Kamis, 31 Juli 2014

Saya dilahirkan untuk dijual……



Saya mau memperkenalkan diriku tapi ada daya dan sayangnya saya tidak mengenal siapa diriku atau lebih tepatnya dapat dikatakan saya tidak punya nama. Aneh memang tapi itu nyata! Saya hanya tahu negara asalku yaitu Thailand, dari Asia. Meskipun saya tidak mempunyai nama, saya merupakan orang yang sangat berutung karena saya dapat masuk keluar suatu negara tanpa harus punya pasport dan visa sehingga saya tidak punya masalah apapun dengan pihak imigrasi dan polisi. Mungkin orang yang berurusan dengan saya harus membayar pajak tentang identitasku tapi itu bukan urusanku, dan lagi bukan saya yang harus pusing melakukan semuanya itu. Jadi dalam hidupku saya telah keluar dari Thailand ke Indonesia dan negara terakhir adalah Italia. Waduh senangnya nasibku.

Keberuntunganku yang terbesar dan yang paling indah kurasakan adalah ketika saya berada di Indonesia lebih tepatnya di Jakarta. Di sana saya menetap dalam sebuah keluarga katolik yang sangat santun, baik dan religius.


Maaf saya lupa selama berapa lama saya berada di tengah mereka karena saya begitu menikmati kebaikan mereka yang luar biasa besar yang saya lihat. Di hadapan suatu hal yang sangat baik dan terpesona biasanya saya begitu terpukau sehingga saya lupa waktu seakan-akan hal itu menyerap seluruh perhatianku.

Keberadaanku bersama atau dalam keluarga ini tidak berarti banyak. Saya jujur sekali tidak melakukan apapun, saya cukup berada saja, saya diam mendengar kisah dan mengamati kehidupan keluarga ini yang diwarnai dengan kerendahan hati dan kebaikan. Saya tidak bisa tidak bersaksi akan semuanya itu.

Hal yang saya dengar dari mereka adalah bahwa saya mempunyai kemampuan luar biasa untuk mengingat semua hal disampaikan dan disalurkan kepadaku. Kata mereka saya juga mempunyai kemampuan untuk menjawab atau merespon hal-hal yang mereka cari asalkan terlebih dahulu mereka menginformasikan ke otakku. Kata mereka otakku sangat pintar karena apapun yang terekam pasti tersimpan dengan baik dan dapat diingat serta siap selalu untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Saya sendiri belum mengukur kemampuanku sehingga saya masih penasaran dengan diriku, dengan kemampuan yang saya miliki. Soalnya selama berada bersama mereka kemampuanku itu belum mereka gunakan. Alasannya sederhana sekali bahwa saya mau dihadiahkan kepada salah seorang anak mereka tapi saatnya belum tiba bagi beliau untuk membuktikan kemampuanku.

Meskipun demikian saya merasa sangat berharga dan beruntung berada di keluarga ini karena sikap mereka lebih manusiawi dibandingkan sikap orang tua asalku. Keluarga asalku melahirkan saya hanya demi memenuhi kebutuhan ekonomis semata. Mereka menciptakan atau melahirkanku untuk dijual. Kan aneh! Seandainya mereka bertanya atau meminta pendapatku untuk dilahirkan sebagai obyek jual beli, saya tidak akan setuju. Maksudku seandainya saja saya tahu bahwa saya diciptakan untuk dijual, pasti dengan tegas saya menolak untuk diciptakan. Tapi apa boleh buat, saya telah dilahirkan dan telah dijual dan beruntung sekali mereka menjualku kepada keluarga yang sangat baik, yang menjagaku dengan baik dan yang mau menjadikanku sebagai hadiah atau berkat kepada orang lain. Menjadi hadiah atau berkat bagi sesama kan lebih bermartabat atau lebih tinggi nilainya daripada menjadi hal yang bisa dijual beli. Jadi, saya sangat bangga dan kagum pada sikap keluarga yang membeli diriku yang mengubah derajad hidupku dan memberikanku makna atau nilai yang baru. 

Sikap baik keluarga ini selalu membuatku bertanya mengapa mereka begitu baik? Saya tidak mau mengada-ada atau mereka-reka jawabannya. Yang jelas mengalami perhatian dan perbuatan baik mereka sudah cukup bagiku untuk bilang bahwa buah yang baik pasti selalu berasal dari pohon yang baik. Dari buahnya orang bisa tahu apa pohonnya. Buah mangga pasti selalu berasal dari pohon mangga dan tidak mungkin menghasilkan buah belimbing. Buah yang baik pasti berasal dari pohon yang baik. Hal itu sudah saya rasakan dan berangkat dari hal yang saya rasakan itu, maka sekarang saya menulis pengalaman ini.

Mau tahu lebih lanjut kebaikan mereka? Ikuti saja petualanganku dari rumah mereka di Jakarta ke Italia, negara yang terkenal dengan spaghetinya dan seribu piazza-nya serta pizzanya yang lezattt. Orang yang suka seni dan musik pasti selalu ke sana, ke italia maksudnya. Sayangnya saya tidak pandai bermusik tapi pandai makan, jadi sekali lagi saya menjadi orang yang beruntung karena bisa menikmati secara langsung nikmatnya spageti atau pizza khas Italia. Pasti kalian tanya kenapa saya beruntung lagi, kenapa saya ke Italia?

Yang jelas saya diutus ke Italia karena saya mau dihadiahkan kepada salah seorang anak laki-laki yang sedang belajar menjadi orang yang (mungkin) berguna bagi orang lain. Saya tidak kenal anak laki-laki ini tapi kata mereka dia sangat membutuhkan kehadiranku terutama kemampuanku untuk membantunya dalam belajar dan petualangannya untuk menjadi manusia bagi orang lain. Mungkin penjelasan ini agak rumit tapi kata mereka memang tipenya memang seperti itu. Saya berharap banyak bahwa anak laki-laki ini dapat memperlakukanku seperti hal yang kualami di keluarga baik ini.


Jadi, keberangkatanku ke negeri seberang dilandasi sikap peduli dan perhatian atas keadaan sesama. Intinya saya dihadiahkan atau diutus untuk si anak laki-laki itu. Hal ini sama sekali tidak tergantung pada kemampuanku melainkan tergantung atau terdorong oleh sikap hati yang baik dari keluarga ini. Keluarga ini, melaluiku, sangat mengerti keadaannya dan melaluiku keluarga ini ingin membantu dan memenuhi kebutuhannya. Dalam diriku anak laki-laki akan secara langsung mengalami kebaikan dan perhatian dari keluarga yang baik ini. Kehadiranku akan menjadi bukti perbuatan kasih mereka. Jadi, cukup dengan melihat dan menggunakan kemampuanku, anak laki-laki ini melihat dan merasakan uluran tangan dan kehadiran keluarga ini.

Jujur saja ketika melepaskan diriku dari keluarga ini tidak ada sedikit pun rasa sedih dalam hatiku. Karena, saya merasa bahwa kepergianku bukan karena saya ditolak atau dijual kembali melainkan saya membawa hati mereka yaitu hati yang tulus untuk berbagi. Mereka berbagi bukan karena mempunyai hal yang lebih tetapi mereka berbagi karena hati mereka mengerti keadaan orang lain. Hal ini mengingatkan saya akan kalimat yang pernah ibu sampaikan yang bunyinya, “Orang yang kaya bukanlah orang yang mengumpulkan banyak harta melainkan orang yang memberi/membagi banyak dari diri mereka sendiri.”  Jadi perjalananku melewati lautan lepas ini semata-mata terdorong oleh semangat ini. Saya telah dan akan menjadi saksi isi hati yang tulus ini.


Saya tiba di Parma, akhir Mei lalu, siang hari dan malam harinya setelah doa rosario saya berjumpa dengan sahabatku yang baru yang merupakan tujuan akhir perutusanku. Hatiku senang sekali ketika merasakan penyambutan yang hangat darinya sambil berkata, “Akhirnya hal yang kunantikan setelah sekian lama tiba juga.” Dia semakin heran karna bersamaku dikirim juga sebuah kemeja batik yang sama sekali tidak dia bayangkan. Saya ikut ceria melihat wajahnya yang ceria menyambut isi hati keluarga yang hadir melalui diriku. “Waduh, betapa senangnya nasibku…” kata sahabatku ini.

Saya diantarnya ke tempat dia tinggal dan bertanya bagaimana keadaan bapa dan ibu sekeluarga di Jakarta. Saya menjawab dengan antusias pertanyannya seperti yang terungkap dalam kisah surat ini (sejak dari kalimat pertama sampai di sini). Setelah giliranku untuk bercerita selesai, dia melanjutkan dengan versinya dia yang intinya mengkonfirmasi pengalaman yang saya alami.
Dia bilang bahwa keluarga ini sangat baik dan hanya orang yang punya hati yang baik yang bisa peduli. Merasakan kebaikan keluarga ini, menurutnya, mengingatkannya akan kisah seorang anak kecil yang mempunyai 5 buah roti dan 2 ikan dalam injil dimana berkat kerelaanya untuk berbagi, Yesus dapat memberi makan lebih dari lima ribu orang yang mengikutinya. Keluarga ini, sama seperti anak kecil itu, menjadi semacam pengantara kebaikan Yesus terhadapa sesama. Mungkin masih ingat juga kisah lain di mana seorang pemuda dirampok dan dianiaya ketika sedang menuju ke Yeriko dari Yerusalem. Hanya orang Samaria yang baik hati dan peduli terhadap keadaannya mau memperhatikan dan merawatnya. Keluarga ini sangat sederhana tapi mampu bertindak seperti orang Samaria yang baik hati itu karena itu sahabatku yang baru ini sangat yakin bahwa keluarga ini sangat baik karena telah menjadi sesama bagi yang lain, yang mau memanusiakan yang lain dalam arti yang luas.


Mengakhiri percakapannya sahabatku mengutip sebuah kalimat dari bapa Paus Fransiskus: “IL bene tende sempre a comunicarsi atau Goodness always tends to spread”. Sikap itu tercermin dalam hidup dan tindakan keluarga ini. Mungkin itu pula nama yang mereka berikan kepadaku. Karena itu berbagi tak pernah rugi. Terima kasih banyak.
Parma, 28 luglio 2014

Pandri

Minggu, 27 Juli 2014

Menyesali waktu yang telah hilang….



 Semalam setelah selesai makan malam saya mendengar percakapan dua orang di belakang komunitas kami disertai dengan tertawa dari banyak orang. Tergerak oleh rasa penasaran, karena saya belum pernah mendengar hal serupa sebelumnya di sekitar rumah kami, saya pun bergegas ke sana. Di hadapanku ada sebuah panggung yang ukurannya tidak terlalu besar. Di atasnya ada sebuah meja kecil yang diisi dengan salume dan di sekitar meja ini ada dua orang ibu yang saling bercerita.

Yang satu, yang di tangan kanannya terdapat pisau potong daging, merespon percakapan sambil sesekali mengangkat salume (sejenis daging khas italia yang bisa langsung dikonsumsi meski tampaknya masih mentah, karena memang tidak perlu dimasak lagi: jenis daging ini dimatangkan dengan garam selama berbulan-bulan…) atau memotongnya. Ibu yang satu dengan tas tangan di sikunya, selain melakukan gerakan-gerakan tertentu/bahasa tubuh, berbicara sambil mengitari panggung secara lebih leluasa. Ibu ini tampak lebih ekspresif bagaikan seorang pemain teater sehingga kata-kata dengan paduan gerakan tubuhnya mengundang tawa para penonton yang jumlahnya lebih dari seratus orang.


Anehnya, saya sendiri saja di situ yang tidak menemukan kelucuan dari percakapan mereka karena memang saya tidak mengerti. Saya yakin bahwa mereka tidak berbincang dalam bahasa Italia. Ketika yang lain tertawa saya malah bengong sendiri. Rupanya mereka sedang melakonkan percapakan dengan dialetto di parmigiano, semacam bahasa daerah orang Parma. Hal ini kuketahui setelah saya bertanya kepada seorang penonton di sampingku. Menurutnya acara ini sering disebut sebagai pertunjukkan popolare dan sekaligus menjelaskan bahwa penampilan ini adalah upaya mereka untuk melestarikan bahasa daerah agar tidak punah ditelan bahasa modern. Setelah 20 menit menyaksikan hal itu saya kemudian pulang karena saya merasa tidak bermanfaat ketika saya hadir tanpa tidak tahu apa-apa.

Meskipun demikian pertunjukkan ini membuatku mengerti satu kebiasaan positif yang sering saya jumpai di Parma dan orang Italia pada umumnya. Mereka memiliki budaya retorika yang mendalam, budaya bertutur yang telah berakar lama. Pertunjukkan semacam ini dianggap sebagai ruang publik untuk mengekspresikan pendapat/pesan dan masyarakat sangat menghargai /mengapresiasinya. Mereka hadir bukan hanya untuk menghabiskan waktu atau sambil lalu melainkan berpartisipasi; berarti belajar hal baru, belajar seni teatrale dan lain-lainnya yang banyak tergantung dari minat masing-masing. Pertunjukkan semacam ini biasanya diiklankan di media massa lokal yang dapat ditemukan pada sebuah kolom khusus dalam surat-surat kabar dan diinformasikan setiap hari. Di Parma khususnya setiap minggu hampir selalu ada pertunjukkan untuk umum baik yang gratis maupun yang tidak. Ruang publik bagi mereka sangat penting untuk mensosialisasikan budaya, hasil karya perorangan atau kelompok, bahkan untuk mengungkapkan solidaritas tertentu terhadap orang lain.

Kebiasaan ini, ketika dilihat lebih mendalam, tidak tercipta begitu saja melainkan sudah ditanam sejak masuk sekolah. Sejak dari sekolah dasar anak-anak sekolah sudah dibiasakan untuk menghargai hal ini.

Di akhir masa sekolah dan sebelum liburan sekolah anak-anak sekolah—dari tingkat SD sampai SMA—melakukan gita scolastica (kunjungan sekolah) ke museum budaya, seni, sejarah, gereja antika, atau berbagai pameran yang ada di kota tempat di mana sekolah itu berada atau bahkan ke luar kota. Tidak hanya kunjungan tingkat kota atau di dalam negeri melainkan kunjungan ke luar negeri yang biasanya dilakukan oleh siswa setingkat SMA.


Di kompleks kami, Missionaris Saverian di Parma, ada museum etnografi tentang Cina dan Negara-negara misi tempat para Xaverian berkarya. Sejak pertengahan bulan Mei sampai pertengahan Juni dari hari ke hari museum ini dipenuhi oleh anak-anak sekolah dari tingkat SD sampai SMA dari kota Parma. Mereka datang untuk melihat dan mempelajari budaya dari negara lain.

Kunjungan ini sudah merupakan bagian dari kurikulum sekolah sehingga guru dan orang tua sudah tahu dan merasa diwajibkan untuk melakukannya. Di museum yang mereka kunjungi sudah ada petugas yang siap menjelaskan semua yang terpampang dalam museum tersebut, jadi bukan kunjungan tanpa makna. Dengan hal ini anak-anak dibiasakan untuk bertanya, untuk mengerti sejarah dan menambah wawasan mereka yang tidak mereka dapatkan di ruang kelas.

Saya sendiri telah merasakan manfaat kegiatan kunjungan semacam ini. Selama mempelajari bahasa Italia dari September 2012 sampai akhir Juni 2013 saya dan teman-teman seangkatanku bersama 2 guru bahasa italia mempraktekkan hal serupa. Maksudnya kami mempunyai kesempatan untuk mengunjungi kota Bologna di akhir semester pertama yaitu bulan Januari 2013 dan ke kota Firenze bulan Juni 2013, akhir semester 2. Di kedua kota ini kami memasuki katedral atau beberapa gereja antika yang di dalamnya terdapat lukisan bersejarah dari pelukis-pelukis terkenal. Selain itu kami memasuki juga museum-museum seni terkenal di kota-kota ini.

Dari kunjungan ini saya mengerti ternyata dulu sebelum orang-orang tahu menulis, mereka berkatekese atau mewartakan injil lewat lukisan. Mereka menceritakan sejarah keselamatan Tuhan yang menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus lewat lukisan. Jadi dengan melihat lukisan-lukisan itu saya diantar untuk masuk dalam pola pikir orang jaman dulu dan cara mereka mengungkapkan pesan tertentu. Orang lain masuk dan melihat lukisan-lukisan ini dengan cara pandang yang berbeda: ada orang yang memfokuskan diri hanya pada cara mengukirnya, paduan warna yang digunakan dan hal ini biasanya dilakukan oleh pecinta seni. Ada juga yang masuk untuk memahami cara melukis yang berbeda dari pelukis terkenal, misalnya cara Michelangelo melukis tentu saja berbeda dari cara Leonardo da Vinci. Orang yang suka mempelajari peninggalan sejarah kuno, lukisan-lukisan ini membantunya untuk belajar. Jadi, intinya kunjungan semacam ini mendidikku atau mendidik pengunjug untuk mengerti dan mengetahui banyak hal. 

Pengalaman ini mengingatkanku akan perilaku para turis asing ketika datang ke Jakarta atau ke kota-kota lain di Indonesia. Mereka memasuki museum-museum kita atau tempat-tempat bersejarah tertentu untuk mempelajari budaya kita, seni kita bahkan cara kita berpikir, berinteraksi dan lain sebagainya. Saat itu, saya melihat mereka hanya dari sudut pandang ekonomis. Saat itu saya kagum terhadap mereka karena yang ada dalam pikiranku adalah para turis ini datang ke Indonesia karena mereka mempunyai uang yang banyak untuk membiayai perjalanan, tanpa tahu bahwa mereka berkorban untuk itu karena mereka mau belajar, mau tahu hal-hal yang baru. Pengetahuan bagi mereka hal yang penting dan demi memenuhi hal itu mereka rela mengeluarkan uang banyak. Mereka melakukan tour bukan sekedar turisme melainkan salah satu cara mempelajari banyak hal. Saya sekarang mengerti mengapa banyak orang asing di musim panas mengunjungi negara-negara lain di luar negara mereka karena sudah sejak kecil mereka dibiasakan untuk menambah wawasan mereka tidak hanya di ruang kelas di sekolah melainkan juga lewat kunjungan-kunjungan edukatif yang telah saya saksikan sendiri di sini, di Parma.

Semakin saya mengagumi kebiasaan positif mereka semakin besar rasa penyesalan dalam diriku karena saya telah kehilangan banyak kesempatan untuk belajar. Itulah diriku. Penyesalan memang selalu datang terlambat atau datang kemudian. Tapi yang penting saya telah menyesal karena dari rasa dan sikap itu terbuka jalan untuk berubah, untuk bangkit dan meniru hal yang baik. Menyesali waktu dan kesempatan yang telah hilang memungkinkanku menghargai waktu yang ada dan mengisinya secara kostruktif.

Parma, 27 Luglio 2014
Pandri






Senin, 21 Juli 2014

La missione; è il tempo di scegliere e di condividere…




“La missione; è il tempo di scegliere” è stato il tema del campo giovanissimi condotto dai Missionari Saveriani, Saveriane e Laici Saveriani rivolto o coinvolto con i giovani di qualche parrocchia nella città di Salerno (26-30 giugno 2014) e anche in un secondo momento con i giovani delle parrocchie di Campigliano, Filetta, San Cipriano e Castigliano (1-5 luglio 2014). I ragazzi partecipanti da questo campo erano quasi cento quarantina.

Questo tema veniva sviluppato/approfondito con i ragazzi nei momenti della formazione. Un animatore spiegava quale è l’importanza di fare le scelte della vita; in quale condizione si può scegliere; quali siano le scelte importanti della vita. Lo scopo di questo tema era mostrare che la vita è una scelta o è fatta di scelte. Nella vita non si può fare a meno di una scelta, quindi la scelta fa parte del mio essere umano. Quindi l’importanza del tema è ribadire proprio che la scelta non è fatta solo una volta nella vita, ma deve essere continuata, ripensata, ect… Facendo così si sperava che i ragazzi potessero essere consapevoli fin dalla loro giovinezza dell’importanza di fare la scelta della propria vita e potessero esercitarla responsabilmente e consapevolmente.


Oltre al momento della formazione o dell’approfondimento del tema, la giornata del campo cominciava con la preghiera. In seguito c’erano i momenti della formazione e del raccolto degli indumenti. I ragazzi andavano nei palazzi della gente a chiedere o a raccogliere i vestiti usati. Dopo il pranzo facevano i laboratori e poi finivano con qualche gioco divertente. Alla sera prima della cena c’era un momento di preghiera facendo la lectio divina/l’adorazione eucaristia/la confessione. La giornata terminava con la serata musicale danzando e facendo il karaoke insieme.

È stato un campo pieno di storia e di gioia a cui ho partecipato. Sarebbe stato un peccato grave se lo lasciassi perdere senza nessuna traccia. Vorrei tenerlo vivo e presente ricordandolo e scrivendolo perché i ragazzi mi hanno insegnato molte cose; è proprio il motivo centrale di questo piccolo racconto.

@@@@@@@

È stato il primo campo a cui ho partecipato a Salerno da quando sono in Italia. Quindi è stata la prima volta che ho incontrato questi ragazzi così bravi, accoglienti, calorosi, stupendi e vivaci passando insieme momenti di scherzi, battuti e giochi.


È stato un campo di scoperte da quello che pensavo per il fatto che sono rimasto stupito vedendo il loro entusiasmo a partecipare agli incontri di formazione e anche nelle raccolto degli indumenti. Quando è arrivato il tempo della serietà e del lavoro, erano molto seri a fare le cose: nei momenti di divertimento, del gioco o della festa si sono tutti divertiti. Durante i momenti delle preghiere sono stati proprio bravi nel senso che si sono coinvolti attivamente. Se nel momento della formazione o del lavoro alcuni facevano casini o le brutte figure, nel momento di preghiera non era così; invece hanno pregato e si sono confessati. Ero rimasto meravigliato a vedere un giovane confessarsi per più di dieci minuti, adorare Gesù nell’eucaristia in silenzio per un’ora. Ero impressionato vedere tutte queste cose perché pensavo che i ragazzi dell’occidente non si interessassero più alle cose liturgiche, alle cose delle chiese. Invece a Salerno non è così. È diverso.


Questa realtà mi ha spinto a cambiare il mio modo di pensare e giudicare dalle informazioni o storie ricevute. Quando ero ancora nel mio paese sentivo spesso i racconti che dicevano: che tante chiese in Italia ed in Europa in generale, erano vuote perché la gente non le frequentava più; che solo i vecchietti partecipavano ad iniziative spirituali mentre i giovani si allontanavano dalle chiese e dalla vita cristiana, quindi difficilmente si trovava un giovane in chiesa. Ascoltando questi racconti credevo che fossero veri e che in occidente i giovani si ritirassero dalle pratiche sacramentali. Invece in realtà non è così tanto al cento per cento, perché ci sono ancora i giovani credenti che frequentano le messe, che vivono cristianamente la loro vita quotidiana. Questo campo e questo incontro con questi giovani entusiastici mi ha assicurato e convinto che la chiesa sta facendo la sua missione. Penso che questa sia una speranza viva e vera che non possiamo lasciar perdere. Per farla vivere sempre ha bisogno di un aiuto urgente cioè ha bisogno di una vita esemplare assicurandoli che la strada che stanno percorrendo sia una strada giusta verso una vita matura, alla libertà vera, all’amore autentico andando verso Gesù. Quindi questi giovani hanno bisogno delle persone capaci di accompagnarli a fare la scelta giusta e vera. Il campo estivo è un tipo di accompagnamento per quell’esito.


Missione è qualcosa da condividere…

Pensando un po’ al tema scelto “Missione, è un tempo di scegliere” credo che non sia stato un tema utopico che i giovani devono prendere in futuro, che devono scegliere magari al prossimo mese o anno. Durante il campo questo tema è stato già vissuto e realizzato nel decidere /scegliere / condividere, a lavorare e a stare insieme i ragazzi dalle parrocchie, scuole e paese diverse, partecipando al campo.


Vorrei sottolineare solo un atteggiamento che secondo me possa essere un esempio vissuto/concreto delle tante scelte che vengono fatte dai ragazzi. È la condivisione che nel campo era evidente nel dare e mettere il panino da mangiare. Questo atto sicuramente veniva inculcato/proposto dagli animatori come una condizione che dovevano realizzare. Nonostante ciò aveva un valore importantissima educandoli e invitandoli a non pensare al loro bisogno personale ma anche a pensare ai bisogni degli altri. In realtà questa richiesta veniva accolta entusiasticamente da parte loro nonostante non tutti facevano così, ma erano pochi.  

Un momento interessante da ricordare era quello di prendere il panino dalla propria borsa e poi metterlo su una tavola comune. Per me questo era un gesto di condivisione e di fiducia.

Era un gesto di condivisione perché ognuno ha preso e ha dato da quello che aveva; voleva dare e condividere con gli altri il suo bene per il bene degli altri. Era proprio un atto tipicamente cristiano in cui ognuno si sentiva responsabile non solo di se stesso ma anche si sentiva responsabile degli altri. A questo punto posso dire che un atto di condivisione è un atto di prendersi cura vicendevole; è un atto di corresponsabilità. Sarebbe stato utile e significativo se nel campo questo valore o virtù venisse spiegato di più perché i ragazzi potessero essere consapevoli della sua importanza.


Condividere era anche un atto di fiducia. Io davo il mio contributo credendo che non mi mancasse nulla e perché gli altri facessero lo stesso gesto. Magari i ragazzi non sapevano/non si rendevano conto che dando un panino o condividendo la storia della loro vita agli altri fosse un segno positivo che parla di se stesa che è aperta, che è disponibile a affidare la sua vita agli altri. Da lì nasce l’amicizia che senza la fiducia è impossibile essere amico di qualcun’altro oppure da lì può darsi nasca la fede.

Ero e sono contento vedendo che i ragazzi facevano così perché era un segno positivo, un segno di ricchezza che avevano. Perciò dovrebbero riconoscerla, accoglierla questa ricchezza facendo proprio un tesoro loro non per tenerlo in sé ma per coltivarlo finché cresca e porti le frutte abbondanti. Da parte mia vedendo la loro generosità e disponibilità sentivo che suscitavano in me la voglia di fare la stessa cosa, di imitare e di imparare. 
Grazie di cuore!


Parma, 11 luglio 2014
Pandri


Selasa, 01 Juli 2014

Si Dia Yang Kupandang….



Saya dan Arnaud, konfratrer seangkatanku dari  Camerun , berangkat dari Parma pada pukul 15.30 dan tiba di komunitas Xaverian di Salerno jam 23.30. Untuk sampai di Salerno kami harus ganti kereta api 3 kali: Parma-Bologna, Bologna-Napoli, Napoli-Salerno. Saya sangat menikmati perjalanan ini terutama dari Bologna-Napoli karena  untuk pertama kali saya menggunakan kereta cepat, Freciarossa, artinya secara literal adalah panah merah. Sama seperti panah, kereta ini melaju sangat kencang dan hanya berhenti sekali di stasiun di Roma.  Kami pun tiba sesuai jadwal dalam tiket di Salerno.

Terlepas dari rasa nyaman dan selamat selama dalam perjalanan dari italia utara ke italia selatan saya menyadari suatu hal yang istimewa yang belum kutemukan di negeriku tercinta dan hal istimewa ini tidak mau kuabaikan begitu saja. Saya mau belajar dari hal yang kulihat dan mau bermimpi agar negaraku tercinta suatu saat nanti bisa menirunya. Persis hal yang kulihat inilah yang mau saya kisahkan dalam goresan ini.

Selama dalam kereta maupun saat di stasiun menunggu kereta, saya  tidak menemukan hal-hal yang kulihat di stasiun maupun dalam kereta di Jakarta. Semua penumpang  duduk di tempat duduknya masing-masing: baca majalah, buku, koran, yang lainnya sibuk dengan computer atau handphone. Tidak kutemukan sampah bersererakan di mana-mana, tidak ada pemulung yang keluar masuk kereta. Di stasiun saat menunggu kereta tidak kutemukan orang yang menyeberang rel kereta api karena sudah tertulis di bahu rel kereta untuk tidak menyeberangi rel kereta api. Pokoknya semuanya teratur baik.

Ketika melihat semuanya ini saya kemudian sadar bahwa saya sedang berada di sebuah negara maju di eropa, negara yang terkenal dengan seribu piazza juga negara penuh dengan karya seni. Masyarakatnya  sudah maju.  Ukuran kemajuannya dapat dilihat tidak hanya dalam cara mereka berpikir maupun kemajuan dalam bidang sains dan teknologi melainkan juga  mereka maju dalam hal kesadaran dan tanggung jawab sosial satu terhadap yang lain. Saya sering mendengar ucapan bahwa orang eropa itu sangat individualis. Hal itu memang ada benarnya, tapi hal itu tidak menjadi semacam alibi untuk menutup diri dari hal-hal positif yang ada pada mereka.

 Kesadaran dan tanggung jawab sosial ini dapat dirasakan saat berada di hadapan loket untuk membeli tiket. Pembeli tidak dipersulit. Harga tiket dapat dengan mudah diketahui lewat internet. Tidak ada calo. Ketika seorang penumpang sedang melakukan transaksi jual beli tiket, penumpang yang lain tahu diri untuk menunggu giliran dan berada dalam barisan. Tidak ada namanya “main serbu saja” Yang satu menghargai yang lain. Sebaliknya juga begitu.

Saat masuk keluar kereta semuanya berjalan lancar. Penumpang yang mau turun didahulukan. Begitu masuk yakinlah bahwa nomor kursi yang tertera di tiket sudah siap untukmu. Tidak ada yang merebutnya. Tidak ada penumpang masuk keluar lewat jendela. Jangankan penumpang, barang-barang bawaanpun tidak kulihat bahwa dimasukkan atau dikeluarkan lewat jendela

Kalau di Jakarta, penumpang kadang pusing menolak tawaran juru angkat barang yang terkesan memaksa agar barang bawaannya dipercayakan kepadanya dengan imbalan jasa tertentu, di stasiun di Italia hal seperti itu belum pernah kutemukan. Yang kulihat adalah pekerja yang membersihkan stasiun, yang bekerja dengan penuh dedikasi. ,

Orang-orang yang ada di stasiun adalah orang-orang yang memang mau bepergian atau para petugas yang bekerja/yang sedang dinas meskipun juga ada penjual tapi para penjual ini berada di luar stasiun. Belum kutemukan para penjual jalanan yang menawarkan jualannya. Yang ada adalah semacam warung self-service di mana dalam warung itu sudah tertera semua harga dari jenis barang yang dijual berikut nomor urutnya masing. Ketika seseorang hendak membeli snack atau sebotol air, cukup dengan melihat nomor dan harganya. Untuk membelinya, cukup memasukkan sejumlah uang sesuai harga barang yang bersangkutan. Dengan sistem ini, dalam ruang tunggu, para penumpang merasa nyaman tanpa merasa takut barang-barangnya dicuri.  

Selain itu kereta api masuk keluar stasiun pada umumnya tepat waktu, sesuai dengan jadwal yang telah dipastikan. Keterlambatan kereta api tentu saja ada, tetapi tidak terjadi setiap hari. Kepastian jadwal ini meyakinkan penumpang bahwa mereka dapat sampai di tempat tujuan sesuai dengan waktu yang diperikirakan.

Di hadapan situasi ini saya merasa sangat terpesona karena semuanya telah dijadwalkan dengan teliti dan baik. Lebih dari itu saya merasa kunci dari semua realta positif yang kulihat terlaksana seperti ini bukan hanya karena sudah diatur memang seperti itu. Saya melihatnya bahwa masyarakat sudah merasa sangat penting untuk menaati hukum karena dengan cara seperti itu mereka dapat mewujudkan kebutuhan mereka juga mewujudkan kebutuhan orang lain. Dengan demikian saya mengerti mengapa orang barat beda dengan orang Indonesia. Perbedaanya tereletak pada kesadaran dan tanggung jawab sosial dari masyarakatnya.

Satu hal yang kusadari penting adalah bahwa berdisiplin, membiasakan diri tepat waktu/bertanggungjawab atas hal yang sedang dilakukan, tidak hanya bermanfaat untuk keperluan pribadi tetapi merupakan sebuah sikap menghargai orang lain.

Berangkat dari kesadaran ini saya pun berani mengatakan bahwa ketika saya memandang realta dengan teliti, realta itu sendiri menyatakan banyak hal atau lebih tepatnya mengajarkanku tentang arti atau makna atau di balik realta itu ada suatu makna positif yang bisa kupetik.

 

Yanto

Salerno, 30 maggio 2014.

 

 

 

 

 

Si Dia Yang Kupandang….

Saya dan Arnaud, konfratrer seangkatanku dari  Camerun , berangkat dari Parma pada pukul 15.30 dan tiba di komunitas Xaverian di Salerno jam 23.30. Untuk sampai di Salerno kami harus ganti kereta api 3 kali: Parma-Bologna, Bologna-Napoli, Napoli-Salerno. Saya sangat menikmati perjalanan ini terutama dari Bologna-Napoli karena  untuk pertama kali saya menggunakan kereta cepat, Freciarossa, artinya secara literal adalah panah merah. Sama seperti panah, kereta ini melaju sangat kencang dan hanya berhenti sekali di stasiun di Roma.  Kami pun tiba sesuai jadwal dalam tiket di Salerno.

Terlepas dari rasa nyaman dan selamat selama dalam perjalanan dari italia utara ke italia selatan saya menyadari suatu hal yang istimewa yang belum kutemukan di negeriku tercinta dan hal istimewa ini tidak mau kuabaikan begitu saja. Saya mau belajar dari hal yang kulihat dan mau bermimpi agar negaraku tercinta suatu saat nanti bisa menirunya. Persis hal yang kulihat inilah yang mau saya kisahkan dalam goresan ini.
Selama dalam kereta maupun saat di stasiun menunggu kereta, saya  tidak menemukan hal-hal yang kulihat di stasiun maupun dalam kereta di Jakarta. Semua penumpang  duduk di tempat duduknya masing-masing: baca majalah, buku, koran, yang lainnya sibuk dengan computer atau handphone. Tidak kutemukan sampah bersererakan di mana-mana, tidak ada pemulung yang keluar masuk kereta. Di stasiun saat menunggu kereta tidak kutemukan orang yang menyeberang rel kereta api karena sudah tertulis di bahu rel kereta untuk tidak menyeberangi rel kereta api. Pokoknya semuanya teratur baik.

Ketika melihat semuanya ini saya kemudian sadar bahwa saya sedang berada di sebuah negara maju di eropa, negara yang terkenal dengan seribu piazza juga negara penuh dengan karya seni. Masyarakatnya  sudah maju.  Ukuran kemajuannya dapat dilihat tidak hanya dalam cara mereka berpikir maupun kemajuan dalam bidang sains dan teknologi melainkan juga  mereka maju dalam hal kesadaran dan tanggung jawab sosial satu terhadap yang lain. Saya sering mendengar ucapan bahwa orang eropa itu sangat individualis. Hal itu memang ada benarnya, tapi hal itu tidak menjadi semacam alibi untuk menutup diri dari hal-hal positif yang ada pada mereka.

Kesadaran dan tanggung jawab sosial ini dapat dirasakan saat berada di hadapan loket untuk membeli tiket. Pembeli tidak dipersulit. Harga tiket dapat dengan mudah diketahui lewat internet. Tidak ada calo. Ketika seorang penumpang sedang melakukan transaksi jual beli tiket, penumpang yang lain tahu diri untuk menunggu giliran dan berada dalam barisan. Tidak ada namanya “main serbu saja” Yang satu menghargai yang lain. Sebaliknya juga begitu.
Saat masuk keluar kereta semuanya berjalan lancar. Penumpang yang mau turun didahulukan. Begitu masuk yakinlah bahwa nomor kursi yang tertera di tiket sudah siap untukmu. Tidak ada yang merebutnya. Tidak ada penumpang masuk keluar lewat jendela. Jangankan penumpang, barang-barang bawaanpun tidak kulihat bahwa dimasukkan atau dikeluarkan lewat jendela

Kalau di Jakarta, penumpang kadang pusing menolak tawaran juru angkat barang yang terkesan memaksa agar barang bawaannya dipercayakan kepadanya dengan imbalan jasa tertentu, di stasiun di Italia hal seperti itu belum pernah kutemukan. Yang kulihat adalah pekerja yang membersihkan stasiun, yang bekerja dengan penuh dedikasi. ,

Orang-orang yang ada di stasiun adalah orang-orang yang memang mau bepergian atau para petugas yang bekerja/yang sedang dinas meskipun juga ada penjual tapi para penjual ini berada di luar stasiun. Belum kutemukan para penjual jalanan yang menawarkan jualannya. Yang ada adalah semacam warung self-service di mana dalam warung itu sudah tertera semua harga dari jenis barang yang dijual berikut nomor urutnya masing. Ketika seseorang hendak membeli snack atau sebotol air, cukup dengan melihat nomor dan harganya. Untuk membelinya, cukup memasukkan sejumlah uang sesuai harga barang yang bersangkutan. Dengan sistem ini, dalam ruang tunggu, para penumpang merasa nyaman tanpa merasa takut barang-barangnya dicuri.  

Selain itu kereta api masuk keluar stasiun pada umumnya tepat waktu, sesuai dengan jadwal yang telah dipastikan. Keterlambatan kereta api tentu saja ada, tetapi tidak terjadi setiap hari. Kepastian jadwal ini meyakinkan penumpang bahwa mereka dapat sampai di tempat tujuan sesuai dengan waktu yang diperikirakan.

Di hadapan situasi ini saya merasa sangat terpesona karena semuanya telah dijadwalkan dengan teliti dan baik. Lebih dari itu saya merasa kunci dari semua realta positif yang kulihat terlaksana seperti ini bukan hanya karena sudah diatur memang seperti itu. Saya melihatnya bahwa masyarakat sudah merasa sangat penting untuk menaati hukum karena dengan cara seperti itu mereka dapat mewujudkan kebutuhan mereka juga mewujudkan kebutuhan orang lain. Dengan demikian saya mengerti mengapa orang barat beda dengan orang Indonesia. Perbedaanya tereletak pada kesadaran dan tanggung jawab sosial dari masyarakatnya.

Satu hal yang kusadari penting adalah bahwa berdisiplin, membiasakan diri tepat waktu/bertanggungjawab atas hal yang sedang dilakukan, tidak hanya bermanfaat untuk keperluan pribadi tetapi merupakan sebuah sikap menghargai orang lain.

 Berangkat dari kesadaran ini saya pun berani mengatakan bahwa ketika saya memandang realta dengan teliti, realta itu sendiri menyatakan banyak hal atau lebih tepatnya mengajarkanku tentang arti atau makna atau di balik realta itu ada suatu makna positif yang bisa kupetik.

 

Yanto

Salerno, 30 maggio 2014.