Judul di atas adalah motto
tahbisan imam dari om-ku, P. Bone, SVD. Beliau mengutip sebuah ayat dari kitab Mazmur
tapi sayangnya saya telah lupa bab dan ayatnya yang pasti. Pertama kali saya
membaca frase itu adalah 15 tahun lalu. Saat itu saya tidak mengerti apa maksud
frase itu karena di tahun-tahun itu saya hampir tidak pernah membaca Kitab
Suci. Kesempatan untuk mendengar bacaan-bacaan KS adalah hari minggu saat di
gereja tapi saya jarang sekali pergi ke misa karena harus menempuh kurang lebih
satu jam perjalanan jauhnya. Jujur saja saya malas ke gereja karena alasan di
atas tetapi juga karena ada pilihan lain yang lebih menarik yang sering
kulakukan pada hari Minggu yaitu pergi mencari dan menangkap ikan dan belut di
beberapa kali yang berada di sekitar kampungku. Saya lebih suka pergi menangkap
ikan dan belut karena sudah pasti akan ada hasil yang bisa saya bawa pulang ke
rumah sementara kalau pergi ke gereja untuk mengikuti misa saya tidak
memperoleh apa-apa. Saya lebih mampu mengingat jalan-jalan setapak yang harus
kami tempuh saat pergi ke kali daripada mengingat nama-nama penginjil,
nama-nama para rasul apalagi mengingat kisah-kisah penting dalam hidup Yesus
dalam injil-Nya. Ketika mengingat kembali pengalaman-pengalaman ini saya tentu
saja heran dan bahkan membuatku tertawa sendiri, tapi itulah sejarah hidupku.
“Aneh memang, tapi itu nyata.”
*********
Tuhan, Engkau Hebat, kini merupakan ungkapan hatiku
yang terdalam. Masa prapaskah tahun ini mengantarku pada
pengakuan dan kesimpulan ini. Saya tidak bisa tidak mengatakan ini. Saya tidak
bisa mengelak lagi memuji-Nya demikian. Keadaanku sama seperti keadaan hati
seorang yang sangat terpesona dengan berkat, hadiah, hal terindah dalam
hidupnya. Di hadapan situasi yang mempesonakan pasti seorang terkagum. Untuk
sampai pada keterpesonaan, kekaguman bahwa “Tuhan, Engkau HEbat” saya berangkat
dari dari kisah-kisah injil dalam pekan suci ini.
Dalam bacaan injil hari Minggu
Palma saya mendengar kisah Yesus saat masuk kota Yerusalem. Banyak orang
mengelu-elukan-Nya karena mereka berharap Dia dapat menjadi raja yang dapat
membebaskan Israel dari belenggu kaum Romawi. Beberapa hari kemudian orang
banyak yang sama/serupa meneriakkan, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” di hadapan
Pilatus atas desakan para pemuka agama Yahudi (baca, SUKA YANG BERDUKA, dlm http://fsupandri.blogspot.it/2014/04/suka-yang-berduka.html).
Kisah masuknya Yesus ke Yerusalem
merupakan awal kisah sengsara-Nya. Yesus ditinggalkan sendirian baik para rasul
yang dipilih-Nya sendiri, para pemuka agama yang merasa terancam dengan
kehadiran-Nya juga oleh orang banyak sampai Pilatus dengan menjatuhkan hukuman
mati terhadap-Nya.
Kesedihan-Nya berawal setelah perjamuan malam terakhir
di mana Yesus membasuh kaki para rasul dan menetapkan ekaristi. Setelah perjamuan
malam, Yudas Iskariot meninggalkan ruang perjamuan. Yudas Iskariot pergi
menemui imam-imam kepala yang telah dia temui sebelumnya dengan janji 30 perak
akan diterimanya ketika Yudas memberitahu di mana keberadaan Yesus. Yudas Iskariot
kemudian membimbing massa dan segerombolan pasukan atas perintah para imam dan
tua-tua agama Yahudi untuk menangkap Yesus. “Orang yang kucium, itulah Dia,
tangkaplah Dia,” (Mat 26,48) kata Yudas kepada serdadu di Taman Getsemani. Yudas
Iskariot, yang telah menjadi bagian dari kelompok para rasul yang dibentuk oleh
Yesus sendiri, hidup bersama-Nya dan telah mendengar segala ajaran kasih-Nya,
kini mengkhianati-Nya. Yudas Iskariot, bukan hanya meninggalkan Yesus dan
kesebelas rasul lain dan melepaskan diri dari-Nya melainkan menyerahkan-Nya
kepada orang-orang yang telah menginginkan kematian-Nya. Yudas mengaplikasikan
kebaikan kasih Yesus dengan mengkhianati-Nya, dengan menyerahkan Yesus kepada
orang-orang yang merasa diri mereka musuh dari Yesus.
Sebelum Yesus ditangkap di
Getsemani, Yesus telah berada di sana bersama Simon Petrus, Yohanes dan
Yakobus. Yesus meminta mereka untuk menemani-Nya menghadapi penderitaan yang
ada di depan mata. Akan tetapi mereka malah tertidur di saat Yesus bergulat. Ketiga
murid ini tidak memahami apa yang dihadapi Yesus. Yesus ditinggalkan sendirian
berpuncak ketika serdadu yang dituntun Yudas Iskariot atas perintah para imam
kepala menangkap-Nya. Melihat Yesus telah berada di tangan massa dan serdadu,
para murid melarikan diri: “Lalu semua murid-murid itu meninggalkan Dia dan
melarikan diri,” (Mat 26,56: Mrk 14,50).
Ketika Yesus dibawa oleh massa ke
Mahkamah Agama, Petrus mengikuti meskipun secara sembunyi-sembunyi. Motivasi Petrus
mengikuti Yesus dari jauh bukan untuk membela Yesus tetapi dia penasaran akan
apa yang terjadi pada Yesus. Ketika massa
dan Yesus tiba di halaman imam besar, Petrus turut masuk. Saat itu seorang
wanita datang menanyainya apakah Petrus kenal dan menjadi murid Yesus. Dengan lantang
Petrus menjawabnnya, “Saya tidak kenal orang itu (Yesus).” Petrus yang selalu berada di samping Yesus
dan yang menjadi juru bicara untuk para rasul lain, kini menyangkal Yesus bahkan
sampai tiga kali. Tentu saja rasa takut terhadap orang banyak menghantui Petrus
sehingga dia menyangkal Yesus yang telah di akui sebagai Mesias dari Allah
ketika menjawab pertanyaan Yesus sebelumnya, “Menurut kamu, siapakah saya?” (Mat
16,16). Petrus persis menyangkal Yesus di hadapan orang banyak dan itu
berararti sebuah pukulan yang besar dan menyakitkan terhadap Yesus yang telah
memilih dan menjadikan rasul-Nya. Menyangkali seseorang di hadapan orang banyak
merupakan suatu pengalaman pahit, menyakitkan, dan memalukan. Apakah perasaan
Yesus ketika mendengar penyangkalan Petrus? Apakah Yesus menyesal telah memilih
Petrus?
Setelah dikhianati, ditinggalkan sendirian dan
disangkal oleh rasul-rasul yang telah mengenal-Nya dan telah hidup bersama-Nya,
Yesus kemudian disingkirkan dan dihukum mati oleh orang yang merasa terancam
dengan kehadiran-Nya. Sebut saja tuduhan-tuduhan palsu yang disampaikan atau
diteriakkan oleh massa yang telah diatur, telah di-stir oleh imam kepala dan pemuka agama Yahudi. Maksud tuduhan
palsu itu tentu untuk menyudutkan dan menyingkirkan Yesus karena mereka takut
kehilangan pengaruh dan wibawa religius di kalangan umat mereka. Pilatus,
terbawa oleh tekanan dan desakan para pemuka agama Yahudi, akhirnya menjatuhkan
hukuman mati terhadap Yesus. Ketika Yesus disalib pun cercaan dan sindiran
terus terdengar, “JIka engkau Anak Allah, turunlah dari salib, selamatkanlah
dirimu sekarang dan kami akan percaya kepadamu,” teriak atau sindiran orang
banyak.
Apakah Yesus memang sendirian? Apakah Yesus diam dan
tidak berbuat apa-apa?
************
Pusat atau tokoh utama dalam
kisah ini adalah Yesus, Putera Allah. Meskipun Dia dikhianati, ditinggalkan,
disangkal dan dihukum mati itu tidak berarti Dia pasif. Sebaliknya, Dia aktif, Dia
adalah tokoh protagonis karena dalam sikap-Nya itu terungkap cinta-Nya yang
tulus.
Pada titik ini saya mengingat
Yesus ketika berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang
sahabat yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya, (Yoh 15,13).” Yesus dalam
ucapan bahagia berkata, “Tetapi kepada
kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu ,
berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah
berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. Barangsiapa
menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan
barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu .Berilah
kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada
orang yang mengambil kepunyaanmu. Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya
orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.
Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena
orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab
jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah
jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. Dan jikalau kamu
meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu
dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan
kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi
kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan
pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu
akan menjadi anak-anak i Allah
Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang
tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. Hendaklah
kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah
murah hati. (Luk 6,27-36: Mat
5,38-48).” Yesus berbuat baik terhadap orang-orang berbuat jahat terhadap-Nya.
Yang terjadi dalam seluruh hidup Yesus kemudian
mencapai puncaknya dalam kisah sengsara dan wafat-Nya di salib merupakan
perwujudan nyata, riil, dan kongkret dari semua kalimat yang terucap dari
mulut-Nya. Kisah sengsara Yesus adalah kisah Kasih Allah kepadaku, kepada
manusia seluruhnya. Yesus tentu saja tidak menyukai sengsara atau penderitaan. Tetapi
Ia suka mencintai karena tidak mungkin Dia tidak mencintai. Besar, luas,
panjang dan dalamnya kasih Yesus kepadaku dan manusia pada umumnya terungkap
dalam salib-Nya. Ia tetap mencintaiku walaupun taruhannya adalah
wafat di salib. Ia menerima salib-Nya kalau memang melalui salib itu
terwujudulah dan tersingkaplah kasih-Nya. Kasih merupakan alasanya Dia
menderita di salib. Oleh karena itu salib bukanlah simbol kegagalan apalagi
simbol hukuman bagi orang jahat. Sebaliknya, dalam diri Dia yang tersalib saya
menemukan dan mengenal Allah yang membalas kejahatan, dosa, pengkhianatanku
dengan kasih. Dalam salib Yesus tidak diam melainkan dia menjawab semua tuduhan
dengan kasih. Diam-Nya bukan diam bisu
melainkan diam seorang manusia yang mengenal Allah dan yang tahun mengasihi.
Justru berangkat dari keyakinan ini dengan sukacita
saya berseru lagi “Tuhan, Memang Engkau Hebat”. Seruan ini muncul dari imanku
bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia, yang hidup dalam sejarah
kongkret manusiawi kecuali dosa. Dalam hidup-Nya, ajaran dan tindakan-tindakan-Nya,
Yesus menyingkapkan Allah adalah Kasih (1 Yoh 8, 8). Yesus mengerjakan dan
melakukan apa yang dilakukan Bapa. Yesus
menjawab mereka, kata-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
Anaktidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia
melihat Bapamengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa,
itu juga yang dikerjakan Anak. (Yoh 5,19)” Allah tidak bisa tidak
mengasihiku, mengasihi manusia karena hakikat-Nya adalah kasih. Pekerjaan kasih
adalah mengasihi, tidak ada yang lain, apapun dan berapapun harganya. Justru Allah
inilah yang ditunjukkan Yesus dalam seluruh hidup-Nya yang berpuncak pada
salib. Dalam diri Kristus yang tersalib saya menemukan dan mengenal Allah
sebagai Kasih. Allah membalas
kejahatanku dengan mengampuni, “Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu
apa yang mereka perbuat, (Luk 23, 34).” Dia menghukumku dengan mengasihiku. Atas
dasar itu saya tidak bisa mengelak untuk memuji-Nya, “Tuhan, Engkau Hebat.”
Selamat Menikmati Tri Hari
Suci,
Parma, 18 April 2014
Yanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar