Minggu, 20 April 2014

SAYA BELUM MERAYAKAN PASKAH KRISTUS

Sudah dua tahun saya tidak pernah mendengar lagi sebuah frase yang paling saya sukai saat mengikuti jalan salib selama masa prapaskah. Bunyi frase itu kurang lebih ini, “Biji gandum jika tidak jatuh ke dalam tanah dan mati dia tetap sendirian saja dan tidak menghasilkan buah. Tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan buah yang banyak.” Saya yakin penulis frase ini pernah mempunyai kebun atau paling tidak  memahami dinamika pertanian. Kebiasaanku ketika sampai pada frase ini saya pasti mendengarnya dengan baik kemudian saya mencoba memikirkan maknanya sampai beberapa kali harus kehilangan konsentrasi mengikuti perhentian-perhentian berikutnya.

Saya suka mendengar frase ini karena hal itu mengingatkanku akan apa yang pernah kubuat di kebunku di Laja, lahan paling ujung dari kampung Dasak, Wae Sano, Manggarai Barat, Flores, NTT, Indonesia. Saat musim tanam tiba, saya dan ayahku juga orang-orang di kampungku yang umumnya petani, kami menanam padi (yang memang beda dari gandum) di kebun. Biasanya dalam sebuah lubang kecil kami menaruh beberapa biji padi. Beberapa hari kemudian akan muncul dari dalam tanah beberapa tunas kecil yang kemudian bertumbuh dan berkembang menjadi batang padi sampai akhirnya menghasilkan lagi biji padi. Prosesnya adalah biji padi itu harus masuk ke tanah, mati sehingga dari padanya muncullah, tumbuhlah tunas baru, kehidupan baru dan akhirnya menghasilkan buah padi. Buah padi ini dikonsumsi oleh petani untuk dapat (bertahan) hidup. Jadi biji padi atau gamdum mati untuk menghasilkan biji padi atau gandum lagi. Tanpa harus menjadi petani, dinamika ini dapat dipahami dan itu memang benar.
**************
Frase ini, “Biji gandum jika tidak jatuh ke dalam tanah dan mati dia tetap sendirian saja dan tidak menghasilkan buah. Tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan buah yang banyak,” sangat tepat digunakan atau diperdengarkan pada masa prapaskah-paskah karena dapat membantu pendengar berefleksi sehingga dapat masuk ke dalam misteri iman yang sedang dihidupi. Saya sangat terbantu untuk mendalami misteri sengsara Yesus. Saya suka mendengarnya karena dapat membantuku memaknai misteri salib, kematian dan kebangkitan Kristus.

Kematian Yesus bukanlah the end dari sejarah hidup-Nya, bukanlah kebinasaan. Kematian-Nya menunjukkan solidaritas-Nya terhadap manusia. Bagi orang yang percaya, bagi saya yang percaya pada-Nya, kematian bukanlah akhir dari hidupku, hidup manusia. Dalam kematian-Nya, Yesus menunjukkan bahwa Ia turut hadir dan mengambil bagian dalam pengalaman riil manusia, dalam pengalaman kematian manusia. Yesus mati, dikuburkan dan berada di liang kubur selama tiga hari. Yesus menemani manusia sampai ke liang kubur dan kemudian bersama Dia, dalam kebangkitan-Nya, manusia dibawa ke dalam hidup baru, dibangkitkan bersama-Nya oleh Allah Bapa. Partisipasi Yesus dalam kematian manusia bisa kubaca juga dalam perumpamaan tentang domba yang hilang. Yesus, Sang Gembala, mencari domba itu sampai menemukannya dan ketika ditemukan, domba itu diletakkan pada bahu-Nya dan dibawanya pulang. Yesus datang mencari kita sampai ke liang kubur untuk menyatakan, “Anakku, sahabatku, engkau tidak sendirian di sini. Saya datang mencari dan mengantarmu pulang. Tempatmu dan tempat kita tidak di sini—dalam liang kubur ini—tapi tempat kita adalah di pangkuan Bapa, hidup bahagia bersama-Nya.” Di hadapan hal ini saya tidak bisa tidak bersukacita.

Dari peristiwa iman ini, saya meyakini bahwa Allah Kristiani adalah Allah yang hidup. Pilatus atas desakan pemuka agama Yahudi telah membunuh Yesus, tapi Allah membangkitkan-Nya, menghidupkan-Nya karena Tuhan lebih kuat dari kematian, karena cinta lebih besar dari kematian. Cinta Allah adalah menghidupkan. Allah tidak menghendaki kematian melainkan kehidupan. Ketika saya mendalami perintah kasih Yesus, orientasi dari ajaran dan hidup kasih-Nya tertuju pada kehidupan bukan kematian. Mengasihi musuh berarti mengharapkan atau membiarkannya tetap hidup. Hal ini kurang lebih sama seperti pengalaman cinta manusiawi yang kualami yang selalu berorientasi pada hidup. Ketika saya mengasihi seseorang, saya menginginkan agar dia hidup, sehat, baik dan sukses dalam usahanya. Ketika orang yang kukasihi telah meninggal tidak berarti cintaku berakhir. Buktinya saya masih mendoakannya agar dia mempunyai hidup kekal bersama Allah yang menciptanya. Meskipun dia telah tiada saya masih mengingat senyumnya, masih ingat perbuatan-perbuatan baiknya, nasihatnya, kisahnya, masih terpatri dalam diriku pengalaman bersamanya. Ketika saya masih mengingatnya demikian berarti dia masih hidup meskipun caraku berelasi dengannya sudah tidak seperti dulu saat dia hidup secara fisik. Jika cinta manusiawi kita punya makna yang dalam dan kekal, bisa dibayangkan dan dimengerti cinta Tuhan agar kita hidup senantiasa.

Pada titik ini saya dengan sukacita yakin bahwa Allah memang hebat. Meskipun manusia menolak-Nya, Ia tetap setia, Ia tetap mencintai kita. Bukti penolakan manusia terhadap-Nya dapat dilihat dalam Putera-Nya yang tersalib. Di sisi lain, radikalitas cinta-Nya kepadaku, kepada manusia yang menolak-Nya terungkap pula dalam diri Dia yang tersalib. Dalam diri Kristus yang tersalib tersingkap Allah yang mencintai manusia sekaligus tersingkap manusia yang menolak-Nya.
Akan tetapi melalui kebangkitan-Nya, saya percaya bahwa Allah lebih kuat dari kematian dan penolakan manusia. Kasih lebih kuat dan lebih besar dari kematian. Kasih-Nya lebih kuat atas penolakanku, kasih menang atas kejahatan. Terang menang atas gelap. Dalam diri Kristus yang bangkit (Mat 28,6) tersingkap Allah yang hidup yang menginginkan kehidupan kekal bagi Putera-Nya dan seluruh manusia.

Bacaan injil malam paskah tahun ini penginjil Matius mengisahkan, “…Janganlah kamu takut sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya. Mari, lihatlah tempat Ia berbaring. Dan segeralah pergi dan katakanlah kepada para murid-Nya bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati. Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, (Mat 28,5-7).” Penginjil Matius mengatakan bahwa Yesus yang disalibkan telah bangkit dari antara orang mati. Dalam injil Lukas kita dapat membaca afermasi ini dalam bantuk pertanyaan, “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? (Luk 24,5b).” Yesus hidup dari antara orang mati. Kebangkitan Kristus berarti bahwa Dia hidup dari antara orang mati. Bagaimana saya dapat menjumpai dan mengalami Yesus yang bangkit, Yesus yang hidup dari antara orang mati?

Menarik menelusuri keterang penginjil Matius saat mengatakan, “Ia mendahului kamu ke Galilea: di sana kamu akan melihat Dia (Mat 28,7b).” Apa yang terjadi di Galilea? Yesus berkeliling untuk memeberitakan kehadiran Kerajaan Surga dalam diri-Nya, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat (Mat 4,17).” Di Galilea Ia memanggil, membentuk dan mengutus rasul-rasul-Nya untuk hidup dalam logika Kerajaan Surga yang Dia beritakan dan kemudian pergi mewartakannya. Ketika saya berusaha membentuk keluarga dan komunitasku sebagai komunitas kasih di mana pusatnya adalah Kristus maka di situ saya menemukan Kristus yang bangkit, yang hidup. Di Galilea Yesus mengajarkan ucapan bahagia atau sering disebut sebagai Kotbah di Bukit di mana menurut Yesus orang yang berbahagia adalah orang miskin di hadapan Allah; yang lapar dan haus akan kebenaran; yang suci dan murni hatinya; yang dianiaya oleh sebab kebenaran karena merekalah empunya Kerajaan Surga. Yesus yang bangkit dapat kujumpai dan kualami ketika saya menjumpai orang yang murah hati dan tulus hidupnya, ketika menjumpai orang yang hidup benar sekecil atau sebesar apapun perbuatannya. Dalam hidupku sendiri ketika saya hidup benar, tulus, murah hati berarti Dia yang bangkit telah tinggal dalam diriku. Di Galilea Yesus mengajarkan doa, menyembuhkan orang sakit, juga mengajarkan untuk memberi pipi kiri kepada orang yang telah menampar pipi kanan. Yesus yang sama di Galilea mengajarkan supaya saya mengasihi musuhku, mendoakan mereka yang menganiayaiku dan berbuatlah baik kepada orang yang telah berbuat jahat. Mendoakan musuh dan orang yang berbuat jahat padaku adalah tanda umat Allah yang telah mengalami Kristus yang bangkit dan ikut bangkit bersama-Nya. Jika saya belum pernah melakukan ini, hal-hal yang dihidupi Yesus di Galilea, maka saya belum merayakan Paskah Kristus. Jika itu terjadi maka saya belum mengenal Allah yang tersingkap dalam diri Yesus.

Selamat Paskah

Parma, 20 April 2014
Yanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar