Sudah
dua tahun saya tidak pernah mendengar lagi sebuah frase yang paling saya sukai
saat mengikuti jalan salib selama masa prapaskah. Bunyi frase itu kurang lebih
ini, “Biji gandum jika tidak jatuh ke dalam tanah dan mati dia tetap sendirian
saja dan tidak menghasilkan buah. Tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan
buah yang banyak.” Saya yakin penulis frase ini pernah mempunyai kebun atau
paling tidak memahami dinamika
pertanian. Kebiasaanku ketika sampai pada frase ini saya pasti mendengarnya
dengan baik kemudian saya mencoba memikirkan maknanya sampai beberapa kali
harus kehilangan konsentrasi mengikuti perhentian-perhentian berikutnya.
Saya
suka mendengar frase ini karena hal itu mengingatkanku akan apa yang pernah
kubuat di kebunku di Laja, lahan paling ujung dari kampung Dasak, Wae Sano,
Manggarai Barat, Flores, NTT, Indonesia. Saat musim tanam tiba, saya dan ayahku
juga orang-orang di kampungku yang umumnya petani, kami menanam padi (yang
memang beda dari gandum) di kebun. Biasanya dalam sebuah lubang kecil kami
menaruh beberapa biji padi. Beberapa hari kemudian akan muncul dari dalam tanah
beberapa tunas kecil yang kemudian bertumbuh dan berkembang menjadi batang padi
sampai akhirnya menghasilkan lagi biji padi. Prosesnya adalah biji padi itu harus
masuk ke tanah, mati sehingga dari padanya muncullah, tumbuhlah tunas baru,
kehidupan baru dan akhirnya menghasilkan buah padi. Buah padi ini dikonsumsi
oleh petani untuk dapat (bertahan) hidup. Jadi biji padi atau gamdum mati untuk
menghasilkan biji padi atau gandum lagi. Tanpa harus menjadi petani, dinamika
ini dapat dipahami dan itu memang benar.
**************
Frase
ini, “Biji gandum jika tidak jatuh ke dalam tanah dan mati dia tetap sendirian
saja dan tidak menghasilkan buah. Tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan
buah yang banyak,” sangat tepat digunakan atau diperdengarkan pada masa
prapaskah-paskah karena dapat membantu pendengar berefleksi sehingga dapat
masuk ke dalam misteri iman yang sedang dihidupi. Saya sangat terbantu untuk
mendalami misteri sengsara Yesus. Saya suka mendengarnya karena dapat
membantuku memaknai misteri salib, kematian dan kebangkitan Kristus.
Kematian Yesus bukanlah the end dari sejarah hidup-Nya, bukanlah
kebinasaan. Kematian-Nya menunjukkan solidaritas-Nya terhadap manusia. Bagi orang
yang percaya, bagi saya yang percaya pada-Nya, kematian bukanlah akhir dari
hidupku, hidup manusia. Dalam kematian-Nya, Yesus menunjukkan bahwa Ia turut
hadir dan mengambil bagian dalam pengalaman riil manusia, dalam pengalaman
kematian manusia. Yesus mati, dikuburkan dan
berada di liang kubur selama tiga hari. Yesus menemani manusia sampai ke liang
kubur dan kemudian bersama Dia, dalam kebangkitan-Nya, manusia dibawa ke dalam
hidup baru, dibangkitkan bersama-Nya oleh Allah Bapa. Partisipasi Yesus dalam
kematian manusia bisa kubaca juga dalam perumpamaan tentang domba yang hilang. Yesus,
Sang Gembala, mencari domba itu sampai menemukannya dan ketika ditemukan, domba
itu diletakkan pada bahu-Nya dan dibawanya pulang. Yesus datang mencari kita
sampai ke liang kubur untuk menyatakan, “Anakku, sahabatku, engkau tidak
sendirian di sini. Saya datang mencari dan mengantarmu pulang. Tempatmu dan
tempat kita tidak di sini—dalam liang kubur ini—tapi tempat kita adalah di
pangkuan Bapa, hidup bahagia bersama-Nya.” Di hadapan hal ini saya tidak bisa
tidak bersukacita.
Dari peristiwa
iman ini, saya meyakini bahwa Allah Kristiani adalah Allah yang hidup. Pilatus atas
desakan pemuka agama Yahudi telah membunuh Yesus, tapi Allah membangkitkan-Nya,
menghidupkan-Nya karena Tuhan lebih kuat dari kematian, karena cinta lebih
besar dari kematian. Cinta Allah adalah menghidupkan. Allah tidak menghendaki
kematian melainkan kehidupan. Ketika saya mendalami perintah kasih Yesus,
orientasi dari ajaran dan hidup kasih-Nya tertuju pada kehidupan bukan
kematian. Mengasihi musuh berarti mengharapkan atau membiarkannya tetap hidup. Hal
ini kurang lebih sama seperti pengalaman cinta manusiawi yang kualami yang
selalu berorientasi pada hidup. Ketika saya mengasihi seseorang, saya menginginkan
agar dia hidup, sehat, baik dan sukses dalam usahanya. Ketika orang yang
kukasihi telah meninggal tidak berarti cintaku berakhir. Buktinya saya masih
mendoakannya agar dia mempunyai hidup kekal bersama Allah yang menciptanya. Meskipun
dia telah tiada saya masih mengingat senyumnya, masih ingat perbuatan-perbuatan
baiknya, nasihatnya, kisahnya, masih terpatri dalam diriku pengalaman
bersamanya. Ketika saya masih mengingatnya demikian berarti dia masih hidup
meskipun caraku berelasi dengannya sudah tidak seperti dulu saat dia hidup
secara fisik. Jika cinta manusiawi kita punya makna yang dalam dan kekal, bisa dibayangkan
dan dimengerti cinta Tuhan agar kita hidup senantiasa.
Pada titik ini saya dengan sukacita
yakin bahwa Allah memang hebat. Meskipun
manusia menolak-Nya, Ia tetap setia, Ia tetap mencintai kita. Bukti penolakan
manusia terhadap-Nya dapat dilihat dalam Putera-Nya yang tersalib. Di sisi
lain, radikalitas cinta-Nya kepadaku, kepada manusia yang menolak-Nya terungkap
pula dalam diri Dia yang tersalib. Dalam diri Kristus yang tersalib tersingkap
Allah yang mencintai manusia sekaligus tersingkap manusia yang menolak-Nya.
Akan tetapi
melalui kebangkitan-Nya, saya percaya bahwa Allah lebih kuat dari kematian dan
penolakan manusia. Kasih lebih kuat dan lebih besar dari kematian. Kasih-Nya
lebih kuat atas penolakanku, kasih menang atas kejahatan. Terang menang atas gelap.
Dalam diri Kristus yang bangkit (Mat 28,6) tersingkap Allah yang hidup yang
menginginkan kehidupan kekal bagi Putera-Nya dan seluruh manusia.
Bacaan injil malam paskah tahun ini
penginjil Matius mengisahkan, “…Janganlah kamu takut sebab aku tahu kamu
mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak
ada di sini, sebab ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya. Mari,
lihatlah tempat Ia berbaring. Dan segeralah pergi dan katakanlah kepada para
murid-Nya bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati. Ia mendahului kamu ke
Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, (Mat 28,5-7).” Penginjil Matius
mengatakan bahwa Yesus yang disalibkan telah bangkit dari antara orang mati. Dalam
injil Lukas kita dapat membaca afermasi ini dalam bantuk pertanyaan, “Mengapa
kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? (Luk 24,5b).” Yesus hidup
dari antara orang mati. Kebangkitan Kristus berarti bahwa Dia hidup dari antara
orang mati. Bagaimana saya dapat menjumpai dan mengalami Yesus yang bangkit,
Yesus yang hidup dari antara orang mati?
Menarik
menelusuri keterang penginjil Matius saat mengatakan, “Ia mendahului kamu ke
Galilea: di sana kamu akan melihat Dia (Mat 28,7b).” Apa yang terjadi di
Galilea? Yesus berkeliling untuk memeberitakan kehadiran Kerajaan Surga dalam
diri-Nya, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat (Mat 4,17).” Di
Galilea Ia memanggil, membentuk dan mengutus rasul-rasul-Nya untuk hidup dalam
logika Kerajaan Surga yang Dia beritakan dan kemudian pergi mewartakannya. Ketika
saya berusaha membentuk keluarga dan komunitasku sebagai komunitas kasih di
mana pusatnya adalah Kristus maka di situ saya menemukan Kristus yang bangkit,
yang hidup. Di Galilea Yesus mengajarkan ucapan bahagia atau sering disebut
sebagai Kotbah di Bukit di mana menurut Yesus orang yang berbahagia adalah orang
miskin di hadapan Allah; yang lapar dan haus akan kebenaran; yang suci dan
murni hatinya; yang dianiaya oleh sebab kebenaran karena merekalah empunya
Kerajaan Surga. Yesus yang bangkit dapat kujumpai dan kualami ketika saya
menjumpai orang yang murah hati dan tulus hidupnya, ketika menjumpai orang yang
hidup benar sekecil atau sebesar apapun perbuatannya. Dalam hidupku sendiri
ketika saya hidup benar, tulus, murah hati berarti Dia yang bangkit telah
tinggal dalam diriku. Di Galilea Yesus mengajarkan doa, menyembuhkan orang
sakit, juga mengajarkan untuk memberi pipi kiri kepada orang yang telah
menampar pipi kanan. Yesus yang sama di Galilea mengajarkan supaya saya
mengasihi musuhku, mendoakan mereka yang menganiayaiku dan berbuatlah baik
kepada orang yang telah berbuat jahat. Mendoakan musuh dan orang yang berbuat
jahat padaku adalah tanda umat Allah yang telah mengalami Kristus yang bangkit
dan ikut bangkit bersama-Nya. Jika saya belum pernah melakukan ini, hal-hal
yang dihidupi Yesus di Galilea, maka saya belum merayakan Paskah Kristus. Jika itu
terjadi maka saya belum mengenal Allah yang tersingkap dalam diri Yesus.
Selamat
Paskah
Parma,
20 April 2014
Yanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar