Semalam setelah selesai makan malam saya mendengar
percakapan dua orang di belakang komunitas kami disertai dengan tertawa dari
banyak orang. Tergerak oleh rasa penasaran, karena saya belum pernah mendengar
hal serupa sebelumnya di sekitar rumah kami, saya pun bergegas ke sana. Di
hadapanku ada sebuah panggung yang ukurannya tidak terlalu besar. Di atasnya
ada sebuah meja kecil yang diisi dengan salume dan di sekitar meja ini ada dua
orang ibu yang saling bercerita.
Yang satu, yang di tangan kanannya terdapat pisau potong
daging, merespon percakapan sambil sesekali mengangkat salume (sejenis daging
khas italia yang bisa langsung dikonsumsi meski tampaknya masih mentah, karena
memang tidak perlu dimasak lagi: jenis daging ini dimatangkan dengan garam
selama berbulan-bulan…) atau memotongnya. Ibu yang satu dengan tas tangan di
sikunya, selain melakukan gerakan-gerakan tertentu/bahasa tubuh, berbicara
sambil mengitari panggung secara lebih leluasa. Ibu ini tampak lebih ekspresif
bagaikan seorang pemain teater sehingga kata-kata dengan paduan gerakan
tubuhnya mengundang tawa para penonton yang jumlahnya lebih dari seratus orang.
Anehnya, saya sendiri saja di situ yang tidak menemukan
kelucuan dari percakapan mereka karena memang saya tidak mengerti. Saya yakin
bahwa mereka tidak berbincang dalam bahasa Italia. Ketika yang lain tertawa
saya malah bengong sendiri. Rupanya
mereka sedang melakonkan percapakan dengan dialetto
di parmigiano, semacam bahasa daerah orang Parma. Hal ini kuketahui setelah
saya bertanya kepada seorang penonton di sampingku. Menurutnya acara ini sering
disebut sebagai pertunjukkan popolare dan sekaligus menjelaskan bahwa
penampilan ini adalah upaya mereka untuk melestarikan bahasa daerah agar tidak
punah ditelan bahasa modern. Setelah 20 menit menyaksikan hal itu saya kemudian
pulang karena saya merasa tidak bermanfaat ketika saya hadir tanpa tidak tahu
apa-apa.
Meskipun demikian pertunjukkan ini membuatku mengerti satu
kebiasaan positif yang sering saya jumpai di Parma dan orang Italia pada
umumnya. Mereka memiliki budaya retorika
yang mendalam, budaya bertutur yang telah berakar lama. Pertunjukkan semacam
ini dianggap sebagai ruang publik untuk mengekspresikan pendapat/pesan dan
masyarakat sangat menghargai /mengapresiasinya. Mereka hadir bukan hanya untuk
menghabiskan waktu atau sambil lalu melainkan berpartisipasi; berarti belajar
hal baru, belajar seni teatrale dan lain-lainnya yang banyak tergantung dari
minat masing-masing. Pertunjukkan semacam ini biasanya diiklankan di media
massa lokal yang dapat ditemukan pada sebuah kolom khusus dalam surat-surat
kabar dan diinformasikan setiap hari. Di Parma khususnya setiap minggu hampir
selalu ada pertunjukkan untuk umum baik yang gratis maupun yang tidak. Ruang
publik bagi mereka sangat penting untuk mensosialisasikan budaya, hasil karya
perorangan atau kelompok, bahkan untuk mengungkapkan solidaritas tertentu
terhadap orang lain.
Kebiasaan ini, ketika
dilihat lebih mendalam, tidak tercipta begitu saja melainkan sudah ditanam
sejak masuk sekolah. Sejak dari sekolah dasar anak-anak sekolah sudah
dibiasakan untuk menghargai hal ini.
Di akhir masa sekolah
dan sebelum liburan sekolah anak-anak sekolah—dari tingkat SD sampai
SMA—melakukan gita scolastica (kunjungan
sekolah) ke museum budaya, seni, sejarah, gereja antika, atau berbagai pameran
yang ada di kota tempat di mana sekolah itu berada atau bahkan ke luar kota. Tidak
hanya kunjungan tingkat kota atau di dalam negeri melainkan kunjungan ke luar
negeri yang biasanya dilakukan oleh siswa setingkat SMA.
Di kompleks kami, Missionaris Saverian di Parma, ada museum
etnografi tentang Cina dan Negara-negara misi tempat para Xaverian berkarya.
Sejak pertengahan bulan Mei sampai pertengahan Juni dari hari ke hari museum
ini dipenuhi oleh anak-anak sekolah dari tingkat SD sampai SMA dari kota Parma.
Mereka datang untuk melihat dan mempelajari budaya dari negara lain.
Kunjungan ini sudah merupakan bagian dari kurikulum sekolah
sehingga guru dan orang tua sudah tahu dan merasa diwajibkan untuk
melakukannya. Di museum yang mereka kunjungi sudah ada petugas yang siap
menjelaskan semua yang terpampang dalam museum tersebut, jadi bukan kunjungan
tanpa makna. Dengan hal ini anak-anak dibiasakan untuk bertanya, untuk mengerti
sejarah dan menambah wawasan mereka yang tidak mereka dapatkan di ruang kelas.
Saya sendiri telah merasakan manfaat kegiatan kunjungan
semacam ini. Selama mempelajari bahasa Italia dari September 2012 sampai akhir
Juni 2013 saya dan teman-teman seangkatanku bersama 2 guru bahasa italia
mempraktekkan hal serupa. Maksudnya kami mempunyai kesempatan untuk mengunjungi
kota Bologna di akhir semester pertama yaitu bulan Januari 2013 dan ke kota
Firenze bulan Juni 2013, akhir semester 2. Di kedua kota ini kami memasuki
katedral atau beberapa gereja antika yang di dalamnya terdapat lukisan
bersejarah dari pelukis-pelukis terkenal. Selain itu kami memasuki juga
museum-museum seni terkenal di kota-kota ini.
Dari kunjungan ini saya mengerti ternyata dulu sebelum orang-orang
tahu menulis, mereka berkatekese atau mewartakan injil lewat lukisan. Mereka
menceritakan sejarah keselamatan Tuhan yang menjadi nyata dalam diri Yesus
Kristus lewat lukisan. Jadi dengan melihat lukisan-lukisan itu saya diantar
untuk masuk dalam pola pikir orang jaman dulu dan cara mereka mengungkapkan
pesan tertentu. Orang lain masuk dan melihat lukisan-lukisan ini dengan cara
pandang yang berbeda: ada orang yang memfokuskan diri hanya pada cara
mengukirnya, paduan warna yang digunakan dan hal ini biasanya dilakukan oleh
pecinta seni. Ada juga yang masuk untuk memahami cara melukis yang berbeda dari
pelukis terkenal, misalnya cara Michelangelo melukis tentu saja berbeda dari
cara Leonardo da Vinci. Orang yang suka mempelajari peninggalan sejarah kuno,
lukisan-lukisan ini membantunya untuk belajar. Jadi, intinya kunjungan semacam
ini mendidikku atau mendidik pengunjug untuk mengerti dan mengetahui banyak
hal.
Pengalaman ini mengingatkanku akan perilaku para turis asing
ketika datang ke Jakarta atau ke kota-kota lain di Indonesia. Mereka memasuki
museum-museum kita atau tempat-tempat bersejarah tertentu untuk mempelajari
budaya kita, seni kita bahkan cara kita berpikir, berinteraksi dan lain
sebagainya. Saat itu, saya melihat mereka hanya dari sudut pandang ekonomis. Saat
itu saya kagum terhadap mereka karena yang ada dalam pikiranku adalah para
turis ini datang ke Indonesia karena mereka mempunyai uang yang banyak untuk
membiayai perjalanan, tanpa tahu bahwa mereka berkorban untuk itu karena mereka
mau belajar, mau tahu hal-hal yang baru. Pengetahuan bagi mereka hal yang penting dan demi
memenuhi hal itu mereka rela mengeluarkan uang banyak. Mereka melakukan tour bukan sekedar turisme melainkan salah
satu cara mempelajari banyak hal. Saya sekarang mengerti mengapa banyak orang
asing di musim panas mengunjungi negara-negara lain di luar negara mereka
karena sudah sejak kecil mereka dibiasakan untuk menambah wawasan mereka tidak
hanya di ruang kelas di sekolah melainkan juga lewat kunjungan-kunjungan edukatif
yang telah saya saksikan sendiri di sini, di Parma.
Semakin saya mengagumi
kebiasaan positif mereka semakin besar rasa penyesalan dalam diriku karena saya
telah kehilangan banyak kesempatan untuk belajar. Itulah diriku. Penyesalan
memang selalu datang terlambat atau datang kemudian. Tapi yang penting saya telah
menyesal karena dari rasa dan sikap itu terbuka jalan untuk berubah, untuk
bangkit dan meniru hal yang baik. Menyesali waktu dan kesempatan yang telah
hilang memungkinkanku menghargai waktu yang ada dan mengisinya secara
kostruktif.
Parma, 27 Luglio 2014
Pandri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar