Kamis, 16 Februari 2017

Bersila di lapangan Santo Petrus…





Satu jam setelah saya tiba di Collegio Conforti di Roma (Rabu, 15 Februari 2017) saya langsung pergi menuju ke rumah generalat xaverian untuk mengambil buku yang dipesan oleh p. Mario. Dalam waktu duapuluh menit semua urusanku—dari menyalami sambil ngobrol dengan beberapa pastor yang kutemui sampai urusan mengambil buku—bisa langsung kelar. 

Begitu keluar dari rumah generalat saya belok kanan hendak menuju lapangan St. Petrus sebagaimana niatku sebelumnya. Sambil menurun saya sempat berkata pada diriku “Ah tidak ada gunanya saya ke sana karena sudah berulang kali saya menginjakkan kaki di tempat di mana terletak ikon lahiriah dari Gereja Katolik sedunia”. Sejenak saya menghentikan langkah dan berpikir ulang. Dalam sekejap mata kutemukan alasan kuat untuk maju terus. Yang jelas bukan karena nilai sejarah dari salah satu negara terkecil di dunia, bukan tertarik oleh kemegahan bangunannya dan bukan pula terdorong oleh keinginan untuk melihat Bapa Paus, karena saya tahu bukan jam yang tepat bagi beliau untuk memperlihatkan dirinya. Sebaliknya saya ingat mereka yang akan lahir dan persis itulah alasan mendasar mengapa saya melanjutkan perjalananku menuju Kota Vatikan. Saya berziarah untuk mendoakan mereka yang akan hadir di tengah-tengah kami. 

Ketika memasuki kompleks negara Vatikan ada banyak orang yang keluar dari lapangan Santo Petrus tapi jumlah mereka sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah orang yang masih bertahan di tengah dan sekitar lapangan bersejarah ini. Saya termasuk salah satu yang akan menambah jumlah pengunjung ini meskipun saat saya memasukinya suasana gelap perlahan-lahan semakin kuat karena telah menunjukkan pukul tujuhbelas lebih duapuluhlima menit. Begitu masuk saya langsung mengambil beberapa foto di lorong pilar-pilar maupun memfoto lapangan yang diberi nama paus pertama dalam sejarah Gereja Katolik dari celah pilar-pilar ini. Hasil jepretanku memang tidak sungguh berkualitas dengan bermodalkan kamera ponsel SJ3 milikku namun saya tetap puas menikmati hasilnya. 

Saya kemudian memilih bersandar di sebuah pilar yang terletak tidak jauh dari menara yang ada di tengah lapangan Santo Petrus. Saya memilih duduk di situ karena sangat strategis sehingga saya bisa leluasa menghadap ke basilika. Sambil bersila saya menyampaikan niatku kepada Tuhan dengan perantaran doa Bunda Maria juga kedua santo, Petrus dan Paulus. Selama kurang lebih enampuluh lima menit saya bersemedi sambil berrosario untuk mendoakan secara khusus mereka yang akan lahir agar prosesnya lancar dan agar kesulitan yang sekarang dihadapi bisa menemukan jalan keluarnya. Sempat muncul dalam benakku untuk mengusulkan nama kedua santo besar ini untuk mereka yang akan memperkuat squadra keluarga kami. Tapi, soal itu adalah urusan yang kesekian!!! Kuingat pula nama-nama keluarga, teman dan kenalanku yang selama ini meminta untuk didoakan sesuai dengan intensi yang mereka inginkan. 

Duduk bersila selama enampuluh lima menit di lapangan St. Petrus tidak menimbulkan kram di pergelangan kakiku padalah duabelas tahun silam, selama aktif di Sersan M. Romy, waktu yang demikian sudah cukup untuk membuat seluruh kaki dan punggungku ‘mati’ rasa di hadapan Bunda Maria Sabuin. Tentu saja bukan tempat yang menimbulkan perbedaan rasa tapi apa yang melatarbelakanginya. Mendoakan-merindukan yang terbaik untuk orang lain (terutama untuk mereka yang akan lahir) menyita perhatianku sehingga keletihan fisik pun menjad tidak begitu penting. Semoga mereka yang akan hadir ini mampu menjadi pribadi yang baik seturut kebaikan Dia yang ada di balik kemegahan Basilika Santo Petrus ini. Sayangnya, banyak pengunjung yang datang ke tempat ini berhenti pada apa yang tampak secara fisik. Nah…kuajak mereka untuk menemukan hal esensial-spiritual ini dan memperlihatkannya dalam cara hidup mereka sebagaimana cahaya lampu dari Basilika mampu menyinari gelap di sekitar daerah Vatikan. 

Nella tua luce vediamo la luce”, mi sono detto concludendo.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar