Dikira Penjual Ikan….
narsis sesaat sebelum ke Dufan |
Sehari sebelum berangkat ke kampung Nunang dan Ponceng Kalo, kami (fr. Asis, Fonsi, Kornel dan saya), minus fr Gordi yang telah berada di Yogyakarta untuk menjalani tahun orientasi misionernya di sana, berekreasi ke Dunia Fantasi (Dufan) Ancol yang letaknya di bagian Utara Jakarta. Di sana kami melepaskan penat dan keseharian di komunitas dengan menaiki kereta gantung, roll coster, bumper car, dan masih banyak lainnya. Selama seharian ini kami sungguh menikmati arena di luar komunitas bahkan tanpa memikirkan apa yang terjadi di komunitas. Dari sekian wahana yang ada dan sempat kami coba, saya sungguh menikmati permainan bumper car yaitu saling menabrakkan mobil dengan mobil teman. Nikmatnya ada saat berusaha menabrakan dengan sengaja mobil mainanku dengan mobil teman. Uauhhh…..asyik sekali@@@!!! Permaianan ini memang menjadi favoritku namun sayang dalam kesempatan ini hanya sekali saja saya memainkannya mengingat banyaknya peminat yang ingin mencobanya.
Di tengah keramaian dan sukacita rekreatif tersebut, secara pribadi sebetulnya saya masih cemas. Hati dan pikiran saya terbagi dua antara rekreasi dan pulkamp (pulang kampung). Yang membuat saya cemas adalah tiket yang belum jelas dan pasti. Hal ini cukup beralasan karena saat tiba di Halte Senen, K’Nasus, kakak pertamaku yang ada di Bali, menelpon bahwa dia belum bisa memboking tiket karena masih menunggu uang yang harus segera ditransfer. Untung saat itu P. Matteo bersedia mentransfer uang ke abangku karena kalau tidak saya ga bisa ikut rekreasi.
Memikirkan tiket pergi dan pulang ternyata bukan satu-satunya hal yang berkecamuk dalam pikiranku. Perjalanan, hal apa yang mau kukatakan/ceritakan, keadaan orang tua dan keluarga di kampung, tentang kunjungan ke keluarga dan masih banyak lagi mewarnai kepalaku yang kecil ini. Rasa-rasanya semua hal harus pasti dan beres sebelum memulainya… itulah tipeku yang perfeksionis ini! Ribet juga ya!
Tapi tidak mengapalah, karena ketika saatnya tiba semuanya dapat dinikmati. Ketika diantar oleh Br. Kornel dan fr. Feliks pada Sabtu siang tanggal 28 Juli 2012, saya merasa gembira sekali. Rasa takut dan cemas yang menghantuiku kemarin seakan-akan sirna karena saya tahu bahwa sedikit lagi saya berjumpa dengan kakak saya di Bali dan nantinya dengan semua keluarga di Manggarai. Kedatangan dan kehadiranku pasti menjadi kejutan yang besar bagi mereka. Saya membayangkan bahwa mereka pasti senang dan tentunya saya sendiri akan menikmati hal serupa. Suasana keakraban itu menarikku sehingga saya melupakan apa yang terjadi kemarin dan sebelumnya.
Pengalaman perdana menumpang pesawat sendirian, tanpa ditemani orang yang kukenal yang bisa menjadi andalanku, baru kurasakan saat itu meskipun bukan ini yang pertama kalinya saya menumpang pesawat. Untuk memastikan soal pintu masuk, jam keberangkatan dan jenis maskapainya saya berulang-ulang melihat di tiketku sekaligus menanyakannya ke beberapa orang penumpang serta petugas. Saya membayangkan bahwa orang yang sehari-hari berada di bandara pasti mengenal kekakuanku. Saya tidak peduli hal itu karena yang penting bagiku kelancaran perjalananku sekaligus sebagai wadah pembelajaran.
Semua ketakutan itu terasa sirna setelah berada dalam pesawat. Tak henti-hentinya saya mengamati bagian dalam pesawat Sriwijaya Air yang kutumpangi dan tentunya mengamati pula para penumpang lainnya. Segala gerak-gerik awak pesawat terutama para pramugari yang cantik-cantik tidak luput dari perhatianku. Saya menemukan bahwa mereka selalu tersenyum saat berhadapan dengan penumpang sebagai tanda welcome. Sambil memandangi itu terbersit pertanyaan ini: apakah mereka senyum secara tulus atau demi profesi? Pada akhirnya saya tidak melangkah lebih jauh mendalami keisenganku itu karena itu bukan urusanku dan hal yang kuinginkan saat itu hanyalah keselamatan dan kelancaran perjalanan kami. Syukurlah, dengan durasi waktu 90 menit, kami tiba dengan selamat di Bandara Ngurah Rai Denpasar, Bali sore hari waktu setempat.
Selama beberapa menit saya menunggu jemputan bersama dengan seorang teman yang kukenal sejak masih di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta (Soeta). Dia pergi mendahului saya karena orang yang menjemputnya telah tiba lebih awal. Pandanganku tidak pernah absen memandangi banyak orang yang hiruk pikuk di sekitarku selama waktu penantian itu. Ada banyak turis mancanegara yang keluar masuk dengan segala kekhasannya dan tak ketinggalan wisatawan domestik juga melakukan aktivitas serupa. Di benakku terbersit ungkapan ini: ini yang namanya kota wisata internasional ketika kae Marten, teman kost dari abangku, mendekatiku dan mengajakku pergi ke Badung, tempat mereka dan abangku tinggal.
Perjalanan kami dari bandara menuju kost sedikit terganggu karena beratnya tas yang kupikul. Rasanya saya ditarik ke belakang oleh beban itu sehingga membuat punggungku sakit. Keadaan itu tidak menghalangi kekagumanku akan keasrian kota tempat kami lewat. Sejak keluar dari bandara, saya tidak menemukan kemacetan seperti yang kualami di Jakarta. Pengendara kendaraan bermotor dengan penuh hati-hati memacu kendaraan mereka secara tertata. Tidak ada yang nyalip sana, nyalip sini. Praktisnya kami berhenti ketika berada di trafic light yang berwarna merah. Sisanya mulus, tidak ada pengamen dan pengemis yang berkeliaran. Di banyak persimpangan selalu ada polisi yang mengatur lalu lintas supaya lancar. Hal ini cukup berbeda dengan situsi di Jakarta. Polisi lalu lintas yang ada di jalan raya pada umumnya menciptakan kemacetan karena sedang merazia orang yang melanggar aturan dan mungkin ujung-ujungnya minta duit.
Kota ini juga sangat rapi. Tidak banyak sampah yang berserakan kecuali di tempat pembuangan sampah. Orang-orangnya tampak sangat ramah dan bersahabat. Buktinya selama menunggu jemputan di bandara, para penawar jasa transportasi tidak memaksa kami untuk mengikuti mereka. Pada umumnya mereka menawarkan diri dan mereka mundur ketika kita memberi kepastian bahwa sudah ada orang yang jemput. Mereka tidak seperti penawar jasa yang ada di Jakarta di mana mereka langsung mengambil barang bawaan kita supaya menuruti permintaan mereka. Melihat kenyataan ini saya disadarkan tentang hal ini: lain kota lain situasi, lain orang lain perilaku. Atau dalam bahasa Manggarai terungkap seperti ini: do lako, do ita dan do bae. Artinya ketika kita banyak berpetualang, kita bisa melihat dan menemukan banyak hal yang berbeda dari kota asal kita. Di situ kita belajar banyak hal sehingga wawasan kita diperkaya. Begitu larutnya saya meresapi apa yang kujumpai membuat perjalanan kami terasa cepat tiba di kost abangku yang sudah menungguku.
© © © © ©
Kak Nasus masih istirahat ketika saya memasuki kostnya. Dia segera sadar ketika dibangunkan oleh Kae Matius, teman kostnya. Segera sesudahnya saya merasa menjadi orang penting dan menjadi pusat perhatian pada saat itu karena mereka semua menempatkan saya di tengah lalu mereka me-ris (ris, sebuah kebiasaan orang Manggarai untuk menyapa orang yang bertamu ke rumah kita atau menyapa orang yang baru tiba dari tempat yang jauh). Tidak lama berselang suguhan minuman kopi dihidangkan yang dilanjutkan dengan presa, tanya jawab atau cerita banyak hal terutama mereka mencari tahu pengalamanku.
Dalam benakku saya berujar bahwa saatnya mulai tiba untuk menyingkapkan rahasia di balik berita liburanku. Sudah sejak 3 hari yang lalu, ketika saya meminta k’Nasus untuk membeli tiket t ujuan Bali-Labuan Bajo, saya sadari bahwa dia pasti penasaran dengan info ini. Dalam sebuah SMS-nya, dua malam lalu dia menulis ini: “ade, saya mengoleksi banyak pertanyaan tentang liburanmu yang mendadak ini. Tolong britahu saya rahasiamu,” Dugaanku itu memang benar karena segera sesudah itu dia menanyakan ulang hal seruapa. Saya tentu menjelaskan hal itu sampai kami berangkat ke pulau kasur. Kesanku dia sepertinya heran sekaligus senang mendengar ceritaku, dan memang itu yang kuharapkan.
Keesokan paginya, Minggu 29 Juli, jam 06.30 kami sudah berada kembali di bandara untuk check in untuk melanjutkan perjalananku ke Labuan Bajo dan Nunang. Semua berjalan lancar. Saya tidak merasa takut lagi dengan perjalanan ini karena jarak tempuhnya hanya 50an menit. Saya tak sabar lagi membuat kejutan kepada k’Jhony, kakaku yang kedua yang tinggal di Labuan Bajo, dan kepada bapak Bene sekeluarga di sana.
Apa yang kuharapkan memang terjadi. Jam 10 padi wita saya memasuki rumah bapak Bene di Labuan Bajo dan ternyata k’Jhoni bersama Bona, adik persis setelah saya, sudah berada di sana. Mereka semua heran dan sama sekali tidak tahu akan kedatanganku. Sesudah itu, segala hal berjalan normal. Saya dapat bertindak sebagai anak di rumah, melakukan apa yang bisa kulakukan sambil berjalan-jalan di sekitar kota Labuan Bajo. Saya menetap di Labuan Bajo selama 3 malam sesuai permintaan mereka sebelum akhirnya pada hari Rabu, 1 Agustus 2012 saya berangkat ke Ponceng Kalo dengan menggunakan sepeda motor.
Saya membutuhkan waktu 2 jam perjalanan untuk tiba di Tengtoda, tempat kak iparku, bu Yulin dengan Dian, putri pertamanya, menetap sebagai guru SD di SDK Werang. Durasi waktu itu pas untuk saya yang baru mengenal medan seperti itu dan syukurlah semuanya berjalan lancar. Seuasai makan siang di Tengtoda, saya melanjutkan perjalananku ke Ponceng Kalo dan di Taal saya berjumpa dengan ayahku beserta sebagian besar bapak-bapak keluarga besar Batu Mese yang saat itu sedang membuat kemah untuk pernikahan Ifon, salah seorang anggota keluarga kami. Saya berhenti sejenak di situ sambil menerima sapaan mereka semua sebelum akhirnya saya bersama ayahku melanjutkan perjalanan ke Ponceng Kalo, tujuan akhir perjalananku hari itu.
Saya tiba di rumahku di Ponceng Kalo hampir jam 6 sore, saat itu masih dalam suasana redup. Bunyi motorku dianggap sebagai bunyi motor penjual ikan oleh ibuku yang sedang menampi beras saat itu. “Ehhhh..anak gaku. Nggoe nuk gaku rebao ga ata pika nakeng ca mai hiat rebao leso anggan ga…”kata ibuku. Dia mengira penjual ikan, yang siang tadi datang menawarkan jualannya, datang lagi sore itu, maka dia tidak menghiraukannya. Dia kaget bukan kepalang ketika diberitahu oleh ayahku bahwa saya datang berlibur. Pelukan dan ciuman hangat mewarnai perjumpaanku dengan orang yang kucintai sore itu. Tidak lama berselang beberapa tetangga rumah kami datang memberi salam selamat datang kepadaku. Saya sungguh merasa senang, bahagia dan bersyukur karena telah sampai pada tujuan. Orang tuaku tak menyangka saya pulang secepat ini karena yang mereka tahu tahun depan baru giliranku untuk berlibur. Setelah saya menjelaskan apa yang terjadi malam itu akhirnya mereka dapat menerimanya.
Saya tidur cukup nyenyak namun sedikit terganggu pada malam pertamaku di rumah. Pasalnya adalah hawa dingin yang sangat dingin. Selimut yang berlapis-lapis rupanya tidak mampu mengusir hawa dingin itu sehingga saya sadar lebih cepat daripada waktu di komunitas biara. Tapi tak mengapa, karena di situ saya tidak mendengar suara orang berdoa dari mesjid maupun suara bajai yang sangat keras dan mengganggu suasana tidur pada waktu subuh sebagaiamana kualami di Jakarta. Yang kudengar adalah suara koor para jangkrik dan sejenisnya termasuk suara kokokan ayam tanda waktu tertentu bagi orang kampungku. Suara binatang-binatang ini mengingatkanku tentang kampungku bahwa memang demikianlah situasi di kampungku. Tidak banyak perubahan yang kutemui di kampungku kecuali bahwa saya, Pandri, dalam banyak hal, tidak sama dengan yang dulu. “Semoga saja saya dapat menikmati masa-masa indah ini dengan sukacita besar,” ucapku pagi itu seraya membangunkan ayahku yang sedang tidur di sampingku…. bersambung….
Jakarta, 27 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar