Minggu, 27 Juli 2014

Menyesali waktu yang telah hilang….



 Semalam setelah selesai makan malam saya mendengar percakapan dua orang di belakang komunitas kami disertai dengan tertawa dari banyak orang. Tergerak oleh rasa penasaran, karena saya belum pernah mendengar hal serupa sebelumnya di sekitar rumah kami, saya pun bergegas ke sana. Di hadapanku ada sebuah panggung yang ukurannya tidak terlalu besar. Di atasnya ada sebuah meja kecil yang diisi dengan salume dan di sekitar meja ini ada dua orang ibu yang saling bercerita.

Yang satu, yang di tangan kanannya terdapat pisau potong daging, merespon percakapan sambil sesekali mengangkat salume (sejenis daging khas italia yang bisa langsung dikonsumsi meski tampaknya masih mentah, karena memang tidak perlu dimasak lagi: jenis daging ini dimatangkan dengan garam selama berbulan-bulan…) atau memotongnya. Ibu yang satu dengan tas tangan di sikunya, selain melakukan gerakan-gerakan tertentu/bahasa tubuh, berbicara sambil mengitari panggung secara lebih leluasa. Ibu ini tampak lebih ekspresif bagaikan seorang pemain teater sehingga kata-kata dengan paduan gerakan tubuhnya mengundang tawa para penonton yang jumlahnya lebih dari seratus orang.


Anehnya, saya sendiri saja di situ yang tidak menemukan kelucuan dari percakapan mereka karena memang saya tidak mengerti. Saya yakin bahwa mereka tidak berbincang dalam bahasa Italia. Ketika yang lain tertawa saya malah bengong sendiri. Rupanya mereka sedang melakonkan percapakan dengan dialetto di parmigiano, semacam bahasa daerah orang Parma. Hal ini kuketahui setelah saya bertanya kepada seorang penonton di sampingku. Menurutnya acara ini sering disebut sebagai pertunjukkan popolare dan sekaligus menjelaskan bahwa penampilan ini adalah upaya mereka untuk melestarikan bahasa daerah agar tidak punah ditelan bahasa modern. Setelah 20 menit menyaksikan hal itu saya kemudian pulang karena saya merasa tidak bermanfaat ketika saya hadir tanpa tidak tahu apa-apa.

Meskipun demikian pertunjukkan ini membuatku mengerti satu kebiasaan positif yang sering saya jumpai di Parma dan orang Italia pada umumnya. Mereka memiliki budaya retorika yang mendalam, budaya bertutur yang telah berakar lama. Pertunjukkan semacam ini dianggap sebagai ruang publik untuk mengekspresikan pendapat/pesan dan masyarakat sangat menghargai /mengapresiasinya. Mereka hadir bukan hanya untuk menghabiskan waktu atau sambil lalu melainkan berpartisipasi; berarti belajar hal baru, belajar seni teatrale dan lain-lainnya yang banyak tergantung dari minat masing-masing. Pertunjukkan semacam ini biasanya diiklankan di media massa lokal yang dapat ditemukan pada sebuah kolom khusus dalam surat-surat kabar dan diinformasikan setiap hari. Di Parma khususnya setiap minggu hampir selalu ada pertunjukkan untuk umum baik yang gratis maupun yang tidak. Ruang publik bagi mereka sangat penting untuk mensosialisasikan budaya, hasil karya perorangan atau kelompok, bahkan untuk mengungkapkan solidaritas tertentu terhadap orang lain.

Kebiasaan ini, ketika dilihat lebih mendalam, tidak tercipta begitu saja melainkan sudah ditanam sejak masuk sekolah. Sejak dari sekolah dasar anak-anak sekolah sudah dibiasakan untuk menghargai hal ini.

Di akhir masa sekolah dan sebelum liburan sekolah anak-anak sekolah—dari tingkat SD sampai SMA—melakukan gita scolastica (kunjungan sekolah) ke museum budaya, seni, sejarah, gereja antika, atau berbagai pameran yang ada di kota tempat di mana sekolah itu berada atau bahkan ke luar kota. Tidak hanya kunjungan tingkat kota atau di dalam negeri melainkan kunjungan ke luar negeri yang biasanya dilakukan oleh siswa setingkat SMA.


Di kompleks kami, Missionaris Saverian di Parma, ada museum etnografi tentang Cina dan Negara-negara misi tempat para Xaverian berkarya. Sejak pertengahan bulan Mei sampai pertengahan Juni dari hari ke hari museum ini dipenuhi oleh anak-anak sekolah dari tingkat SD sampai SMA dari kota Parma. Mereka datang untuk melihat dan mempelajari budaya dari negara lain.

Kunjungan ini sudah merupakan bagian dari kurikulum sekolah sehingga guru dan orang tua sudah tahu dan merasa diwajibkan untuk melakukannya. Di museum yang mereka kunjungi sudah ada petugas yang siap menjelaskan semua yang terpampang dalam museum tersebut, jadi bukan kunjungan tanpa makna. Dengan hal ini anak-anak dibiasakan untuk bertanya, untuk mengerti sejarah dan menambah wawasan mereka yang tidak mereka dapatkan di ruang kelas.

Saya sendiri telah merasakan manfaat kegiatan kunjungan semacam ini. Selama mempelajari bahasa Italia dari September 2012 sampai akhir Juni 2013 saya dan teman-teman seangkatanku bersama 2 guru bahasa italia mempraktekkan hal serupa. Maksudnya kami mempunyai kesempatan untuk mengunjungi kota Bologna di akhir semester pertama yaitu bulan Januari 2013 dan ke kota Firenze bulan Juni 2013, akhir semester 2. Di kedua kota ini kami memasuki katedral atau beberapa gereja antika yang di dalamnya terdapat lukisan bersejarah dari pelukis-pelukis terkenal. Selain itu kami memasuki juga museum-museum seni terkenal di kota-kota ini.

Dari kunjungan ini saya mengerti ternyata dulu sebelum orang-orang tahu menulis, mereka berkatekese atau mewartakan injil lewat lukisan. Mereka menceritakan sejarah keselamatan Tuhan yang menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus lewat lukisan. Jadi dengan melihat lukisan-lukisan itu saya diantar untuk masuk dalam pola pikir orang jaman dulu dan cara mereka mengungkapkan pesan tertentu. Orang lain masuk dan melihat lukisan-lukisan ini dengan cara pandang yang berbeda: ada orang yang memfokuskan diri hanya pada cara mengukirnya, paduan warna yang digunakan dan hal ini biasanya dilakukan oleh pecinta seni. Ada juga yang masuk untuk memahami cara melukis yang berbeda dari pelukis terkenal, misalnya cara Michelangelo melukis tentu saja berbeda dari cara Leonardo da Vinci. Orang yang suka mempelajari peninggalan sejarah kuno, lukisan-lukisan ini membantunya untuk belajar. Jadi, intinya kunjungan semacam ini mendidikku atau mendidik pengunjug untuk mengerti dan mengetahui banyak hal. 

Pengalaman ini mengingatkanku akan perilaku para turis asing ketika datang ke Jakarta atau ke kota-kota lain di Indonesia. Mereka memasuki museum-museum kita atau tempat-tempat bersejarah tertentu untuk mempelajari budaya kita, seni kita bahkan cara kita berpikir, berinteraksi dan lain sebagainya. Saat itu, saya melihat mereka hanya dari sudut pandang ekonomis. Saat itu saya kagum terhadap mereka karena yang ada dalam pikiranku adalah para turis ini datang ke Indonesia karena mereka mempunyai uang yang banyak untuk membiayai perjalanan, tanpa tahu bahwa mereka berkorban untuk itu karena mereka mau belajar, mau tahu hal-hal yang baru. Pengetahuan bagi mereka hal yang penting dan demi memenuhi hal itu mereka rela mengeluarkan uang banyak. Mereka melakukan tour bukan sekedar turisme melainkan salah satu cara mempelajari banyak hal. Saya sekarang mengerti mengapa banyak orang asing di musim panas mengunjungi negara-negara lain di luar negara mereka karena sudah sejak kecil mereka dibiasakan untuk menambah wawasan mereka tidak hanya di ruang kelas di sekolah melainkan juga lewat kunjungan-kunjungan edukatif yang telah saya saksikan sendiri di sini, di Parma.

Semakin saya mengagumi kebiasaan positif mereka semakin besar rasa penyesalan dalam diriku karena saya telah kehilangan banyak kesempatan untuk belajar. Itulah diriku. Penyesalan memang selalu datang terlambat atau datang kemudian. Tapi yang penting saya telah menyesal karena dari rasa dan sikap itu terbuka jalan untuk berubah, untuk bangkit dan meniru hal yang baik. Menyesali waktu dan kesempatan yang telah hilang memungkinkanku menghargai waktu yang ada dan mengisinya secara kostruktif.

Parma, 27 Luglio 2014
Pandri






Tidak ada komentar:

Posting Komentar