Salerno, 7 Januari 2017
Untuk pertama kalinya saya bisa melihat jejak sepatuku di
atas jalan yang sering kulalui sejak saya tiba di Salerno 14 Oktober 2016 lalu.
Saya mengenalnya karena saya merupakan orang pertama yang melalui jalur ini
tadi pagi. Hal yang baru bukanlah diriku, bukan aspal yang berubah dan bukan
pula jejak kakiku melainkan salju yang memungkinkanku melihat jejakku. Ketika
kuberjalan sepanjang jalan Fra Giacomo Acquviva hanya bekas kakiku saja yang
ada, namun ketika saya sampai di persimpangan gereja Santo Paulus ternyata
sudah ada jejak ban mobil dan motor. Bahkan ada sebuah motor yang berusaha
melewati jalan bersalju, namun tidak berhasil bergerak sebagaimana mestinya dan
memaksa pengendaranya turun untuk menuntun motor itu demi keselamatanya
sendiri.
Tidak kubiarkan moment indah ini berlalu begitu saja tanpa
mengabadikannya pertama-tama dengan mata telanjang: melihat sambil mengagumi
salju yang bertebaran di mana-mana: di atas rumah, di atap mobil, di daun, di
atas kursi, di atas tangga dan terutama di atas aspal termasuk di bukit
Arecchi. Setelah itu kuambil handphoneku untuk memotret jejak kakiku di atas
salju, mengambil dua video dengan harapan untuk disharekan ke teman-temanku nun jauh di asia sana. Saya senang
melakukan ini meskipun sebenarnya tanganku menjadi sangat beku karena suhu yang
dingin serta diterpa angin yang lumayan kencang.
Petualanganku pagi ini bukan demi salju melainkan demi tugas:
pergi merayakan misa di komunitas suster para puteri gereja dengan jarak tempuh
sepuluh sampai lima belas menit dalam kondisi normal. Namun hari ini saya
membutuhkan waktu lebih dari tigapuluh menit: selain karena ‘bermain salju
sambil narsis’ tapi juga karena berjalan di atas salju resikonya besar sekali. Hal
itu saya rasakan ketika harus melewati jalan yang miring: konsentrasi harus
terfokus karena harus memastikan langkah sebab ketika salah melangkahkan kaki
maka konsekuensinya adalah terbelanting seperti ranting pohon yang jatuh. Tidak
boleh menghayal saat jalan di atas salju apalagi mata belalak sana sini: itu
alamatnya tidak lain dan tidak bukan adalah salah alamat; bisa-bisa berakhir di
rumah sakit. Buah konsentrasiku sangat baik: saya tiba dengan sehat di kapel
dan merayakan misa hanya dengan tiga suster.
Saat pulang situasinya lain: salju yang turun mulai
berkurang, angin mulai mereda namun di beberapa tempat saljunya berubah menjadi
beku dan mencair sehingga membuat jalan menjadi licin. Orang yang tidak
hati-hati saat berjalan akan merasakan perihnya terjun bebas alias tergelincir.
Itu memang nyata ketika saya sedang berusaha berjalan di jalan yang rata tapi
sangat licin karena sudah banyak mobil yang melewati jalan itu. Dua meter dari
hadapanku seorang laki-laki dewasa, kira-kira berumur di atas lima puluh tahun,
dengan pakaiannya yang lumayan elegan, sedang berjalan beralawanan arah
denganku. Dia sedang menatap tajam ke depan, penuh percaya diri sambil
melangkahkan kaki, eh ternyata saat itu kaki kanannya meleset dan seluruh
tubuhnya terjerembab ke tanah, dan itu terjadi hanya dalam sekejap mata. “Niente da fare” pensavo. Dalam hati saya
berucap salah langkah dan jatuh memang normal, karena kesalahannya sendiri.
Tidak jauh sesudah itu saya menemukan hal yang lebih aneh,
paling tidak menurutku. Saya sudah memasuki zona tempat tinggal kami, di daerah
Irno. Saya sedang mendaki sebuah tanjakkan kecil ketika kudengar seorang
laki-laki yang bilang, “ayo cepat, cepat. Jangan ke situ, itu sangat licin”.
Saya, sambil jalan, saya berusaha mencari lawan bicara dari orang ini. Benar
bahwa tidak ada orang lain di situ, yang ada hanya seekor anjing besar yang
sedang dia temani. Eh ternyata orang ini sedang berbicara dengan anjingnya.
Dalam hati saya berujar “ternyata dunia dongeng itu benar di mana binatang pun
bisa diajak bicara”bahkan di dunia modern seperti italia.
Ternyata melihat orang berbicara dengan anjing bukanlah akhir
dari keanehan yang kujumpai di hari bersalju, di Salerno lagi. Ada yang lebih
buruk dan lebih tidak masuk akal di mana seorang ibu jatuh terjerembab karena
berusaha berlari kecil mengikuti irama lari dari anjingnya. Anehnya: ada salju,
jalan menurun dan lari karena ikut anjing yang sedang lari.
Dalam hati kecilku kuingat orang-orang di kampungku yang
sangat penasaran mencari tahu bagaimana bentuknya salju dan apa yang bisa
dibuat saat salju. Mereka sangat teliti mendengar rasa kagumku ketika saya melihat
salju secara langsung. Mengingat hal itu saya pun berujar pasrah dalam hati, “Mereka
pasti akan semakin merasa aneh melihat orang yang lari dan jatuh tergelincir di
salju gara-gara anjing”.