Kamis, 29 Juni 2017

Tampang Pengemis: Roma, Stasiun Kereta Api Termini, 19 mei 2017





Setelah selesai kursus di Universitas Pontificia Salesiana, saya dan beberapa teman kursus menumpang bus no 80 menuju perhentian Metropolitana Jonio untuk selanjutnya ke stasiun kereta api Termini. Kali ini kami sangat beruntung karena, ketika tiba di Jonio, la Metropolitana tiba dengan cepat sehingga kami pun tiba lebih awal di Termini. 

Sebagaimana biasanya saya menyempatkan diri ke toko buku Don Bosco yang ada di depan stasiun kereta. Kali ini saya ke sana untuk mencari buku “Il vangelo di Giovanni” yang ditulis oleh Juan Mateos, biblista yang sangat disukai oleh p. Franco Manganello, konfraterku di Salerno, dan beliau menganjurkan saya untuk membelinya karena Juan Mateos menerjemahkan secara sangat objektif injil ini juga memberikan penafsiran yang sangat mendalam. Sayangnya, di toko buku ini hanya dijual buku injil Markus terjemahan dari penulis yang sama, dengan harga yang sangat sulit dijangkau. Saya tidak berhenti lama di toko buku karena sangat capeh berdiri dan saya memutuskan untuk kembali ke stasiun menanti kereta yang akan berangkat jam 20.53 malam menuju kota Salerno. 

Beralaskan tas jinjingku, saya memilih duduk di lantai di sebuah sudut yang sangat strategis. Dari sudut ini saya dengan memudah memantau nomor dan tujuan kereta yang masuk maupun yang pergi, sehingga saya tidak mengalami kesulitan untuk mengecek kereta yang akan saya tumpangi. Dua tiga meter di depan dan sampingku orang lalu lalang. Tidak jauh dari sisi kiriku ada sebuah kantong sampah plastik dan sering sekali orang berhenti memasukkan sampah sambil sesekali menoleh ke arahku.

Setelah kurang lebih satu jam duduk sambil membaca dua komentar tentang injil hari Minggu nanti seorang pemuda mengagetkanku dengan pertanyaan ini, “Scusa, li vuoi? (Maaf, apakah anda mau ini?)” Spontan saya mengangkat kepala ke arah datangnya suara dan bilang, “Cosa? (Apa?)” tanpa memperhatikan apa yang disodorkan kepadaku. “Li vuoi? (Apakah kamu mau ini?)”tanyanya, seraya menyodorkan lagi dua buah roti kepadaku. Sambil memandang beliau dan roti yang ditawarkan kepadaku, saya katakan, “Si, li voglio. Grazie mille! (Ya, gak apa-apa, saya ambil! Makasih!)” tanpa bisa menepis perasaan aneh nan kaget gak karuan karena tanpa direncana saya sudah berhasil menunjukkan tampang pengemis yang lapar. 

Ketika sang pemuda pergi, kira-kira berumur 18 tahun, saya berujar dalam hatiku, “Oh ternyata masih ada anak muda yang masih peduli terhadap pengemis gadungan ini”. Mendapati dua roti gratis di tanganku, dalam keadaan yang lapar pula, tentu sangat jarang terjadi. Maka, dengan gratis pula kubiarkan mereka melewati tenggorokanku yang sejak siang tadi sudah menanti makanan enak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar