Saya masuk pesawat Emirates
EK 094 dari Borgo Panigello, Bologna, Italia jam 14.45 setelah menempuh
perjalanan panjang dari Parma selama satu jam lebih. Saya menempati kuris no.
39 K persis bagian jendela: sebelah kanan dari pesawat. Saya tidak mengira
mendapat tempat strategis ini di mana dengan mudah saya dapat mengambil foto
dengan kamera yang dihadiahkan oleh Giovanni Ruzzi, sahabat sekaligus penderma
dan fotografer resmi dari frater-frater teologi di Parma.
Ketika saya mau menempati kursiku saya harus meminta permisi
kepada salah satu penumpang di kursi I untuk dapat menuju kursiku. Tampaknya
beliau berasal dari Inggris karena badannya tinggi besar, berambut panjang hitam
lebih panjang dari rambutku: bahasa Inggrisnya sangat lancar seperti air
mengalir. Kepada dia saya bertanya, sekedar untuk memulai percakapan dengan
beliau, apakah saya bisa meletakkan tas tangan atau ransel kecilku di bawah
kursi dudukku. Dia bilang tidak tahu apakah diperkenankan meletakkan tasku itu
di bawah kakiku dengan nada yang cenderung menolak atau melarang. Saya
mengikuti pesannya dengan menempatkan tasku itu di bagasi di atas kepala
seteleha lebih dahulu mengeluarkan, tentu saja, diariku ini, HP dan kamera
dengan maksud dapat menggunakan mereka secara leluasa saat adat kesempatan
baik. Beberapa saat kemudian saya mengambil pena dan menggoresi diari ini
dengan cerita atau kisah atau unek-unek yang sedang kutulis sejak dari sekarang
ini.
Saat menulis ini, baru kusadari bahwa inilah kesempatan
pertama saya menulis lagi dalam bahasa Indonesia setelah setahun lebih absen
menulis dalam bahasa yang kucintai karena sibuk lebih dari setahun terakhir
saya sibuk menyelesaikan skripsi atau tesinaku. Rasanya ide yang terungkap
dalam kalimat mengalir lancar tanpa harus berhenti memikirkan atau memilih
kata-kata dalam bahasa Indonesia. Hal ini bisa menggambarkan suasana hatiku
yang gembira menyambut kesempatan emas ini untuk kembali ke tanah air terutama
untuk berjumpa, bersua dengan keluargaku yang kucintai dan kurindukan.
Jujur saja sejak saya berangkat dari Parma jam 11.00 siang
sampai saat ini suasana hatiku sangat tenang tanpa sedikitpun merasa takut
selain rasa lapar minta makan saat duduk di ruang tunggu—Sebotol air minum dan
dua bungkus kecil biskuit berhasil memuaskan rasa haus dan laparku yang tidak
kubayangkan akan terjadi sejak saya berangkat dari Parma. Ya, itulah otaknya
laki-laki, yang tidak memikirkan sebelumnya kebutuhan primer selama perjalanan
jauh—Saya yakin bahwa rasa tenang ini ada atau datang berkat rahmat Tuhan juga
berkat doa banyak orang terhadapku. Untuk mensyukuri ini dan untuk meminta
perlindunganNya selama perjalanan ini saya membuat tanda salib dan berdoa dalam
hati saat hendak melangkahkan kakiku ke tangga pesawat. Saya yakin Tuhan ada
dan hadir bersamaku, bersama kami. Tuhan bekerja dan membantu kami lewat
kecerdasan dan kerjasama semua pihak termasuk pilot, pramugari dan para petugas
lainnya.
Tak kusia-siakan kesempatan duduk dekat jendela pesawat
untuk melihat kota, pulau, laut dan awan dari atas pesawat. Kalau sebelumnya
saya melihat awan dari bawah, sekarang saya melihat kota dari atas awan.
Pemandangannya tentu saja indah dan menyeluruh: terutama menyaksikan cahaya
lampu di kota maupun cahaya lampu kapal-kapal yang sedang berlayar di laut.
Melihat kota dari atas pesawat seakan membrowsing sebuah kota di google maps.
Selain memandang indahnya alamku dari jendela pesawat saya
sempat meluangkan waktu untuk nonton film sampai tertidur lelap. Akibatnya
kurun waktu lima jam lima menit, waktu tempuh dari Borgo Panigello (Italia) ke
Dubai (Qatar) sangat singkat: sampai
akhirnya pesawat EK 094 mendarat di Dubai jam 21.00 waktu Italia atau jam 23.00
waktu Qatar. Satu jam kemudian saya baru bisa menemukan pintu A17, pintu di
mana para penumpang yang hendak ke Indonesia akan check in, meskipun telah
menggunakan dua jasa angkutan: bus dari pesawat ke ruang tunggu, kereta api
dari ruang tunggu ke pintu check in tanpa sedikit pun macet. Itu menandakan
betapa luasnya area Bandara Internasional Dubai.
Setelah selesai makan malam yang telat atau sarapan pagi
yang terlalu cepat di restoran Buffet the Mazzinai, yang terletak di ruang A2,
di mana saya dapat memakan nasi campur daging, saya menempati kursi dekat
tempat charge HP untuk mengecas Hpku yang baru dihadiahkan kepadaku oleh P.
Raimondo Sommacal, sx, empat hari lalu, tepatnya Sabtu, 2 Juli 2016. Sambil
menunggu baterai penuh, saya lanjut menulis kisah perjalanan pulangku ke tanah
air untuk bertemu keluarga sekaligus mempersiapkan diri untuk menerima tahbisan
imam yang akan berlangsung di Aeknabara tanggal 30 Agustus 2016. Inilah cuti
pertama yang kubuat setelah ”nyasar” di Italia selama tiga tahun sepuluh bulan
(1 September 2012-5 Juli 2016). Merupakan waktu cuti yang sangat
ditunggu-tunggu.
Di tempat ini, di ruang tunggu zona A, ada banyak sekali
orang: kebanyakan dari kami berasal dari India dan Indonesia di mana di antara
orang-orang Indonesia ada lebih dari 30 anggota tentara indonesia (TNI). Saya
tidak tahu dari mana datangnya mereka: bisa jadi mereka baru pulang dari suatu
tugas misi. Orang-orang bule tidak terlalu banyak di ruang tunggu ini.
Hal-hal aneh yang terjadi selama perjalanan ini juga saat
berada di Dubai adalah sebagai berikut. Tanpa sadar, saat berbicara dengan
pelayan restoran, saya menggunakan bahasa Italia. Saya baru sadari soal itu
ketika dia bilang bahwa dia tidak mengerti pertanyaanku. Dengan diam sejenak
sambil mengingat kembali bahasa Inggrisku, saya menanyainya dalam bahasa
Inggris yang terbata-bata. Lalu, ketika saya sampai di tangga setelah makan di
restoran Buffet the Mazzinai kujumpai dua orang pemuda India: mereka menanyaiku
di mana restoran—yang diindikasikan dalam tiket—dalam bahasa India. Saya
mengerti pertayaan mereka itu karena mereka menggunakan mimik minta makan. Saya
berusaha menjelaskan dalam bahasa Inggris tetapi mereka tetap menjawabku dalam
bahasa India di mana salah satu dari mereka mengulang kata restoran.
Di sekeliling tempat dudukku sekarang kudengar merdunya
suara orang berbicara bahasa Indonesia, bahkan ada juga yang berbahasa Jawa.
Hanya saya saja yang belum berani memperdengarkan suaraku karena tidak ada
seorangpun yang saya kenal untuk ngobrol. Duduk, diam dan menunggu memang hal
yang sangat melelahkan. Hampir setiap lima menit saya mengontrol jam check in
yang tidak kunjung tiba. Sepertinya waktu transit terasa lebih panjang dari
waktu tempuh pesawat dari Bologna ke Dubai. Tapi, ya, mau gimana lagi.
Satu-satunya hal yang menarik yang saya lakukan adalah mengamati orang yang
lalu lalang ke sana kemari. Aroma kue-kue dari McDOnalds atau aroma kopi dari
bar maupun aroma makanan dari restoran yang ada di hadapan kami tidak menarik
sama sekali perhatianku. Mau otak-atik HP tidak bisa karena gak tahu apa-apa
mengoperasikan HP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar