Dalam perarakan
minggu palma kita sering menyanyikan
syair lagu ini : Hosanna Putra Daud, terpujilah yang datang dalam
nama Tuhan, Raja Israel! Hosanna sembah sujud. Lagu ini dinyanyikan untuk menyambut Yesus ketika memasuki Yerusalem.
Lagu itu mengisahkan kegembiraan hati, sukacita juga harapan kepada seorang
raja yang masuk ke kerajaan tempat ia bertahta. Mereka berharap bahwa sang raja
dapat membebaskan mereka dari segala belenggu eksternal yang memenjarakan
mereka sekaligus berharap agar sang raja dapat mensejahterakan hidup mereka.
Di jaman Yesus, orang Yahudi berada di bawah tekanan politik orang Romawi. Pilatus adalah pejabat Roma yang ditugaskan untuk mewakili kaisar roma di daerah Palestina dan sekitarnya. Banyak segi dari kehidupan masyarakat yang diatur berdasarkan hukum romawi sehingga masyarakat mau tidak mau harus taat. Tidak hanya dari pihak Roma, orang Yahudi sendiri menguasai sesama mereka. Para pemuka agama Yahudi misalnya menjalankan perintah hukum Taurat secara tidak proporisional. Mereka mewajibkan umat untuk taat tetapi mereka sendiri berbuat semau mereka saja. Mereka membebankan umat untuk menjalan perintah yang mereka tafsirkan dari Hukum Taurat sementara mereka sendiri tidak melakukannya.
Dalam konteks seperti ini umat pada umumnya, yang merasa menjadi korban dari sistem pemerintahan dan religius yang diskriminatif, merindukan seorang raja yang dapat membebaskan mereka. Mereka tentu telah mendengar kisah Yesus yang telah membuat banyak mukjizat di kota-kota di luar Yerusalem. Ketika Yesus masuk ke Yerusalem menyambut-Nya dengan riang gembira dan penuh suka cita karena berharap bahwa Yesus dapat membawa perubahan, dapat membantu mereka untuk hidup bebas di tahah air mereka tanpa dikuasai lagi oleh orang Romawi. Singkatnya rakyat mengharapkan agar Yesus dapat menjadi raja politis yaitu raja yang dapat mengusir orang Romawai dari wilayah mereka. Berlatarbelakang pikiran dan kerinduan ini, mereka menyambut dengan sangat meriah dan sukacita Yesus yang masuk kota Yerusalam sambil bernyanyi, “Hosana.”
Namun beberapa hari kemudian, rakyat yang sama menginginkan agar Yesus dihukum mati. Di hadapan Pilatus, mereka berteriak, “Salibkan Dia! Salibkan Dia! Kami tidak mempunyai raja seperti Dia!” Mereka berasalan bahwa Yesus telah melanggar peraturan hari sabat dan terutama lagi telah menghujat Allah karena Yesus menganggap diri-Nya Putera Allah, yang mengenal dan yang berasal dari Allah.
Ketika dilihat lebih mendalam sebenarnya para pemuka agama Yahudi menghasut orang banyak ini atau umat untuk menuduh Yesus sebagai orang yang bersalah. Para pemuka agama Yahudi men-stir mereka dan meminta Pilatus menghukum mati Yesus di salib. Umat diarahkan dan dikondisikan oleh imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat yang merasa terancam dengan kehadiran dan ajaran Yesus. Mereka merasa takut kehilangan pengaruh dan kepercayaan dari masyarakat. Perlu diingat bahwa justru orang-orang yang sama yang meneriakan “Hosana-hosana” saat Yesus masuk kota Yerusalem dan mereka jugalah yang berteriak “Salibkan Dia!” di hadapan Pilatus.
**********
Dalam kisah ini saya perlu bertanya, saya berperan sebagai siapa? Kalau
saya memposisikan diriku sebagai bagian dari kisah ini, saya bertindak: sebagai
Yesus?, Pilatus? Para pemuka agama Yahudi? Ataukah saya berperan sebagai orang
banyak yang berteriak “Hosana dan Salibkan Dia!?”
Sebuah contoh yang dekat di hadapan mata kita adalah melihat relasi PDIP dan Gerindra. Dua tahun lalu mereka bekerjasama untuk menggolkan pasangan Jokowi-Ahok. Seluruh proses untuk memenangkan pasangan ini menuju kursi DKI 1 dan DKI 2 merupakan moment ‘Hosana’, sukacita dan penuh harapan dalam relasi kedua partai. Apa yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini? Yang terjadi adalah bahwa yang satu mencela, meremehkan, dan mau menguasai yang lain dengan segala cara. Aktor-aktor yang terlibat di dalamnya adalah mereka yang pernah duduk bersama, yang pernah bersatu, yang pernah membangun satu visi dan misi yang sama (baca harapan) bahkan sama-sama berteriak, “Horee, kita menang”, saat usaha mereka berhasil.
Mungkin dalam dunia politik hal semacam ini dianggap lumrah/biasa, tapi apa jadinya jika teriakan “Hosana dan Salibkan Dia!” terdengar dalam keluarga yang awalnya dicintai tapi kemudian dibenci? Setelah sekian lama hidup bersama dan karena satu dan lain hal, yang satu meninggalkan yang lain. Kisah yang awalnya dijalin dengan baik, penuh sukacita dan harapan harus berakhir dengan kisah sedih, berakhir duka. Yang satu meninggalkan luka mendalam pada yang lain karena merasa tidak mampu lagi bertahan. Yang jadi korban tentu saja pihak yang lemah juga anak-anak. Saya berangkat dari pengalaman yang sedang saya hadapi di mana banyak anak yang bertingkah tidak sebagaimana mestinya karena melihat orang tua mereka yang berpisah. Mereka sedih dan berontak melihat dan mengalami apa yang mereka hadapi dalam keluarga mereka.
Hal serupa bisa dilihat dalam nasib orang tua yang ditinggalkan anak-anak mereka sendiri. Ketika seorang anak lahir dalam keluarga, orang tua sangat bahagia. Rasa bahagia ini mereka (orang tua) ungkapkan dengan penuh kasih sayang dengan memperhatikan dan memenuhi kebutuhan sang anak agar bisa bertumbuh dan berkembang menjadi orang yang mandiri dan dewasa. Ketika sang anak menjadi dewasa, ia mengejar mimpinya dan mengorbankan banyak hal, termasuk melupakan orang tua, demi mewujudkan mimpinya. Dengan alasan seperti ‘demi karir’ sang anak memisahkan diri dari orang tua yang tak jarang berakhir di panti lansia atau ditelantarkan. Bagi sang anak, ‘mengejar karir’ adalah mimpi yang membawa sukacita tapi bagi orang tua yang lanjut usia ‘ditelantarkan anak sendiri’ adalah salib. Apakah saya termasuk dalam golongan ini?
*********
Kisah sengsara
Yesus yang kita dengar dalam pekan suci ini adalah kisah Putera Allah yang
sangat yakin dengan misi-Nya, yang sangat yakin akan besarnya kasih Allah Bapa kepada kita. Dalam seluruh hidup-Nya, Yesus mewujudkan kasih Allah yang tak bersyarat ini. Karena itu kisah sengsara dan wafat-Nya adalah kisah Kasih Allah kepada kita. Yesus bukan tipe manusia yang suka menderita (masokis) melainkan kisah manusia yang mengenal Allah juga manusia yang tahu mengasihi. Jadi, di hadapan kita yang berteriak, “Hosana dan Salibkan Dia!”, Yesus meresponnya dengan cinta dan pengampunan, “Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat (Luk 23:34).”
sangat yakin dengan misi-Nya, yang sangat yakin akan besarnya kasih Allah Bapa kepada kita. Dalam seluruh hidup-Nya, Yesus mewujudkan kasih Allah yang tak bersyarat ini. Karena itu kisah sengsara dan wafat-Nya adalah kisah Kasih Allah kepada kita. Yesus bukan tipe manusia yang suka menderita (masokis) melainkan kisah manusia yang mengenal Allah juga manusia yang tahu mengasihi. Jadi, di hadapan kita yang berteriak, “Hosana dan Salibkan Dia!”, Yesus meresponnya dengan cinta dan pengampunan, “Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat (Luk 23:34).”
Namun jangan lupa bahwa kisah Yesus ini merupakan juga kisah hidup kita. Kisah para tokoh atau lebih tepat respon tokoh-tokoh di sekitar Yesus juga kisah para tokoh yang kontro dengan-Nya adalah cermin kisahku da kisah kita. Reaksi Pilatus, imam-imam kepala, orang banyak, Yudas, dan para rasul lainnya merupakan gambaran kisah dan respon kita terhadap rencana Allah. Kalau kita mau jujur, sikapku dan sikap kita terhadap sesama terungkap seperti dalam kisah-kisah ini.
Selamat Memasuki Pekan Suci
Parma, 12 April 2014
Yanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar