Aek
Nabara, Sumatera Utara, 24 Agustus 2016
Kurang
lima belas menit jam Sembilan pagi mobil kijang biru meluncur keluar dari
halaman Paroki Aek Nabara. Pengemudinya adalah Br. Siprianus dengan dibantu
oleh co-sopir P. Valentin, sx. Di
kursi tengah ditempati oleh dua orang Flores: Sr. Cornelia, KYM dan saya. Kami sedang meluncur ke Stasi Panjomuran untuk
merayakan ekaristi.
Selama
tiga puluh menit mobil ini melaju dengan kecepatan delapan puluh sampai dengan
seratus kilometer per jam; namun selama empat puluh menit kemudian berubah
drastis menjadi sepuluh sampai dua puluh kilometer per jam karena kondisi jalan
tidak memungkinkan lain daripada itu. Berkali-kali kami bergoyang bukan karena
mengikuti irama musik; dari pop Perancis sampai irama musik country dipadu dengan musik Ambon kesukaan bang sopir, melainkan karena kondisi
jalan yang bergelombang dan berdebu. Keadaan itu tidak menghalangi semangat dan
kerinduan kami untuk bertemu umat stasi yang tentu saja sedang menanti
kehadiran Kristus melalui pelayanan sakramen yang hedak kami hadirkan.
Tepat
jam sepuluh kami memasuki halaman dan kapela stasi Panjomuran dan disambut
dengan hangat oleh seorang bapak yang segera menjemput dan memberi salam kepada
kami. Di dalam kapela yang berukuran sangat kecil dan belum rampung
pembangunannya ini telah hadir sekitar belasan umat termasuk beberapa anak-anak
yang satu per satu pun datang menyalami kami.
Perhatianku
tak dapat kuhindarkan dari suasana internal kapel yang menampakkan apa adanya.
Ketika menghadap ke altar, ada sekitar dua lajur yang lumayan kontras: satu
lajur berisi bangku-bangku tempat umat duduk. Di dalam kapel, sebagai tempat
ibadat, sangat tepat keberadaan bangku-bangku ini. Lajur lainnya diisi oleh material
untuk pembangunan gereja: tampak sekali setumpuk balok-balok panjang yang
tergeletak ke arah altar, selain itu masih ada banyak sekali besi beton dan
beberapa sak semen. Sekitar dua meter dari pintu masuk tergantung sebuah ember
kecil yang berisi lilin untuk keperluan ibadat yang sengaja dimasukkan di situ
untuk menghindari serangan para tikus. Keberadaan
altar menjadi simbol utama identitas kesakralan
tempat umat katolik ini berkumpul memuliakan dan memperbarui iman mereka akan
Tuhan yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus.
Disatukan
oleh iman akan Allah yang rela merendahkan diri-Nya, menjadi manusia dan lahir
di kandang yang hina demi menyelamatkan umat-Nya telah mengalahkan teriknya
mentari maupun jarak yang sangat jauh. Semangat Tuhan yang ingin bertemu dengan
umat-Nya melandasi pengorbanan masing-masing dari kami untuk saling berjumpa di
tempat yang sederhana ini. Memang sungguh dirasakan bahwa dalam kesederhaan,
baik tempat maupun kesederhanaan hidup umat di stasi ini, Tuhan menghadirkan
diri-Nya.
Kehadiran-Nya
itu kami rasakan lewat katekese liturgis sederhana dan singkat yang dibuat oleh
Sr. Cornelia, KYM sebelum misa dimulai. Beliau mengantar umat untuk berjumpa
dengan Tuhan dalam Ekaristi kudus melalui beberapa penjelasan singkat soal
sikap umat dalam mengikuti misa: termasuk kemudian membuat latihan koor singkat
dan mempersiapkan para lektor. Dalam waktu yang bersamaan saya membantu P.
Valentin mempersiapkan altar dan mempersiapkan segala hal untuk pembaptisan
Jessica, seorang anak yang berumur lebih dari satu tahun. Kerinduan kami untuk
berjumpa dengan Tuhan diteguhkan dan disempurnakan lewat perayaan Ekaristi
kudus dengan mengambil bacaan bukan dari bacaan harian dari yang bersangkutan
melainkan mengambil bacaan dari hari Minggu biasa sebelumnya. Jadi, kami
merayakan ekaristi mingguan di hari Selasa. Ini merupakan pengalaman pertama dan baru
bagiku di mana hari “Selasa dijadikan hari Minggu”: sebuah pengalaman iman yang
sangat menyentuh di mana Tuhan dirindukkan kehadiran-Nya dan bersedia ditemui
dalam suasana tempat yang sederhana terutama di dalam hati orang-orang
sederhana. Terima kasih Tuhan untuk semuanya ini.
Sekitar
pukul tiga belas lebih tiga puluh menit keempat penumpang istimewa dari mobl
kijang biru ini kembali bergoyang ria mengikuti gelombang naik turunnya jalan
yang kami lalui untuk kembali ke markas paroki pusat Aek Nabara. Sebuah
perjalanan yang jauh tetapi menyenangkan karena semangat Tuhan untuk menjumpai
umat dalam kesederhanaan suasana lahir batin mereka telah meresap dalam cara
hidupku. Semoga Tuhan memampukanku untuk mengenal-Nya lebih mendalam menjadi
mimpiku sepanjang perjalanan pulang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar