Jumat, 18 April 2014

TUHAN, ENGKAU HEBAT!


Judul di atas adalah motto tahbisan imam dari om-ku, P. Bone, SVD. Beliau mengutip sebuah ayat dari kitab Mazmur tapi sayangnya saya telah lupa bab dan ayatnya yang pasti. Pertama kali saya membaca frase itu adalah 15 tahun lalu. Saat itu saya tidak mengerti apa maksud frase itu karena di tahun-tahun itu saya hampir tidak pernah membaca Kitab Suci. Kesempatan untuk mendengar bacaan-bacaan KS adalah hari minggu saat di gereja tapi saya jarang sekali pergi ke misa karena harus menempuh kurang lebih satu jam perjalanan jauhnya. Jujur saja saya malas ke gereja karena alasan di atas tetapi juga karena ada pilihan lain yang lebih menarik yang sering kulakukan pada hari Minggu yaitu pergi mencari dan menangkap ikan dan belut di beberapa kali yang berada di sekitar kampungku. Saya lebih suka pergi menangkap ikan dan belut karena sudah pasti akan ada hasil yang bisa saya bawa pulang ke rumah sementara kalau pergi ke gereja untuk mengikuti misa saya tidak memperoleh apa-apa. Saya lebih mampu mengingat jalan-jalan setapak yang harus kami tempuh saat pergi ke kali daripada mengingat nama-nama penginjil, nama-nama para rasul apalagi mengingat kisah-kisah penting dalam hidup Yesus dalam injil-Nya. Ketika mengingat kembali pengalaman-pengalaman ini saya tentu saja heran dan bahkan membuatku tertawa sendiri, tapi itulah sejarah hidupku. “Aneh memang, tapi itu nyata.”
*********
Tuhan, Engkau Hebat, kini merupakan ungkapan hatiku yang terdalam. Masa prapaskah tahun ini mengantarku pada pengakuan dan kesimpulan ini. Saya tidak bisa tidak mengatakan ini. Saya tidak bisa mengelak lagi memuji-Nya demikian. Keadaanku sama seperti keadaan hati seorang yang sangat terpesona dengan berkat, hadiah, hal terindah dalam hidupnya. Di hadapan situasi yang mempesonakan pasti seorang terkagum. Untuk sampai pada keterpesonaan, kekaguman bahwa “Tuhan, Engkau HEbat” saya berangkat dari dari kisah-kisah injil dalam pekan suci ini.

Dalam bacaan injil hari Minggu Palma saya mendengar kisah Yesus saat masuk kota Yerusalem. Banyak orang mengelu-elukan-Nya karena mereka berharap Dia dapat menjadi raja yang dapat membebaskan Israel dari belenggu kaum Romawi. Beberapa hari kemudian orang banyak yang sama/serupa meneriakkan, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” di hadapan Pilatus atas desakan para pemuka agama Yahudi (baca, SUKA YANG BERDUKA, dlm http://fsupandri.blogspot.it/2014/04/suka-yang-berduka.html). Kisah masuknya Yesus ke Yerusalem merupakan awal kisah sengsara-Nya. Yesus ditinggalkan sendirian baik para rasul yang dipilih-Nya sendiri, para pemuka agama yang merasa terancam dengan kehadiran-Nya juga oleh orang banyak sampai Pilatus dengan menjatuhkan hukuman mati terhadap-Nya.

Kesedihan-Nya berawal setelah perjamuan malam terakhir di mana Yesus membasuh kaki para rasul dan menetapkan ekaristi. Setelah perjamuan malam, Yudas Iskariot meninggalkan ruang perjamuan. Yudas Iskariot pergi menemui imam-imam kepala yang telah dia temui sebelumnya dengan janji 30 perak akan diterimanya ketika Yudas memberitahu di mana keberadaan Yesus. Yudas Iskariot kemudian membimbing massa dan segerombolan pasukan atas perintah para imam dan tua-tua agama Yahudi untuk menangkap Yesus. “Orang yang kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia,” (Mat 26,48) kata Yudas kepada serdadu di Taman Getsemani. Yudas Iskariot, yang telah menjadi bagian dari kelompok para rasul yang dibentuk oleh Yesus sendiri, hidup bersama-Nya dan telah mendengar segala ajaran kasih-Nya, kini mengkhianati-Nya. Yudas Iskariot, bukan hanya meninggalkan Yesus dan kesebelas rasul lain dan melepaskan diri dari-Nya melainkan menyerahkan-Nya kepada orang-orang yang telah menginginkan kematian-Nya. Yudas mengaplikasikan kebaikan kasih Yesus dengan mengkhianati-Nya, dengan menyerahkan Yesus kepada orang-orang yang merasa diri mereka musuh dari Yesus.

Sebelum Yesus ditangkap di Getsemani, Yesus telah berada di sana bersama Simon Petrus, Yohanes dan Yakobus. Yesus meminta mereka untuk menemani-Nya menghadapi penderitaan yang ada di depan mata. Akan tetapi mereka malah tertidur di saat Yesus bergulat. Ketiga murid ini tidak memahami apa yang dihadapi Yesus. Yesus ditinggalkan sendirian berpuncak ketika serdadu yang dituntun Yudas Iskariot atas perintah para imam kepala menangkap-Nya. Melihat Yesus telah berada di tangan massa dan serdadu, para murid melarikan diri: “Lalu semua murid-murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri,” (Mat 26,56: Mrk 14,50).

Ketika Yesus dibawa oleh massa ke Mahkamah Agama, Petrus mengikuti meskipun secara sembunyi-sembunyi. Motivasi Petrus mengikuti Yesus dari jauh bukan untuk membela Yesus tetapi dia penasaran akan apa yang terjadi pada Yesus. Ketika massa dan Yesus tiba di halaman imam besar, Petrus turut masuk. Saat itu seorang wanita datang menanyainya apakah Petrus kenal dan menjadi murid Yesus. Dengan lantang Petrus menjawabnnya, “Saya tidak kenal orang itu (Yesus).”  Petrus yang selalu berada di samping Yesus dan yang menjadi juru bicara untuk para rasul lain, kini menyangkal Yesus bahkan sampai tiga kali. Tentu saja rasa takut terhadap orang banyak menghantui Petrus sehingga dia menyangkal Yesus yang telah di akui sebagai Mesias dari Allah ketika menjawab pertanyaan Yesus sebelumnya, “Menurut kamu, siapakah saya?” (Mat 16,16). Petrus persis menyangkal Yesus di hadapan orang banyak dan itu berararti sebuah pukulan yang besar dan menyakitkan terhadap Yesus yang telah memilih dan menjadikan rasul-Nya. Menyangkali seseorang di hadapan orang banyak merupakan suatu pengalaman pahit, menyakitkan, dan memalukan. Apakah perasaan Yesus ketika mendengar penyangkalan Petrus? Apakah Yesus menyesal telah memilih Petrus?

Setelah dikhianati, ditinggalkan sendirian dan disangkal oleh rasul-rasul yang telah mengenal-Nya dan telah hidup bersama-Nya, Yesus kemudian disingkirkan dan dihukum mati oleh orang yang merasa terancam dengan kehadiran-Nya. Sebut saja tuduhan-tuduhan palsu yang disampaikan atau diteriakkan oleh massa yang telah diatur, telah di-stir oleh imam kepala dan pemuka agama Yahudi. Maksud tuduhan palsu itu tentu untuk menyudutkan dan menyingkirkan Yesus karena mereka takut kehilangan pengaruh dan wibawa religius di kalangan umat mereka. Pilatus, terbawa oleh tekanan dan desakan para pemuka agama Yahudi, akhirnya menjatuhkan hukuman mati terhadap Yesus. Ketika Yesus disalib pun cercaan dan sindiran terus terdengar, “JIka engkau Anak Allah, turunlah dari salib, selamatkanlah dirimu sekarang dan kami akan percaya kepadamu,” teriak atau sindiran orang banyak.


Apakah Yesus memang sendirian? Apakah Yesus diam dan tidak berbuat apa-apa?

************
Pusat atau tokoh utama dalam kisah ini adalah Yesus, Putera Allah. Meskipun Dia dikhianati, ditinggalkan, disangkal dan dihukum mati itu tidak berarti Dia pasif. Sebaliknya, Dia aktif, Dia adalah tokoh protagonis karena dalam sikap-Nya itu terungkap cinta-Nya yang tulus.

Pada titik ini saya mengingat Yesus ketika berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang sahabat yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya, (Yoh 15,13).” Yesus dalam ucapan bahagia berkata, “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu  , berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu .Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali  kepada orang yang mengambil kepunyaanmu. Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka. Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka  dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak i  Allah Yang Mahatinggi,  sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.  Hendaklah kamu murah hati,   sama seperti Bapamu   adalah murah hati. (Luk 6,27-36: Mat 5,38-48).” Yesus berbuat baik terhadap orang-orang berbuat jahat terhadap-Nya.

Yang terjadi dalam seluruh hidup Yesus kemudian mencapai puncaknya dalam kisah sengsara dan wafat-Nya di salib merupakan perwujudan nyata, riil, dan kongkret dari semua kalimat yang terucap dari mulut-Nya. Kisah sengsara Yesus adalah kisah Kasih Allah kepadaku, kepada manusia seluruhnya. Yesus tentu saja tidak menyukai sengsara atau penderitaan. Tetapi Ia suka mencintai karena tidak mungkin Dia tidak mencintai. Besar, luas, panjang dan dalamnya kasih Yesus kepadaku dan manusia pada umumnya terungkap dalam salib-Nya. Ia tetap mencintaiku walaupun taruhannya adalah wafat di salib. Ia menerima salib-Nya kalau memang melalui salib itu terwujudulah dan tersingkaplah kasih-Nya. Kasih merupakan alasanya Dia menderita di salib. Oleh karena itu salib bukanlah simbol kegagalan apalagi simbol hukuman bagi orang jahat. Sebaliknya, dalam diri Dia yang tersalib saya menemukan dan mengenal Allah yang membalas kejahatan, dosa, pengkhianatanku dengan kasih. Dalam salib Yesus tidak diam melainkan dia menjawab semua tuduhan dengan kasih. Diam-Nya bukan diam bisu melainkan diam seorang manusia yang mengenal Allah dan yang tahun mengasihi.

Justru berangkat dari keyakinan ini dengan sukacita saya berseru lagi “Tuhan, Memang Engkau Hebat”. Seruan ini muncul dari imanku bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia, yang hidup dalam sejarah kongkret manusiawi kecuali dosa. Dalam hidup-Nya, ajaran dan tindakan-tindakan-Nya, Yesus menyingkapkan Allah adalah Kasih (1 Yoh 8, 8). Yesus mengerjakan dan melakukan apa yang dilakukan Bapa.  Yesus menjawab mereka, kata-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Anaktidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri,   jikalau tidak Ia melihat Bapamengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak. (Yoh 5,19)” Allah tidak bisa tidak mengasihiku, mengasihi manusia karena hakikat-Nya adalah kasih. Pekerjaan kasih adalah mengasihi, tidak ada yang lain, apapun dan berapapun harganya. Justru Allah inilah yang ditunjukkan Yesus dalam seluruh hidup-Nya yang berpuncak pada salib. Dalam diri Kristus yang tersalib saya menemukan dan mengenal Allah sebagai  Kasih. Allah membalas kejahatanku dengan mengampuni, “Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat, (Luk 23, 34).” Dia menghukumku dengan mengasihiku. Atas dasar itu saya tidak bisa mengelak untuk memuji-Nya, “Tuhan, Engkau Hebat.”

Selamat Menikmati Tri Hari Suci,
Parma, 18 April 2014
Yanto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar