Satu jam setelah saya tiba di Collegio Conforti di Roma (Rabu, 15 Februari 2017) saya langsung
pergi menuju ke rumah generalat xaverian untuk mengambil buku yang dipesan oleh
p. Mario. Dalam waktu duapuluh menit semua urusanku—dari menyalami sambil
ngobrol dengan beberapa pastor yang kutemui sampai urusan mengambil buku—bisa
langsung kelar.
Begitu keluar dari rumah generalat saya belok kanan
hendak menuju lapangan St. Petrus sebagaimana niatku sebelumnya. Sambil menurun
saya sempat berkata pada diriku “Ah tidak ada gunanya saya ke sana karena sudah
berulang kali saya menginjakkan kaki di tempat di mana terletak ikon lahiriah
dari Gereja Katolik sedunia”. Sejenak saya menghentikan langkah dan berpikir
ulang. Dalam sekejap mata kutemukan alasan kuat untuk maju terus. Yang jelas
bukan karena nilai sejarah dari salah satu negara terkecil di dunia, bukan
tertarik oleh kemegahan bangunannya dan bukan pula terdorong oleh keinginan
untuk melihat Bapa Paus, karena saya tahu bukan jam yang tepat bagi beliau
untuk memperlihatkan dirinya. Sebaliknya saya ingat mereka yang akan lahir dan
persis itulah alasan mendasar mengapa saya melanjutkan perjalananku menuju Kota
Vatikan. Saya berziarah untuk mendoakan mereka yang akan hadir di tengah-tengah
kami.
Ketika memasuki kompleks negara Vatikan ada banyak orang
yang keluar dari lapangan Santo Petrus tapi jumlah mereka sangat sedikit
dibandingkan dengan jumlah orang yang masih bertahan di tengah dan sekitar
lapangan bersejarah ini. Saya termasuk salah satu yang akan menambah jumlah
pengunjung ini meskipun saat saya memasukinya suasana gelap perlahan-lahan
semakin kuat karena telah menunjukkan pukul tujuhbelas lebih duapuluhlima
menit. Begitu masuk saya langsung mengambil beberapa foto di lorong pilar-pilar
maupun memfoto lapangan yang diberi nama paus pertama dalam sejarah Gereja
Katolik dari celah pilar-pilar ini. Hasil jepretanku memang tidak sungguh
berkualitas dengan bermodalkan kamera ponsel SJ3 milikku namun saya tetap puas
menikmati hasilnya.
Saya kemudian memilih bersandar di sebuah pilar yang
terletak tidak jauh dari menara yang ada di tengah lapangan Santo Petrus. Saya memilih
duduk di situ karena sangat strategis sehingga saya bisa leluasa menghadap ke
basilika. Sambil bersila saya menyampaikan niatku kepada Tuhan dengan
perantaran doa Bunda Maria juga kedua santo, Petrus dan Paulus. Selama kurang
lebih enampuluh lima menit saya bersemedi sambil berrosario untuk mendoakan secara
khusus mereka yang akan lahir agar prosesnya lancar dan agar kesulitan yang
sekarang dihadapi bisa menemukan jalan keluarnya. Sempat muncul dalam benakku
untuk mengusulkan nama kedua santo besar ini untuk mereka yang akan memperkuat squadra keluarga kami. Tapi, soal itu
adalah urusan yang kesekian!!! Kuingat pula nama-nama keluarga, teman dan
kenalanku yang selama ini meminta untuk didoakan sesuai dengan intensi yang
mereka inginkan.
Duduk bersila selama enampuluh lima menit di lapangan St.
Petrus tidak menimbulkan kram di pergelangan kakiku padalah duabelas tahun
silam, selama aktif di Sersan M. Romy, waktu yang demikian sudah cukup untuk
membuat seluruh kaki dan punggungku ‘mati’ rasa di hadapan Bunda Maria Sabuin. Tentu
saja bukan tempat yang menimbulkan perbedaan rasa tapi apa yang
melatarbelakanginya. Mendoakan-merindukan yang terbaik untuk orang lain (terutama
untuk mereka yang akan lahir) menyita perhatianku sehingga keletihan fisik pun
menjad tidak begitu penting. Semoga mereka yang akan hadir ini mampu menjadi
pribadi yang baik seturut kebaikan Dia yang ada di balik kemegahan Basilika
Santo Petrus ini. Sayangnya, banyak pengunjung yang datang ke tempat ini berhenti
pada apa yang tampak secara fisik. Nah…kuajak mereka untuk menemukan hal
esensial-spiritual ini dan memperlihatkannya dalam cara hidup mereka
sebagaimana cahaya lampu dari Basilika mampu menyinari gelap di sekitar daerah
Vatikan.
“Nella tua luce
vediamo la luce”, mi sono detto concludendo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar