico c’è sempre la preoccupazione della credibilità della legge, perché, con la mentalità attuale, non priva dalle interesse personali, sembra che la legge sia favorevole solo ai potenti (es: la legge elettorale in qualche paese; in Indonesia in certo periodo di religiosità, di giorno i ristoranti sono pregati di non aprirli, per favorire la maggioranza).
 “Oggi tutto entra nel gioco della competitività e della legge del più forte, dove il potente mangia il più debole. Come conseguenza di questa situazione, grandi masse di popolazione si vedono escluse ed emarginate: senza lavoro, senza prospettive, senza vie di uscita. Si considera l’essere umano in se stesso come un bene di consumo, che si può usare e poi gettare”.[2] Giovanni Paolo II precisò il rischio grosso di questa giustizia legalistica, dicendo: “E’ ovvio, infatti, che in nome di una presunta giustizia (ad esempio, storica o di classe) talvolta si annienta il prossimo, lo si uccide, si priva della libertà, si spoglia degli elementari diritti umani”.[3] La tendenza a percepire la giustizia in questo modo è molto opprimente, fa perdere a questo concetto il suo valore liberante e umano. La giustizia legalistica crea più la morte che la vita; crea più la separazione e la distanza che l’unità. Il papa intuisce questa decadenza del valore originario della giustizia perciò vuole recuperarlo rapportandolo al concetto di misericordia perché “L'esperienza del passato e del nostro tempo dimostra che la giustizia da sola non basta e che, anzi, può condurre alla negazione e all'annientamento di se stessa, se non si consente a quella forza più profonda, che è l'amore, di plasmare la vita umana nelle sue varie dimensioni. È stata appunto l'esperienza storica che, fra l'altro, ha portato a formulare l'asserzione: sommo diritto, somma ingiustizia (summum ius, summa iniuria). Tale affermazione non svaluta la giustizia e non attenua il significato dell'ordine che su di essa si instaura; ma indica solamente, sotto altro aspetto, la necessità di attingere alle forze dello spirito, ancor più profonde, che condizionano l'ordine stesso della giustizia”.[4]

In questo lavoro vorrei evidenziare il rapporto tra giustizia e misericordia esaminandolo dal punto di vista della Bibbia, di Tommaso d’Aquino e di Papa Francesco nel documento Misericordiae vultus.

1. Giustizia e Misericordia nella Bibbia
1.1. La giustizia di Dio e dell’uomo
La giustizia in senso biblico ha, tra le altre, una dimensione religiosa, esprime l’atteggiamento di Dio riguardo all’alleanza. L’agire di Dio è sempre coerente alla promessa fatta, con la quale ha stretto alleanza con il suo popolo. La giustizia di Dio si manifesta quando Dio compie le sue promesse, nonostante ci sia l’infedeltà del suo popolo eletto. Su questo argomento Walter Kasper dice: Il concetto Biblico della giustizia zaddiq e zedaqah (giusto e giustizia) è diverso. Non sta in oppposizione a questa definizione [la giustizia è la virtù che concede a ognuno, suum cuique, ciò che gli spetta (Ulpiano, III sec.)…] ma la determina e la rende concreta. Esso intende la giustizia come fedeltà all’alleanza di Dio con Abramo (Gen 15) e poi con il suo popolo eletto (Es 19 s.; Dt 5 s.). Giusto è colui chi si attiene alla legge dell’alleanza (Ex 24,3; Dt 5,1; 6,17.25; Sa 106,3.31), e l’ubbidienza alla volontà di Dio ovvero la fede va accreditata come giustizia (Gen 15,6; Sa 106,3.31; Rm 4,3.9.22; Gal 3,6; Gc 2,23). Così la giustizia non è un ordine delle cose e del cosmo, soprattutto non è solo una questione economica, ma la giustizia consiste sia nel rapporto relazionale e comprensivo di fede con Dio, sia nel rapporto solidale e rispettoso fra gli uomini e nel rapporto responsabile con il creato, che è affidato all’uomo e al suo uso perché lo coltivi e lo custodisca (Gen 1,28; 2,15; Sa 8,7 ss.)[…] È la convinzione fondamentale della Bibbia, che Dio è giusto e giudicherà il mondo con giustizia, con rettitudine deciderà le cause dei popoli (Sa 9,9; Atti 17,36)”.[5]
In questo senso la giustizia si riferisce alla fedeltà al rapporto stabilito: Dio è giusto perché è fedele all’alleanza ed è altrettanto vero che l’uomo è giusto mantenendo la fedeltà all’alleanza (nell’adorare e nell’affidarsi solo a Dio). In altre parole l’obbedienza al patto con Dio è l’espressione della giustizia umana verso Dio. Questa obbedienza è gradita a Dio anche nel cuore contrito per aver commesso l’infedeltà:“I profeti affermano: Non basta l’abluzione esteriore, Dio vuole la purificazione e la conversione interiore del cuore. La predicazione fondamentale dei profeti è la chiamata alla conversione (schub; metanoia) a Dio, cioè il ritorno al rapporto e all’amore iniziale (Os 2,21 s.; 14,5). “Nella conversione e nella calma sta la vostra salvezza, nell’abbandono confidente sta la vostra forza” (Is 30,15; cfr. Os 14,2 s; Ger 3,19- 4,4; Ez 33,11 ecc.). “Tu non gradisci il sacrificio, se offro olocausti tu non li accetti. Uno spirito contrito è sacrificio a Dio; un cuore contrito e affranto tu, o Dio, non disprezzi” (Sal 51,19; cfr. 34,19; 40,7 s; Is 66,2 ss.; Gl 2,12 s). Dio vuole diritto e giustizia e non sacrifici (Am 5,21-27; Is 1,10-17; 5, 8, 5-8; Zac 7,5-10), vuole la misericordia e non il sacrificio, la conoscenza di Dio più degli olocausti (Os 6,6).[6]. La giustizia biblica, quindi, ha un valore relazionale[7], cioè è collocata nel rapporto con l’altro più che nel rapporto con una legge scritta..

1.2. La misericordia di Dio e dell’uomo
Ci sono due termini molto noti per identificare la misericordia nella Bibbia: sono hesed e rahamim. Il termine hesed (ebraico) viene tradotto con «misericordia», l’amore tenero e fedele, che appartiene al vocabolario dell’alleanza e che descrive il modo di essere e la bontà di Dio (cfr. Sal 103). Giovanni Paolo II in Dives in misericordia dice “Nell’antico Testamento hesed viene riferito al Signore [...] sempre in rapporto all’alleanza, che Dio ha concluso con Israele. Tale alleanza fu, da parte di Dio, un dono e una grazia per Israele”.[8] Il popolo eletto, Israele, è caduto nell’infedeltà dell’idolatria. Cosa fa Dio quando Israele ha rotto l’alleanza? Dio gli risponde mostrando il suo hesed: “Ma proprio allora hesed, […], svelava il suo aspetto più profondo: si manifestava ciò che era al principio, cioè come amore che dona, amore più potente del tradimento, grazia più forte del peccato.[9] Hesed è allora la fedeltà amorosa di Dio alla propria alleanza: Dio resta fedele anche quando il popolo tradisce, perché è il Dio misericordioso e pietoso, lento all’ira e ricco di grazia e di fedeltà”(Es 34,6). Hesed di Dio significa che Dio è fedele a sé e mantiene la sua parola, quindi la misericordia è l’identità personale più profonda di Dio: “A chi voglio fare grazia e di chi voglio avere misericordia, avrò misericordia” (Es 33,19).
Il termine rahamim si riferisce all’amore materno e viscerale di Dio. Si può dire anche tale termine esprime la tenerezza di Dio: “La radice rhm evoca il grembo materno, e il plurale rahamin descrive quel sentimento ricco di emotività che è l'amore materno (cf. Is 49,15): la sua traduzione migliore è tenerezza”.[10] Siccome le viscere fanno parte intima della corporeità umana ne consegue che l’amore viscerale di Dio ha a che fare con il suo sentimento di bontà, di compassione che scaturisce o nasce dal profondo del suo essere. Il che significa che l’amore di Dio verso noi, come rahamim, nasce non da una legge esteriore che lo costringe, ma al contrario nasce da un sentimento spontaneo e gratuito, nasce dall’esigenza del cuore che lega la madre al figlio. Questo amore viscerale appare nell’atteggiamento di Dio che non vuole la morte del peccatore, ma che si converta e viva (cfr. la parabola del padre misericordioso di Lc 15,11-32). Vale la pena evidenziare la spiegazione di Giovanni Paolo II su questo argomento: “Il secondo vocabolo, che nella terminologia dell’Antico Testamento serve a definire la misericordia, è rachamìm. Esso ha una sfumatura diversa dal termine hesed. Mentre questo pone in evidenza i caratteri della fedeltà verso se stesso e della responsabilità del proprio amore (che sono caratteri in certo senso maschili), rahamìm, già nella sua radice, denota l’amore della madre (rehem = grembo materno). Dal più profondo e originario vincolo, anzi dall’unità che lega la madre al bambino, scaturisce un particolare rapporto con lui, un particolare amore. Di questo amore si può dire che è totalmente gratuito, non frutto di merito, e che sotto questo aspetto costituisce una necessità interiore: è un’esigenza del cuore. È una variante quasi femminile della fedeltà maschile a se stesso, espressa dalla hesed. Su questo sfondo psicologico, rahamìm genera una gamma di sentimenti, tra i quali la bontà e la tenerezza, la pazienza e la comprensione, cioè la prontezza a perdonare. L’antico Testamento attribuisce al Signore appunto tali caratteri, quando parla di lui servendosi del termine rachamìm. Leggiamo in Isaia:Si dimentica forse una donna del suo bambino, così da non commuoversi per il figlio del suo seno? Anche se ci fosse una donna che si dimenticasse, io invece non ti dimenticherò mai (Is 49,15)[11].

 Davanti al Dio misericordioso che cosa fa l’uomo? L’uomo esprime la sua fiducia chiedendo il suo perdono e osservando i suoi commandi. Avere fiducia in Dio è l’espressione dell’amore dell’uomo verso Dio. Si può citare il caso di Davide il quale, dopo aver commeso un peccato, si è pentito e ha chiesto perdono a Dio. Mosè (Es 32) stesso ha chiesto perdono a Dio ricordandogli la promessa fatta ai Patriarchi di Israele.

1.3. Giustizia e Misericordia di Dio e dell’uomo nella Bibbia
Da queste spiegazioni si può affermare che sia la giustizia che la misericordia in senso biblico hanno a che fare con l’alleanza. Dio mostra la sua giustizia e misericordia per realizzare la sua promessa dando vita al popolo con cui si allea. Dall’altra parte l’uomo sperimentando la fedeltà di Dio gli esprime la sua fiducia. Quindi nella Bibbia la giustizia e la misericordia non si oppongono, anzi esprimono insieme l’identità di Dio o meglio l’atteggiamento di Dio verso il suo popolo e l’atteggiamento dell’uomo verso Dio.

2. Giustizia e Misericordia secondo Tommaso d’Aquino
2.1. La giustizia di Dio e dell’uomo
Per S.Tommaso la giustizia è “un ‘abito’, ossia una disposizione abituale dell’animo che tende a dare a ciascuno il suo, ciò che è strettamente connesso con una determinata persona sia per diritto naturale, sia per diritto positivo”[12]. Qui la giustizia ha a che fare con l’altro, cioè la disposizione di cogliere che l’altro è bisognoso come me e di riconoscere il diritto che spetta all’altro. Perciò tale giustizia crea un modo di rapportarsi/relazionarsi in modo paritario (uguaglianza). L’insistenza sul ‘dare a ciascuno ciò gli aspetta’ promuove il bene comune, cioè promuove il rapporto costruttivo/positivo e responsabilizzato tanto tra i singoli quanto tra la comunità e la singola persona e viceversa. Da qui derivano tre tipi di giustizia che conosciamo nell’ambito civile: commutativa, legale e distributiva[13].
 La giustizia di Dio secondo S Tommaso è distributiva nel senso che Dio offre o dà a ciascuno gratuitamente senza aspettare nulla in cambio. Nella rivelazione si vede molto la gratuità di Dio in cui si dona totalmente perché l’uomo abbia la vita. 

2.2. La misericordia di Dio e dell’uomo
Misericordia significa avere compassione per la miseria altrui e tale compassione scaturisce da un cuore misero che si avverte per chi versa in necessità, e che conduce/spinge una persona a prestare soccorso: “(…) è il sentimento di compassione che si avverte per chi versa in necessità, e che induce una persona a prestare soccorso: ‘misericordioso si dice chi ha un cuore pieno di commiserazione […] perché alla vista delle altrui miserie è preso da tristezza, come se si trattasse della sua propria miseria. E da ciò proviene che egli si adoperi a rimuovere l’altrui miseria. E questo è l’effetto della misericordia’ (I, q. 21, a. 3)”.[14]  Questa misericordia “va attribuita a Dio in modo principalissimo: non per quanto ha di sentimento o passione, ma per gli effetti che produce”(I, q. 21, a.3). Questo atto misericordioso di Dio avviene nella liberazione del popolo Israele dalla schiavitù dell’Egitto (Es 3,7); nel NT diviene visibile nella parabola del buon samaritano, e anche del padre misericordioso. Commentando Tommaso, Fausto Grimaldi scrive: “Allora, dal lato antropologico l’Aquinate ritiene che la misericordia è la compassione della miseria altrui […] Il cuore, il centro, il fulcro e la ragion d’essere della misericordia sta nella mancanza (privazione) di qualcosa nell’altro. Si è misericordiosi non perdonando (nel senso esclusivo del termine), ma colmando l’altro del vuoto che possiede; riversando nell’altro l’amore misericordioso che l’altro (non) si aspetta. Misericordia è moto, movimento, tensione verso l’altro: ed è così si opera la giustizia[15].

2.3. Il rapporto tra giustizia e misericordia
Sia giustizia che misericordia parlano di un atto relazionale, cioè di un rapporto con l’altro in cui la giustizia richiama una necessità obbligatoria di dare a ciascuno ciò che a lui è dovuto, mentre l’atto di misericordia scaturisce da una volontà gratuità anche verso chi è indegno di riceverlo. Ma c’è un rapporto più profondo in cui la misericordia va oltre la giustizia[16] ed è anche la pienezza[17] della giustizia.

3. Giustizia e Misericordia secondo Papa Francesco
3.1. Giustizia di Dio e dell’uomo
Papa Francesco ammette il concetto di giustizia come applicazione della legge secondo un ordine giuridico della società civile per garantire il suo bene comune e dovere di dare a ciascuno che gli spetta come suo diritto,[18] ma nello stesso tempo mette in luce la parte mancante di tale concetto e va oltre, superandolo con la visione scritturisca.
Egli dice, per superare la prospettiva legalista, che “la giustizia è concepita essenzialmente come un abbandonarsi fiducioso alla volontà di Dio”[19].
Commentando Paolo nella sua lettera ai Galati: “Abbiamo creduto anche noi in Cristo Gesù per essere giustificati per la fede in Cristo e non per le opere della Legge” (2,16), Papa Francesco scrive: “La sua comprensione della giustizia cambia radicalmente. Paolo ora pone al primo posto la fede e non più la legge. Non è l’osservanza della legge che salva, ma la fede in Gesù Cristo, che con la sua morte e resurrezione porta la salvezza con la misericordia che giustifica. La giustizia di Dio diventa adesso la liberazione per quanti sono oppressi dalla schiavitù del peccato e di tutte le sue conseguenze. La giustizia di Dio è il suo perdono (cfr Sal 51,11-16)”.[20] Ora la fede giustifica perché il suo oggetto non è più una legge (oggetto passivo misurato dall’uomo) ma la persona di Cristo che sceglie e misura, crea l’uomo nuovo. Si veda anche Mt 1,19 e 3,15 in cui Giuseppe e Gesù adempiono la giustizia perché accolgono il disegno di Dio, il quale insegna continuamente agli uomini la giustizia (cfr. Is 26,9).

3.2. Misericordia di Dio e dell’uomo
Papa Francesco, nel Misericordiae vultus, usa il termine ‘amore viscerale’ per descrivere la misericordia: “Insomma, la misericordia di Dio è […] una realtà concreta con cui Egli rivela il suo amore come quello di un padre e di una madre che si commuovono fino dal profondo delle viscere per il proprio figlio. È veramente il caso di dire che è un amore “viscerale”. Proviene dall’intimo come un sentimento profondo, naturale, fatto di tenerezza e di compassione, di indulgenza e di perdono” (Mv 5). “Misericordia: è la parola che rivela il mistero della SS. Trinità. Misericordia: è l’atto ultimo e supremo con il quale Dio ci viene incontro. Misericordia: è la legge fondamentale che abita nel cuore di ogni persona quando guarda con occhi sinceri il fratello che incontra nel cammino della vita. Misericordia: è la via che unisce Dio e l’uomo, perché apre il cuore alla speranza di essere amati per sempre nonostante il limite del nostro peccato. […] Dinanzi alla gravità del peccato, Dio risponde con la pienezza del perdono. La misericordia sarà sempre più grande di ogni peccato, e nessuno può porre un limite all’amore di Dio che perdona.”(Mv n. 2). In Gesù Cristo questa misericordia di Dio trova il suo atto e volto visibile (Mv n. 1) nell’avere compassione (Mv n. 8), nel cercare i perduti e gioire dopo averli trovati (Mv n. 9).
La misericordia viscerale descritta da Papa Francesco mostra il nucleo della fede e dell’agire cristiano. Cioè, siccome le viscere sono la parte profonda della corporeità umana, allora, nel loro senso figurato, significano che la misericordia al cuore della vita di Dio e del suo agire.
Il suo amore verso di noi non scaturisce da un rapporto dovuto, ma nasce da un sentimento spontaneo e da una compassione o bontà gratuita. Il prendersi cura di una madre verso suo figlio nasce da un amore gratuito per il bene del bambino: “Come si nota, la misericordia nella Sacra Scrittura è la parola-chiave per indicare l’agire di Dio verso di noi. Egli non si limita ad affermare il suo amore, ma lo rende visibile e tangibile. L’amore, d’altronde, non potrebbe mai essere una parola astratta. Per sua stessa natura è vita concreta: intenzioni, atteggiamenti, comportamenti che si verificano nell’agire quotidiano. La misericordia di Dio è la sua responsabilità per noi. Lui si sente responsabile, cioè desidera il nostro bene e vuole vederci felici, colmi di gioia e sereni. È sulla stessa lunghezza d’onda che si deve orientare l’amore misericordioso dei cristiani. Come ama il Padre così amano i figli. Come è misericordioso Lui, così siamo chiamati ad essere misericordiosi noi, gli uni verso gli altri” (Mv n. 9).

3.3. Il rapporto tra giustizia e misericordia secondo Papa Francesco
Papa Francesco scrive: “Non sarà inutile in questo contesto richiamare al rapporto tra giustizia e misericordia. Non sono due aspetti in contrasto tra di loro, ma due dimensioni di un’unica realtà che si sviluppa progressivamente fino a raggiungere il suo apice nella pienezza dell’amore. […] Da parte sua, Gesù parla più volte dell’importanza della fede, piuttosto che dell’osservanza della legge. Commentando Mt 9,13[«Andate e imparate che cosa vuol dire: Misericordia io voglio e non sacrifici. Io non sono venuto infatti a chiamare i giusti, ma i peccatori»] in cui Gesù si trova a tavola con i peccatori, Papa Francesco scrive ”Davanti alla visione di una giustizia come mera osservanza della legge, che giudica dividendo le persone in giusti e peccatori, Gesù punta a mostrare il grande dono della misericordia che ricerca i peccatori per offrire loro il perdono e la salvezza. […] La misericordia non è contraria alla giustizia ma esprime il comportamento di Dio verso il peccatore, offrendogli un’ulteriore possibilità per ravvedersi, convertirsi e credere.[…] Se Dio si fermasse alla giustizia cesserebbe di essere Dio, sarebbe come tutti gli uomini che invocano il rispetto della legge. La giustizia da sola non basta, e l’esperienza insegna che appellarsi solo ad essa rischia di distruggerla. Per questo Dio va oltre la giustizia con la misericordia e il perdono. Ciò non significa svalutare la giustizia o renderla superflua, al contrario. Chi sbaglia dovrà scontare la pena. Solo che questo non è il fine, ma l’inizio della conversione, perché si sperimenta la tenerezza del perdono. Dio non rifiuta la giustizia. Egli la ingloba e supera in un evento superiore dove si sperimenta l’amore che è a fondamento di una vera giustizia. Dobbiamo prestare molta attenzione a quanto scrive Paolo per non cadere nello stesso errore che l’Apostolo rimproverava ai Giudei suoi contemporanei: «Ignorando la giustizia di Dio e cercando di stabilire la propria, non si sono sottomessi alla giustizia di Dio. Ora, il termine della Legge è Cristo, perché la giustizia sia data a chiunque crede» (Rm 10,3-4). Questa giustizia di Dio è la misericordia concessa a tutti come grazia in forza della morte e risurrezione di Gesù Cristo”[21].

4. Conclusione
Parlando del rapporto tra giustizia e misericordia, la Bbbia mette sullo stesso livello; la giustizia di Dio è la Sua misericordia. Tale rapporto nel pensiero di Tommaso d’Aquino e di Papa Francesco ha un grado diverso. Entrambi mettono la misericordia ad un livello più alto rispetto alla giustizia: la misericordia è l’apice. Si può capire questa preferenza della misericordia perché la giustizia sembra perdere il suo valore liberante.
Giustizia e misericordia hanno uno scopo comune: l’intersoggettività.Tutte due hanno a che fare con la relazione tra le persone però ciascuna basa il suo rapporto su fonti differenti.
La giustizia ha a che fare con un rapporto vincolato da una legge: considera le relazioni tra gli uomini dal punto di vista della legge. La giustizia nasce in un contesto sociale e collettivo per il bene comune, nel quale va rispettata perché la legge costringe a fare così. Quindi in un certo senso l’intersoggettività diventa un dovere da compiere verso l’altro. Inoltre, la legge che vincola la relazione sociale per il bene comune viene promulgata sulla base del consenso pubblico derivato dalla logica umana. Bisogna considerare, però, che questa logica umana non può prescindere dall’influsso culturale da cui appartiene quindi certe concezioni sono culturali. Questo mette in discussione l’universalità del valore che vuole trasmettere. Capire l’uomo dalla logica solamente umana, nella storia, non porta a raggiungere un bene comune, ma anzi un bene parziale segnato dal conflitto di interesse. La supremazia della logica umana a volte porta a togliere/negare l’esistenza dell’altro. La filosofia che dice che la realtà è ciò che si pensa—cioè la realtà è il pensiero—ha causato la morte di tante persone.
La Bibbia propone una visione di giustizia basata sulla fedeltà di Dio al suo patto, in fondo, a se stesso. La legge, pure promulgata e facente parte dell’alleanza, viene superata dall’atteggiamento di Dio, fedele alla sua scelta, intenzione, promessa.
La misericordia, d’altra parte, è un modo di relazionarsi con l’altro nel quale Dio diventa il protitipo del rapporto interpersonale: è un modo di vedere l’altro dal punto di vista di Dio.
Mi piace San Tommaso quando definisce la parola ‘misericordia’ dividendola in due parole: ‘miseri’ e ‘cordia’. Cioè, misericordia vuol dire mettere il proprio cuore nella miseria degli altri. Il cuore di Dio è amare, quindi, Dio, nel suo rapporto con noi, mette il suo cuore e amore perché viviamo. Lui sa che non siamo capaci di ricambiare il suo amore. Allora che cosa fa? Lui aumenta il suo amore. Lui non può fare altro che amare, poiché il suo essere è amore: ‘Dio è amore’ (1 Gv 4,8). Così la misericordia di Dio diventa la misura valutativa per eseguire la giustizia umana. Nel senso che l’uomo ubbidisce alle leggi umane nella misura in cui esse riflettono la volontà di Dio.






[1] Papa Francesco, Misericordiae vultus, n. 20.
[2] Papa Francesco, Evangelii gaudium, n. 53.
[3] Giovanni Paolo II, Dives in misericordia, no. 12.
[4] Giovanni Paolo II, Dives in misericordia, no. 12.
[5] W. Kasper, “Perdono cristiano e riconciliazione tra le chiese”, in Misericordia e perdono: XIII Convegno ecumenico internazionale di spiritualità ortodossa, Bose, 9-12 settembre 2015.
[6] Ibidem.
[7]La giustizia nella Bibbia affonda le sue radici nell’etica, che definisce l’uomo come essere capace di rapportarsi secondo verità a un altro soggetto. Essere giusto o ingiusto è dato non tanto dall’obbedienza a una norma imposta, ma dalla capacità di riconoscere nel volto dell’altro la propria dimensione di persona giusta. L’«altro» nella Bibbia è innanzitutto Dio, ma è anche il fratello, il prossimo, l’altro essere umano che esige il riconoscimento della propria dignità. Il significato di giustizia nella Bibbia si riferisce sempre a una relazione fra individui o a gruppi ed esprime, attraverso l’idea classica della bilancia, un’idea di equilibrio tra le parti, che, in termini sia giuridici sia morali, esprime un aspetto di doverosità verso gli altri e di esigibilità verso se stessi” (F.Occhetta “Le radici morali della giustizia riparativa”, in La Civiltà Cattolica 2008 IV 444-457, Quaderno 3803 (6 dicembre 2008), 445).
[8] Giovanni Paolo II, Dives in misericordia, nota 52.
[9] Giovanni Paolo II, Dives in misericordia, nota 52.
[11] Giovanni Paolo II, Dives in misericordia, nota 52.
[12] E. Ancilli, “Il concetto di giustizia secondo san Tommaso”, in Dizionario enciclopedico di spiritualità 2, Roma: Città Nuova, 1990.
[13] “La giustizia in senso giuridico significa dare a ciascuno ciò che gli aspetta come suo diritto. Da questo concetto deriva la giustizia commutativa che è regola le relazioni, diritti e doveri, fra individui (ad es. se compro una cosa, devo pagarne il prezzo); giustizia distributiva è ciò che regola gli obblighi della società verso gli individui (ad es. se lo stato pone delle imposte a carico dei cittadini, deve distribuire equamente i pesi, graduando l’ammontare dell’imposte in base alla capacità contributiva di ogni cittadino), giustizia legale ciò che determina i doveri che qualcuno ha nei confronti della società/bene comune (ad es. l’obbligo di pagare le tasse, l’obbligo di di osservare le leggi, etc.) cfr. G. Scardillo, “In tema di rapporto tra ‘misericordia’ e ‘giustizia’”, in Laòs XXII (2015)/3 Settembre-Dicembre, pp. 53--78, p.70.
[14] B. Mondin, “Misericordia” in: Dizionario enciclopedico di filosofia e teologia morale, Massimo, Milano 1989, p. 399.
[15] F. Grimaldi, “Misericordia: compassione, reciprocità e prospettiva antropologica”, in Laòs, XXII (2015)/3 Settembre-Dicembre, pp. 37-45, p.39.
[16] “Già la creazione è un atto di misericordia e non di giustizia, in quanto Dio dà alla creatura ciò per cui non può vantare nessun diritto ed è massimamente indebito, l’essere: ‘La giustizia consiste nella retribuzione dei meriti e perciò nella creazione non si può parlare di giustizia […]. Invece nell’opera della creazione si può parlare di misericordia perché, creando, Dio toglie il più grande di tutti i difetti, vale a dire il non essere […]: e questo lo fa per volere totalmente gratuito e non costretto da alcun debito’” (B. Mondin, “Misericordia”, in: Dizionario enciclopedico di filosofia e teologia morale, Massimo, Milano 1989).
[17] “Come egli sottolinea altrove, in Dio non ci può essere alcuna contraddizione tra giustizia e misericordia, perché ‘Dio è misericordioso, non perché compie qualcosa contro la giustizia, ma perché egli va oltre la giustizia, come nel caso di un creditore al quale sono dovuti centro denari; se questi di propria iniziativa concede al debitore duecento denari, questo tale non va contro la giustizia, ma è semplicemente generoso e misericordioso […] Ne consegue che la misericordia non prescinde dalla giustizia, ma che essa è in un certo senso pienezza della giustizia’ (ST,I, q. 21, a. 3)”, (M.M. Lintner, “Dio giusto o misericordioso?”, in Quaderni di spiritualità 20, n.58, Monte Senario, Gennaio-Aprile 2016, p.29).
[18] “La giustizia è un concetto fondamentale per la società civile quando, normalmente, si fa riferimento a un ordine giuridico attraverso il quale si applica la legge. Per giustizia si intende anche che a ciascuno deve essere dato ciò che gli è dovuto”, (Papa Francesco, Misericordiae vultus no. 20).
[19] Papa Francesco, Misericordiae vultus no. 20.
[20] Papa Francesco, Misericordiae vultus n. 20.
[21] Papa Francesco, Mv nn. 20-21.