Kami mengawali pertemuan bulanan dengan mudika ‘Missione
Giovani’ dengan acara makan siang bersama sebagaimana sering kami lakukan
sebelumnya, bahkan sudah menjadi bagian dari program pertemuan dengan maksud
membangun rasa saling memiliki dan mengenal satu sama lain. Nilai tambahnya
adalah saling berbagi dan saling memperhatikan dengan cara membawa sesuatu
untuk dimakan bersama. Meski diakui bahwa makanan, roti, lauk pauk, buah-buahan
yang mereka bawa bukan merupakan hasil keringat atau karya tangan mereka,
karena ada yang dibuat oleh mama, adapula yang dibeli. Nilai yang mau
ditanamkan adalah agar masing-masing dari mereka mulai berpikir dan mulai
peduli dengan orang lain.
Setelah selesai makan dan membereskan meja, tepatnya jam
15.15, kami menuju ke kapela yang ada di lantai dasar untuk berdoa selama
duapuluh menit. Saat itu saya menawarkan tiga teks untuk didoakan bersama: Mzm
23, Surat kedua rasul Paulus kepada jemaat di Korintus 5,14-20 dan terakhir
adalah teks “Salib Kristus adalah Buku Besar” karangan St. Guido Maria Conforti.
Saya sengaja memilih teks-teks ini karena merupakan teks-teks bermakna bagi
hidup pendiri kami. Di awal dan di akhir dari teks-teks ini disajikan dua lagu
yang sering kami nyanyikan bersama.
Skema doa pembuka di atas merupakan pengantar untuk masuk
pada tema khusus pertemuan ini yaitu l’appartenenza
alla spiritualità missionaria saveriana “merasa diri bagian dari
spiritualitas xaverian”. Tema ini merupakan sesi ketiga setelah tema pertama ‘menjadi
bagian dari Yesus Kristus’ yang telah kami bahas tiga bulan lalu, dan tema
kedua ‘menjadi bagian dari Gereja Kristus’ yang telah kami tawarkan dua bulan lalu.
Tujuan kami saat menawarkan tema-tema ini kepada mereka adalah memberi gambaran
tentang esensi missionaris: bahwa misi xaverian merupakan amanah dari Gereja untuk
memperkenalkan Yesus Kristus kepada orang yang belum mengenal-Nya.
Saya mulai memaparkan tema dengan bertanya “Apa bedanya
antara St. Fransiskus Xaverius dan St. Guido Maria Conforti?” bagi para
xaverian. Paola menjawab bahwa St. Guido Conforti adalah pendiri para Xaverian
dan menghendaki agar para Xaverian memiliki semangat misi St. Fransiskus, yang
dipilihnya sebagai pelindung serikat. Intervensiku terbatas pada dua tokoh ini
karena setelah saya akan ada dua orang yang memberi kesaksian nyata tentang
pengalaman mereka ketika menghidupi spiritualitas Xaverian.
Pertama-tama saya membahas tentang St. Fransiskus. Beliau lahir
di Javier tanggal 7 April 1506 dari keluarga borjuis. Ketika sedang studi di
Paris dia mengalami kesulitan ekonomi dan Ignazio di Loyola yang membantunya
dalam hal ini dan ketika Fransiskus tahu kebaikan hati Ignazio Fransiskus
meminta sahabatnya itu untuk mengajarnya menjadi orang baik. Sempat juga dia
mengajar filsafat di Parigi, tapi toh hal itu tidak mengurungi niatnya untuk
bersikap rendah hati dalam meminta bantuan Ignazio. Jadi, Fransiskus adalah
pribadi yang rendah hati. Selain sikap rendah hati Fransiskus merupakan juga
pribadi yang siap sedia menjalankan tugas ketika dibutuhkan, buktinya ketika
paus meminta Ignazio, setelah mereka membangun Serikat Yesus, untuk mengirim
seorang imam ke India, Fransiskus menerima ditugaskan menggantikan Bobadila
yang tidak jadi berangkat karena sakit. Fransiskus merupakan pribadi yang
peduli terhadap sesama yang membutuhkan dan rela melupakan kepentingan dirinya;
ini terjadi ketika dia menolak untuk istirahat meskipun sakit demi melayani dan
merawat para pekerja kapal yang hampir meninggal. Ketika tiba di India tak
henti-hentinya dia mengajarkan doa-doa pokok katolik kepada umat dan setelahnya
dia membaptis mereka; dia menyediakan waktu sepanjang pagi sampai sore untuk
mmebaptis umat dan malam harinya dia khususkan untuk doa. Yang dia pikirkan
hanyalah keselamatan jiwa mereka. Dari sikapnya ini dapat disimpulkan bahwa
beliau adalah orang yang berdedikasi tinggi demi keselamatan dan kebaikan orang
lain, seluruh hidupnya dicurahkan bagi sesama dan Tuhan. Dia mimiliki iman yang
kuat kepada Tuhan dan karena itu sangat berani menghadapi tantangan apapun. Dikatakan
bahwa ketika samapai di Ternate dia mendapat kabar bahwa orang-orang di
Kepulaun Moro sangat membutuhkannya, padalah diceritakan bahwa di sana ada
banyak pemburu kepala. Banyak orang melarang beliau untuk pergi, tapi dia tetap
pergi serta menolak tawaran untuk mempersiapkan obat anti racun karena,
dikatakan, setiap tamu baru yang datang akan ditaruh racun dalam makanan. Fransiskus
tidak peduli soal itu karena dia yakin bahwa Tuhan yang mengutusnya ke sana. Karena
sikapnya yang demikian banyak orang yang mengaguminya. Dia bahkan sempat
menulis surat kepada para dosen dan mahasiswa di Parigi untuk meninggalkan
kampus dan datang ke tempat itu karena ada banyak nyawa yang perlu
diselamatkan. Itulah Fransiskus!
Guido Maria Conforti lahir di Ravadese, Parma, tanggal 30
Maret 1865. Dia menjalankan masa sekolah dasarnya di Parma dan setiap kali
pergi dan pulang sekolah dia selalu singgah untuk berdoa sambil menatap Kristus
yang tersalib dalam Gereja yang sering disebut gereja Damai. Memandang Yesus
yang tersalib atau membiarkan diri dipandang oleh Yesus tersalib menjadi awal
panggilan missioner Conforti. Ketika berada di seminari kecil dia sempat
membaca biografi di missionaris ulung d’Oriente, St. Fransiskus Xaverius dan
sangat tertarik untuk melanjutkan misinya ke Cina. Ketika sadar bahwa dirinya
tidak bisa menjadi missionaris untuk pergi ke Cina, pada tanggal 3 Desember
1895, Guido resmi menerima rajawali-rajawali muda Kristus dan dididik dalam
semangat missioner St. Fransiskus, karena itu dia menamakan serikatnya ‘Institusi
Missioner di St. Fransiskus Xaverius’ atau sering dikenal dengan Serikat
Xaverian. Dia menginginkan agar anak didiknya mewujudkan mimpi Fransiskus untuk
masuk ke Cina dan mewartakan Yesus Kristus di sana. Mimpinya ini terlaksana
selama kurang lebih limapuluhan tahun sejak berdirinya sampai akhirnya
pemerintah Cina pada tahun empatpuluhan mengusir semua orang asing dari Cina
termasuk para missionaris. Setelah diusir dari Cina para Xaverian membuka lahan
baru untuk bermisi dan karena itu para Xaverian hadir di beberapa negara di
Asia, Afrika, Amerika dan Eropa.
Saat mendirikan serikat Conforti menghendaki agar para
Xaverian mewartakan Yesus Kristus kepada orang yang belum mengenal-Nya. Itu berarti
membuka diri untuk pergi mengenal dan bertemu dengan orang lain memiliki keyakinan
yang berbeda dengan keyakinannya. Hal ini merupakan sebuah ide baru pada jaman
Conforti yang kemudian menjadi hal resmi bagi Gereja universale sejak Konsili
Vatikan II. Membuka diri kepada orang lain terutama membawa pesan Kristus
sejalan dengan slogan ‘Gereja yang bergerak keluar’, ‘Gereja yang lebih baik
kotor daripada menutup diri’ dari Paus Fransiskus.
Sebuah catatan penting adalah bahwa untuk bisa mewartakan
Kristus kepada orang yang belum mengenal-Nya, para Xaverian pertama-tama harus
mengenal Yesus, mempunyai hubungan yang mendalam dengan-Nya. Hal itu
dimungkinkan ketika dari dalam ada keluarga yang memperhatikan dan merawat
aspek ini. Itulah sebabnya Conforti menghendaki adanya semangat keluarga atau
komunitas bagi anak-missionernya. Sangat terkenal sloganya ini ‘’Menjadikan
dunia satu keluarga dalam Kristus’’. Hal itu dimungkinkan kalau keluarga kecil
Xaverian terbentuk oleh semangat, cara hidup dan nilai-nilai Yesus Kristus
sendiri. Pengalaman dipandang oleh Kristus yang tersalib menjadi pengalaman dan
formasi utama dari setiap Xaverian.
Dua tokoh ini sangat komplementer. St. Fransiskus pergi ke
misi didorong oleh semangat untuk menyelamatkan jiwa, untuk mengantar jiwa-jiwa
umat kepada Kristus. Conforti pertama-tama memiliki pengalaman yang mengena
dari Kristus yang memandangnya maka bersedia menjadi bapak dari para
missionaris. Conforti berjasa membangkitkan semangat missioner kepada orang
lain karena dia membiarkan diri dicintai dan disentuh oleh Yang Tersalib. Dengan
kata lain Guido Conforti bersumbangsih mengantar Dia yang Tersalib kepada
jiwa-jiwa umat. Itulah Guido Conforti! Keduanya memiliki hati yang sama:
terbuka menjumpai yang lain.
Salerno, 30 April 2017