Saya mau memperkenalkan diriku tapi ada
daya dan sayangnya saya tidak mengenal siapa diriku atau lebih tepatnya dapat
dikatakan saya tidak punya nama. Aneh memang tapi itu nyata! Saya hanya tahu
negara asalku yaitu Thailand, dari Asia. Meskipun saya tidak mempunyai nama,
saya merupakan orang yang sangat berutung karena saya dapat masuk keluar suatu
negara tanpa harus punya pasport dan visa sehingga saya tidak punya masalah
apapun dengan pihak imigrasi dan polisi. Mungkin orang yang berurusan dengan
saya harus membayar pajak tentang identitasku tapi itu bukan urusanku, dan lagi
bukan saya yang harus pusing melakukan semuanya itu. Jadi dalam hidupku saya
telah keluar dari Thailand ke Indonesia dan negara terakhir adalah Italia. Waduh
senangnya nasibku.
Keberuntunganku yang terbesar dan yang
paling indah kurasakan adalah ketika saya berada di Indonesia lebih tepatnya di
Jakarta. Di sana saya menetap dalam sebuah keluarga katolik yang sangat santun,
baik dan religius.
Maaf saya lupa selama berapa lama saya
berada di tengah mereka karena saya begitu menikmati kebaikan mereka yang luar
biasa besar yang saya lihat. Di hadapan suatu hal yang sangat baik dan
terpesona biasanya saya begitu terpukau sehingga saya lupa waktu seakan-akan hal
itu menyerap seluruh perhatianku.
Keberadaanku bersama atau dalam
keluarga ini tidak berarti banyak. Saya jujur sekali tidak melakukan apapun, saya
cukup berada saja, saya diam mendengar kisah dan mengamati kehidupan keluarga
ini yang diwarnai dengan kerendahan hati dan kebaikan. Saya tidak bisa tidak
bersaksi akan semuanya itu.
Hal yang saya dengar dari mereka adalah
bahwa saya mempunyai kemampuan luar biasa untuk mengingat semua hal disampaikan
dan disalurkan kepadaku. Kata mereka saya juga mempunyai kemampuan untuk
menjawab atau merespon hal-hal yang mereka cari asalkan terlebih dahulu mereka
menginformasikan ke otakku. Kata mereka otakku sangat pintar karena apapun yang
terekam pasti tersimpan dengan baik dan dapat diingat serta siap selalu untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
Saya sendiri belum mengukur kemampuanku
sehingga saya masih penasaran dengan diriku, dengan kemampuan yang saya miliki.
Soalnya selama berada bersama mereka kemampuanku itu belum mereka gunakan.
Alasannya sederhana sekali bahwa saya mau dihadiahkan kepada salah seorang anak
mereka tapi saatnya belum tiba bagi beliau untuk membuktikan kemampuanku.
Meskipun demikian saya merasa sangat
berharga dan beruntung berada di keluarga ini karena sikap mereka lebih
manusiawi dibandingkan sikap orang tua asalku. Keluarga asalku melahirkan saya
hanya demi memenuhi kebutuhan ekonomis semata. Mereka menciptakan atau
melahirkanku untuk dijual. Kan aneh! Seandainya mereka bertanya atau meminta
pendapatku untuk dilahirkan sebagai obyek jual beli, saya tidak akan setuju.
Maksudku seandainya saja saya tahu bahwa saya diciptakan untuk dijual, pasti
dengan tegas saya menolak untuk diciptakan. Tapi apa boleh buat, saya telah
dilahirkan dan telah dijual dan beruntung sekali mereka menjualku kepada
keluarga yang sangat baik, yang menjagaku dengan baik dan yang mau menjadikanku
sebagai hadiah atau berkat kepada orang lain. Menjadi hadiah atau berkat bagi
sesama kan lebih bermartabat atau lebih tinggi nilainya daripada menjadi hal
yang bisa dijual beli. Jadi, saya sangat bangga dan kagum pada sikap keluarga
yang membeli diriku yang mengubah derajad hidupku dan memberikanku makna atau
nilai yang baru.
Sikap baik keluarga ini selalu
membuatku bertanya mengapa mereka begitu baik? Saya tidak mau mengada-ada atau
mereka-reka jawabannya. Yang jelas mengalami perhatian dan perbuatan baik
mereka sudah cukup bagiku untuk bilang bahwa buah yang baik pasti selalu
berasal dari pohon yang baik. Dari buahnya orang bisa tahu apa pohonnya. Buah
mangga pasti selalu berasal dari pohon mangga dan tidak mungkin menghasilkan
buah belimbing. Buah yang baik pasti berasal dari pohon yang baik. Hal itu
sudah saya rasakan dan berangkat dari hal yang saya rasakan itu, maka sekarang
saya menulis pengalaman ini.
Mau tahu lebih lanjut kebaikan mereka?
Ikuti saja petualanganku dari rumah mereka di Jakarta ke Italia, negara yang
terkenal dengan spaghetinya dan seribu piazza-nya serta pizzanya yang lezattt.
Orang yang suka seni dan musik pasti selalu ke sana, ke italia maksudnya. Sayangnya
saya tidak pandai bermusik tapi pandai makan, jadi sekali lagi saya menjadi
orang yang beruntung karena bisa menikmati secara langsung nikmatnya spageti
atau pizza khas Italia. Pasti kalian tanya kenapa saya beruntung lagi, kenapa
saya ke Italia?
Yang jelas saya diutus ke Italia karena
saya mau dihadiahkan kepada salah
seorang anak laki-laki yang sedang belajar menjadi orang yang (mungkin) berguna
bagi orang lain. Saya tidak kenal anak laki-laki ini tapi kata mereka dia
sangat membutuhkan kehadiranku terutama kemampuanku untuk membantunya dalam
belajar dan petualangannya untuk menjadi manusia bagi orang lain. Mungkin
penjelasan ini agak rumit tapi kata mereka memang tipenya memang seperti itu. Saya
berharap banyak bahwa anak laki-laki ini dapat memperlakukanku seperti hal yang
kualami di keluarga baik ini.
Jadi, keberangkatanku ke negeri
seberang dilandasi sikap peduli dan perhatian atas keadaan sesama. Intinya saya
dihadiahkan atau diutus untuk si anak laki-laki itu. Hal ini sama sekali tidak
tergantung pada kemampuanku melainkan tergantung atau terdorong oleh sikap hati
yang baik dari keluarga ini. Keluarga ini, melaluiku, sangat mengerti
keadaannya dan melaluiku keluarga ini ingin membantu dan memenuhi kebutuhannya.
Dalam diriku anak laki-laki akan secara langsung mengalami kebaikan dan
perhatian dari keluarga yang baik ini. Kehadiranku akan menjadi bukti perbuatan
kasih mereka. Jadi, cukup dengan melihat dan menggunakan kemampuanku, anak
laki-laki ini melihat dan merasakan uluran tangan dan kehadiran keluarga ini.
Jujur saja ketika melepaskan diriku
dari keluarga ini tidak ada sedikit pun rasa sedih dalam hatiku. Karena, saya
merasa bahwa kepergianku bukan karena saya ditolak atau dijual kembali
melainkan saya membawa hati mereka yaitu hati yang tulus untuk berbagi. Mereka
berbagi bukan karena mempunyai hal yang lebih tetapi mereka berbagi karena hati
mereka mengerti keadaan orang lain. Hal ini mengingatkan saya akan kalimat yang
pernah ibu sampaikan yang bunyinya, “Orang yang kaya bukanlah orang yang
mengumpulkan banyak harta melainkan orang yang memberi/membagi banyak dari diri
mereka sendiri.” Jadi perjalananku
melewati lautan lepas ini semata-mata terdorong oleh semangat ini. Saya telah
dan akan menjadi saksi isi hati yang tulus ini.
Saya tiba di Parma, akhir Mei lalu,
siang hari dan malam harinya setelah doa rosario saya berjumpa dengan sahabatku
yang baru yang merupakan tujuan akhir perutusanku. Hatiku senang sekali ketika
merasakan penyambutan yang hangat darinya sambil berkata, “Akhirnya hal yang
kunantikan setelah sekian lama tiba juga.” Dia semakin heran karna bersamaku
dikirim juga sebuah kemeja batik yang sama sekali tidak dia bayangkan. Saya
ikut ceria melihat wajahnya yang ceria menyambut isi hati keluarga yang hadir
melalui diriku. “Waduh, betapa senangnya nasibku…” kata sahabatku ini.
Saya diantarnya ke tempat dia tinggal
dan bertanya bagaimana keadaan bapa dan ibu sekeluarga di Jakarta. Saya
menjawab dengan antusias pertanyannya seperti yang terungkap dalam kisah surat
ini (sejak dari kalimat pertama sampai di sini). Setelah giliranku untuk
bercerita selesai, dia melanjutkan dengan versinya dia yang intinya
mengkonfirmasi pengalaman yang saya alami.
Dia bilang bahwa keluarga ini sangat
baik dan hanya orang yang punya hati yang baik yang bisa peduli. Merasakan
kebaikan keluarga ini, menurutnya, mengingatkannya akan kisah seorang anak
kecil yang mempunyai 5 buah roti dan 2 ikan dalam injil dimana berkat
kerelaanya untuk berbagi, Yesus dapat memberi makan lebih dari lima ribu orang
yang mengikutinya. Keluarga ini, sama seperti anak kecil itu, menjadi semacam
pengantara kebaikan Yesus terhadapa sesama. Mungkin masih ingat juga kisah lain
di mana seorang pemuda dirampok dan dianiaya ketika sedang menuju ke Yeriko
dari Yerusalem. Hanya orang Samaria yang baik hati dan peduli terhadap
keadaannya mau memperhatikan dan merawatnya. Keluarga ini sangat sederhana tapi
mampu bertindak seperti orang Samaria yang baik hati itu karena itu sahabatku
yang baru ini sangat yakin bahwa keluarga ini sangat baik karena telah menjadi
sesama bagi yang lain, yang mau memanusiakan yang lain dalam arti yang luas.
Mengakhiri percakapannya sahabatku
mengutip sebuah kalimat dari bapa Paus Fransiskus: “IL bene tende sempre a
comunicarsi atau Goodness always tends to spread”. Sikap itu tercermin
dalam hidup dan tindakan keluarga ini. Mungkin itu pula nama yang mereka
berikan kepadaku. Karena itu berbagi tak pernah rugi. Terima kasih banyak.
Parma, 28 luglio 2014
Pandri