Selasa, 30 Agustus 2016

Bergoyang ria tanpa musik….

Aek Nabara, Sumatera Utara, 24 Agustus 2016
Kurang lima belas menit jam Sembilan pagi mobil kijang biru meluncur keluar dari halaman Paroki Aek Nabara. Pengemudinya adalah Br. Siprianus dengan dibantu oleh co-sopir P. Valentin, sx. Di kursi tengah ditempati oleh dua orang Flores: Sr. Cornelia, KYM dan saya.  Kami sedang meluncur ke Stasi Panjomuran untuk merayakan ekaristi.

Selama tiga puluh menit mobil ini melaju dengan kecepatan delapan puluh sampai dengan seratus kilometer per jam; namun selama empat puluh menit kemudian berubah drastis menjadi sepuluh sampai dua puluh kilometer per jam karena kondisi jalan tidak memungkinkan lain daripada itu. Berkali-kali kami bergoyang bukan karena mengikuti irama musik; dari pop Perancis sampai irama musik country  dipadu dengan musik Ambon kesukaan bang sopir, melainkan karena kondisi jalan yang bergelombang dan berdebu. Keadaan itu tidak menghalangi semangat dan kerinduan kami untuk bertemu umat stasi yang tentu saja sedang menanti kehadiran Kristus melalui pelayanan sakramen yang hedak kami hadirkan.

Tepat jam sepuluh kami memasuki halaman dan kapela stasi Panjomuran dan disambut dengan hangat oleh seorang bapak yang segera menjemput dan memberi salam kepada kami. Di dalam kapela yang berukuran sangat kecil dan belum rampung pembangunannya ini telah hadir sekitar belasan umat termasuk beberapa anak-anak yang satu per satu pun datang menyalami kami. 

Perhatianku tak dapat kuhindarkan dari suasana internal kapel yang menampakkan apa adanya. Ketika menghadap ke altar, ada sekitar dua lajur yang lumayan kontras: satu lajur berisi bangku-bangku tempat umat duduk. Di dalam kapel, sebagai tempat ibadat, sangat tepat keberadaan bangku-bangku ini. Lajur lainnya diisi oleh material untuk pembangunan gereja: tampak sekali setumpuk balok-balok panjang yang tergeletak ke arah altar, selain itu masih ada banyak sekali besi beton dan beberapa sak semen. Sekitar dua meter dari pintu masuk tergantung sebuah ember kecil yang berisi lilin untuk keperluan ibadat yang sengaja dimasukkan di situ untuk menghindari serangan para  tikus. Keberadaan altar menjadi simbol   utama identitas kesakralan tempat umat katolik ini berkumpul memuliakan dan memperbarui iman mereka akan Tuhan yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. 

Disatukan oleh iman akan Allah yang rela merendahkan diri-Nya, menjadi manusia dan lahir di kandang yang hina demi menyelamatkan umat-Nya telah mengalahkan teriknya mentari maupun jarak yang sangat jauh. Semangat Tuhan yang ingin bertemu dengan umat-Nya melandasi pengorbanan masing-masing dari kami untuk saling berjumpa di tempat yang sederhana ini. Memang sungguh dirasakan bahwa dalam kesederhaan, baik tempat maupun kesederhanaan hidup umat di stasi ini, Tuhan menghadirkan diri-Nya.

Kehadiran-Nya itu kami rasakan lewat katekese liturgis sederhana dan singkat yang dibuat oleh Sr. Cornelia, KYM sebelum misa dimulai. Beliau mengantar umat untuk berjumpa dengan Tuhan dalam Ekaristi kudus melalui beberapa penjelasan singkat soal sikap umat dalam mengikuti misa: termasuk kemudian membuat latihan koor singkat dan mempersiapkan para lektor. Dalam waktu yang bersamaan saya membantu P. Valentin mempersiapkan altar dan mempersiapkan segala hal untuk pembaptisan Jessica, seorang anak yang berumur lebih dari satu tahun. Kerinduan kami untuk berjumpa dengan Tuhan diteguhkan dan disempurnakan lewat perayaan Ekaristi kudus dengan mengambil bacaan bukan dari bacaan harian dari yang bersangkutan melainkan mengambil bacaan dari hari Minggu biasa sebelumnya. Jadi, kami merayakan ekaristi mingguan di hari Selasa.  Ini merupakan pengalaman pertama dan baru bagiku di mana hari “Selasa dijadikan hari Minggu”: sebuah pengalaman iman yang sangat menyentuh di mana Tuhan dirindukkan kehadiran-Nya dan bersedia ditemui dalam suasana tempat yang sederhana terutama di dalam hati orang-orang sederhana. Terima kasih Tuhan untuk semuanya ini.


Sekitar pukul tiga belas lebih tiga puluh menit keempat penumpang istimewa dari mobl kijang biru ini kembali bergoyang ria mengikuti gelombang naik turunnya jalan yang kami lalui untuk kembali ke markas paroki pusat Aek Nabara. Sebuah perjalanan yang jauh tetapi menyenangkan karena semangat Tuhan untuk menjumpai umat dalam kesederhanaan suasana lahir batin mereka telah meresap dalam cara hidupku. Semoga Tuhan memampukanku untuk mengenal-Nya lebih mendalam menjadi mimpiku sepanjang perjalanan pulang ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar