Minggu, 16 September 2012

Saat-saat sebelum hijrah dari CPR-42 ke Viale San Martino, Parma (3) Sejumlah ekor ayam menjadi saksi sukacita ini…..


Aktivitas pertama yang kulakukan dalam liburan ini adalah mencari parang milikku dan melihat pohon Mahoni yang berjumlah 3 pohon yang kutanam tahun 1997. Dalam pengalaman liburan sebelumnya, mereka selalu kulihat sesaat setelah saya tiba namun kemarin hal itu tidak bisa kulakukan karena waktu tidak memungkinkan, sudah mulai redup. Seingatku saya menanam mereka beserta beberapa pohon kopi di belakang rumah yang sampai sekarang juga masih ada.
Usia mereka sekarang 15 tahun. Banyak perkembangan yang telah mereka alami: semakin tinggi, diameter mereka semakin lebar dan tampaknya sudah cukup umur untuk difungsikan. Melihat mereka dengan keadaan yang sekarang saya merasa sangat bangga karena dalam mereka saya menemukan jejakku. Perubahan dan perkembangan mereka menandai juga perubahan dan perkembangan pribadiku. Saya berharap demikian.
Sekembalinya ke rumah, ibuku telah menyediakan tete kokor (ubi rebus) yang masih panas dengan kopi hangat di pagi yang masih terasa dingin. Sayangnya saya tidak menyukai kopi maka saya melahap tete kokor dengan segelas teh hangat. Rasanya enak sekali dibandingkan dengan jenis ubi dengan ramuan yang sama yang pernah kumakan di Jakarta. Kumaklumi perbedaan itu karena ubi yang kumakan ini baru saja diambil langsung dari kebun belakang rumah. Kalau ubi yang kusantap di Jakarta telah lama berada di pasar sebelum akhirnya dibeli oleh Ibu Thres, ibu yang memasak untuk para frater dan pastor di CPR-42. Lebih nikmati lagi melahap tete tapa (ubi bakar) yang juga dibuatkan ibu untuk saya. Pokoknya pagi pertama ini sungguh menyenangkan. 
Seusai sarapan, makan tete kokor dan tete tapa dengan segelas teh, saya pergi mandi dan menimba air di Wae Bak, air yang ditampung pada sebuah bak yang digunakan oleh seluruh warga kampung Ponceng Kalo yang berjarak 500 meter dari rumahku. Suasana di tempat timba air dan mandi ini cukup ramai karena sudah ada beberapa orang di sana yang hendak melakukan ritual yang sama sepertiku. Perbincangan pun tidak bisa dihindarkan walaupun sekadar hanya bernostalgia sejenak. Pada umumnya mereka selalu menanyakan apakah saya masih ingat pengalaman-pengalaman lama yang pernah kualami bersama saat masih menetap di kampung ini.
Ketika saya berkunjung ke beberapa rumah keluargaku di Ponceng Klao, mereka selalu bertanya tentang pengalamanku bersama mereka di kampung ini. Spontan saya menjawab bahwa tidak mungkin saya melupakan semuanya itu karena itulah sejarah hidupku meskipun akhirnya saya perlu mengingat bagaimana persisnya dulu itu. Mau tidak mau pertanyaan-pertanyaan mereka membawaku kembali pada masa kecil dan masa 2 tahun nganggur setelah tamat sekolah dasar. Di antaranya adalah setiap hari pasar, hari Sabtu, saya pergi lemba nio (pikul kelapa untuk dijual), jual pisang, jual kemiri, hingga jual sangkar ayam,  ke Werang dan uangnya akan digunakan untuk membeli keperluan rumah tangga untuk satu minggu ke depan seperti minyak tanah, garam, keperluan mandi dan cuci, bahkan untuk membeli beras. Tidak hanya itu saja, saya teringat pula akan usaha kecil yang pernah kulakukan yang dalam ungkapan umum kami saat itu sering disebut mencatut atau menjadi tengkulak. Artinya saya membeli barang tertentu untuk kemudian dijual lagi. Di antaranya adalah mencatut gula, garam dan rokok. Sesampainya di rumah saya menjual kembali barang-barang itu dengan harga sedikit naik sehingga ada laba yang bisa kuambil. Catutan terakhir yang masih kuingat adalah membeli kemiri milik ayahku dengan harga pasar sebelumnya. Ternyata ketika saya hendak menjualnya lagi, harga kemiri tersebut sudah beda, sudah turun dari harga beli yang kuambil. Mau tidak mau saya tetap menjualnya dan akhirnya saya rugi…apesssss dehh…!!! Ketika bertemu dengan teman-teman sebayaku, yang saat ini pada umumnya telah menikah, pengalaman kerja di proyek sering diungkit misalnya ketika kami mengikuti proyek menanam pohon ampupu, akasia dan mahoni di sekitar Wae Leong maupun proyek cake salang (pelebaran jalan raya) Taal-Werang. Sebagian besar misa hari Minggu terutama setelah 2 tahun tamat dari SD tidak saya hadiri karena saya dan teman-teman seperti Kraeng Ikong, Godo, Oman, Hanes Himin dan kae Frans Selami pergi menjelajahi beberapa kali atau sungai untuk mencari katak, belut maupun ikan. Tidak kulupakan pengalaman kerja julu (gotong royong) kebun saat walis (musim kering), menjaga kebun, sampai pergi mencari wase werek (sejenis tali yang merambat) di hutan Nggoang dan sekitarnya dan masih banyak pengalaman lainnya yang tentunya diwarnai oleh kesuksesan dan kegagalan.

Saat bersama ayah dan ibuku sering juga hal serupa di atas mereka tanyakan. Atau bahkan saya yang bertanya kepada mereka bagaimana persisnya kejadian tertentu di masa lalu yang pernah kubuat. Kadang juga saya mencari tahu bagaimana sikap dan kenakalanku saat masih kecil dulu. Semuanya itu dan terutama saat berada bersama ayah dan ibuku kurasakan sebagai saat yang  nyaman dan hangat sekali. Kebersamaan dengan mereka bagiku merupakan saat yang intim. Banyak kegiatan yang kulakukan bersama mereka. Ikut menyiapkan makanan babi seperti kiru saung tete, kiru culi lalu menumbuknya, kikir nio sampai me-naang kina sering kulakukan. Pergi menimba air, kadang pagi kadang juga sore hari. Ikut pergi ke pasar menjual kelapa sampai ikut menumbuk padi. Saat mereka menghadiri acara adat di keluarga besar Batu Mese saya selalu ikut dan ikut sibuk di belakang, sebagai ngara beang.
Banyak cerita kubagikan dan kudengar dari mereka yang biasanya terjadi saat menanti masakan untuk makan malam atau sesudah makan malam kami bertiga di ruang tamu menceritakan kisah kami masing-masing. Dari cerita ini saya menangkap bahwa hal yang mereka inginkan adalah kesehatan sehingga mereka bisa sehat saat kami berlibur di kesempatan berikutknya sekaligus supaya mereka dapat bekerja untuk membiyai adik-adik yang masih sekolah. Mereka juga sangat mengharapkan supaya setiap liburan kami datang atau kalau tidak memungkinkan, seharusnya kami menelpon mereka sesering mungkin. Hal ini dapat kupahami karena mereka sangat merindukan sekaligus mencemaskan keadaan kami. Hatiku senang ketika mendengar semuanya ini dan saat perpisahanku secara langsung saya melihat air mata turun membasahi pipi mereka. Kumaknai itu sebagai ekspresi dari kerinduan mereka supaya saya selalu hidup dalam diri mereka.
Mengingat pengalaman-pengalaman di atas membuatku begitu bergembira dan termotivasi. Saya seakan-akan dibawa kembali ke masa itu yaitu ketika saya terlibat langsung. Pengalaman-pengalaman itu ternyata membentuk diriku yang sekarang ini. Semangat kerja, ketekunan, dan sikap mau berusaha menjadi lebih baik yang ada padaku sekarang ini ternyata buah dari sejarah hidupku yang lalu. Di sini saya teringat akan seorang pemikir humanis, August Comte, yang menegaskan bahwa perkembangan sejarah dan kemajuan terbentuk  oleh apa yang dia sebut sebagai positivisme. Manusia akan maju dan berubah ketika manusia beralih dari takhyul bahkan filsafat menuju ke ilmu-ilmu positif yang bisa dikalkulasi atau diukur. Bagiku, sejarah kutentukan oleh saya yang memilih bertindak tertentu dalam konteks tertentu.
Sementara itu, melihat ekspresi cinta orang tua dan keluarga yang demikian besar timbullah  pertanyaan ini dalam diriku: bagaimana saya membalas budi kepada mereka? Bagaiamana saya mengingat mereka. Menyebut mereka dalam doa-doaku tentunya menjadi sebuah wadah relasionalku dengan mereka. Dengan menyebut mereka, saya senantiasa terhubung, berelasi dan bersatu dengan mereka. Lebih dari itu saya bertekad untuk membalas budi baik mereka dengan mengembangkan apa yang telah mereka tanamkan dalam diriku.
Kusadari bahwa diriku yang sekarang ini menjadi seperti ini karena kasih sayang dan pengorbanan mereka. Mereka telah mencintaiku dengan begitu dahsyat sehingga saya dapat hidup sebagaimana sekarang ini terjadi. Maka hal yang bisa kulakukan adalah mengembangkan dan meningkatkan apa yang telah mereka tanamkan. Mereka telah menanamkan kasih, kejujuran, kerja keras, tanggung jawab, maka saya perlu melanjutkan semuanya itu kepada orang lain yang kujumpai karena hal-hal itulah yang mereka wariskan kepadaku. Jadi, saya membalas budi mereka dengan mengembangkan warisan yang mereka warisi. Mereka tentu bangga dan bahagia melihat apa yang mereka ajarkan atau tanamkan dalam diriku terlaksana dan berbuah pada diriku. Sama seperti seorang guru yang bangga dan puas ketika anak didiknya mengerti yang dia ajarkan. Saya membayangkan bahwa ibuku, yang sudah berbahagia bersama Bapa di Surga, bangga kepadaku ketika saya melanjutkan sikap hidupnya yang sederhana, jujur, dan setia dalam hidupku bersama orang di sekitarku.

© © © © © © ©

Sejak hijrah dari Ponceng Kalo  ke Kefamenanu (1999) lalu ke Jogyakarta (2005) dan ke Jakarta (2006), liburan kali ini merupakan kesempatan keempat bagiku untuk cuti.  Tidak ada rencana istimewa yang kubuat untuk mengisi liburanku kali ini. Saya mengulangi tradisi yang telah lama kulakukan setiap kali saya pulang libur. Saya mengunjungi semua keluarga dekat dan akhirnya menghabiskan sisa waktu bersama orang tuaku di rumah apalagi kali ini tinggal ayah dan ibuku saja yang mendiami rumah kami karena kami bertujuh sedang meniti masa depan kami masing-masing di tempat yang berbeda, di luar Ponceng Kalo. Kunjungan keluargaku kali ini diwarnai oleh pengalaman unik yang berbeda dari sebelumnya.
Keluarga pertama yang kukunjungi adalah keluarga di kampung asal ibu kandungku yaitu ke Compang, kira-kira 1-1,5 jam dengan sepeda motor untuk mencapainya. Di sana saya menjumpai om Jhon sekeluarga dan om Noe sekeluarga. Kunjunganku kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya karena saya dapat berjumpa dengan om Pater Bone Buahendri, SVD yang kebetulan sedang cuti. Perjumpaan terakhirku dengannya terjadi 14 tahun lalu saat dia merayakan misa perdananya di Compang tahun 1998. Sejak saat itu dia menjadi misionaris di Australia dan masih akan ke sana seuasai cuti ini. Kegembiraan dengannya bersama semua anak-anak dan cucu-cucu dari Empo Kanisius Jale dan Angela Iwus semakin penuh terjadi dalam syukuran 20 tahun hidup religius beliau pada tanggal 15 Agustus 2012 yang lalu.  Dalam acara seperti itulah saya dapat bertemu dengan banyak keluarga yang sebelumnya tidak saya kenal. Itulah salah satu pengalaman istimewaku selama liburan ini.
Pada tanggal 5 Agustus 2012 saya mengunjungi keluarga mama kecilku, ingkoe Tin sekeluarga di Mejer, adik kandung ibuku. Dia mempunyai 4 orang anak dan semuanya laki-laki. Persis pada tanggal 5 ini anaknya yang pertama, yaitu kraeng Situs, mau menikah dengan istrinya. Saya dan ayahku turut melakukan acara wuat wa’i (mengantarnya ke rumah orang tua istrinya) untuknya dengan membawa seekor ayam jantan dan sejumlah uang. Turut kujumpai dalam kesempatan ini adalah Ambo dan Ovan, adik ketiga dan keempat dari Situs yang masih duduk di bangku SMA, sementara Jos, adik keduanya, masih di Makasar. Saya begitu senang menjumpai mereka dalam keadaan sehat walafiat.
Empat hari kemudian, persis pada hari padong (mengantar pengantin wanita ke rumah pengantin pria) Ifon, teman kelasku saat SD yang juga masih anggota keluarga dekatku, saya mengunjungi istri dan anak-anak dari pamanku, Hendrikus Hamnu di Heak, Lembor. Kuakui bahwa saya masih capek saat itu setelah sibuk selama 2 hari mengikuti acara perkawinan dan pestanya Ifon. Meski demikian saya tetap menikmati kunjunganku ke Heak karena saya sangat mencintai keluarga pamanku ini. Hanya saja dalam kunjungan kali ini saya tidak dapat bercerita lagi dengan emkoe Rikus karena setahun lalu dia telah dipanggil Tuhan. Kenangan akan kebaikannya menarikku untuk ke sana, untuk mendokannya sekaligus melihat dan mengunjungi keempat saudariku di sana. Sayangnya, dalam kesempatan ini saya tidak bisa berjumpa dengan ingkoe ende Lis karena dia sedang mengunjungi Lis yang baru saja melahirkan anaknya yang pertama di Joneng. Katarina dan enu Gonda juga tidak dapat kujumpai karena Kata sedang berada di Datak sementara Gonda masih di Bali, mengadu nasib. Kerinduanku terobati oleh sikap si bungsu, enu Thres yang ada di rumah saat itu. Dia merupakan anak kesayangan emkoe Rikus, yang dulu sangat manja. Sekarang dia telah berubah banyak. Dia membeli gula, kopi dan menghidangkan minuman ketika saya, Bona dan Limun tiba. Dia dan dibantu Limun dan ende Moni menyediakan makan malam dan sarapan pagi buat kami semua. Saya sungguh kagum dan bangga melihat perkembangannya meskipun saya sendiri tidak bisa apa-apa untuk membantu mewujudkan masa depan yang cerah baginya. Hal terakhir ini masih menjadi pergulatanku.
Dari Heak saya dan Bona menuju ke Inang Sisi, inang ine de Levi, adik bungsu ayahku di Nobo. Kedaanya baik-baik saja meskipun badannya sudah turun dibandingkan ketika saya menjumpainya 2 tahun lalu. Bisa saja itu terjadi karena usia sebagaimana yang dialami oleh ayahku juga. Meski demikian inangku masih kuat bekerja seperti dulu. Sekarang dia ditemani oleh Ima, anaknya yang kedua serta oleh ketiga cucunya, putera-puteri dari K’Levi yang rumahnya tidak jauh dari rumah inang. Sementara itu Goris anaknya yang ketiga baru saja pergi mengadu nasib di Kalimantan dan Mena, anaknya yang bungsu, menikah dengan orang dari Wersawe, kampung tetangga. Mereka sungguh sangat bergembira atas kunjunganku sebagaimana saya juga bersukacita menjumpai mereka semua dalam suasan keakraban yang sangat intens. Semalam bersama mereka seakan tidak cukup untuk mengingat semua pengalaman lama yang pernah kuukir bersama mereka ketika saya berlibur ke sini setiap kali liburan sekolah saat SD dulu atau waktu 2 tahun setelah SD dulu. Waktu yang singkat ini pun tidak cukup bagiku untuk mensharingkan dinamika perantauanku maupun lika liku panggilanku. Tapi tak mengapalah karena perjumpaan semalam telah mengobati kerinduanku selama ini dan kuyakini bahwa kenangan bersama mereka senantiasa awet.    
Buah dari kunjungan kelilingku langsung terasa  misalnya rasa puas yang disertai sukacita yang mendalam. Tidak akan kulupakan senyuman, pelukan, ciuman dan ucapan selamat datang yang mewarnai setiap kunjunganku ini. Ekspresi-ekpresi tersebut mengungkapkan kurang lebih ungkapan Bapa yang baik hati dalam Injil Lukas: “Saya telah lama menanti dan merindukanmu dan saya bahagia bertemu denganmu saat ini. Mari kita berpesta.” Maka tidak heran ketika sejumlah ekor ayam menjadi saksi sukacita besar ini.  Demikianlah sukacitaku sebagai seorang anak ketika disambut dengan hangat oleh orang tua dan keluarga. Rasa sakit selama 2 hari sebelum pulang ke Jakarta kumaknai sebagai sebuah pengorbanan. Sukacita yang besar nan sejati perlu dibarengi oleh pengorbanan yang besar serta pengelolaan diri yang tekun dan ulet.  Singkat cerita, sukacitaku tidak sebanding dengan “KO” dua hari di tempat tidur persis saat seluruh warga Indonesia merayakan HUT ke 67 kemerdekaan RI. Dalam tidurku kurenungkan nasib para pahlawan pejuang kemerdekaan berbanding terbalik dengan nasibku: mereka berkorban dulu demi sukacita kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia sesudahnya,……….bersambung……..
Jakarta, 30 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar