“Yatim piatu punya orang tua” merupakan ide dari pastor rektorku, P. Fabrizio T, saat kotbah dalam misa bersama Sahabat-Sahabat Xaverian di Parma (GAMS: Gruppo Amici dei Saveriani), di Santuario St. Guido Maria Conforti, Parma, Kamis, 7 Mei 2015 lalu. Orang tua yatim piatu yang dia maksud bukanlah orang tua angkat melainkan orang tua kandungnya orang yatim piatu sendiri. Dalam bahasa Italia ide ini dirumuskan dalam bentuk congiuntivo yaitu sebuah syarat (jika atau seandainya) “se non ci fossero stati i suoi genitori un orfanatore non ci sarebbe mai nato.” Maksudnya adalah bahwa dulu dia punya orang tua tetapi orang tuanya itu sudah meninggal semua sehingga si anak menjadi yatim piatu, menjadi sendirian. Jika orang tuanya tidak saling mencintai dan mereka tidak menikah maka si anak ini tidak lahir dan kemudian tidak akan menjadi anak yatim piatu. Lalu, pastor rektorku ini mengungkapkan hal ini saat mengawali kotbahnya tentang pengalaman iman yaitu bagaimana kita mengalami kehadiran-Nya dalam hidup kita: dia mengaitkan pengalaman orang yatim piatu dengan pegalaman iman.
Saya setuju sekali dengan idenya ini dan bagi saya ini merupakan hal yang baru. Saya tidak pernah memikirkan hal serupa sebelumnya. Saya selalu memahami orang yatim piatu sebagai orang yang tidak memiliki orang tua. Ketika mendengar atau membaca ungkapan ‘yatim piatu’ kesan yang muncul merujuk pada orang yang tidak punya orang tua. Penjelasan beliau membantuku untuk memahami secara lain ungkapan ‘orang yatim piatu’.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa orang yatim piatu bukannya orang yang tidak mempunyai orang tua melainkan orang yang tidak mengalami pengalaman dikasihi oleh orang tuanya sekarang. Waktu seorang anak masih kecil, saat orang tuanya masih hidup, anak ini menerima perhatian dan kasih sayang dari mereka: digendong, ditemani saat mau tidur, diceritakan dongeng kesukaannya, dll. Namun setelah orang tuanya meninggal si anak ini tidak merasakan kasih sayang itu lagi secara fisik, secara nyata. Tapi itu tidak berarti bahwa si anak tidak mempunyai orang tua. Si anak sejak ditinggalkan oleh orang tua kandungnya (karena kematian) jelas tidak merasakan lagi enaknya makanan kesukaan buatan mama atau tidak merasakan bagiamana serunya bermain bola atau layang-layang bersama ayahnya. Ketika si anak mau digendong ayah atau ibunya, keinginannya itu tidak bisa terpenuhi karena kesempatan itu telah hilang. Jadi, kesempatan untuk bermain bersama ayah atau ibu, kesempatan untuk untuk digendong, dibantu saat mengerjakan PR, didukung saat dalam menghadapi tantangan dll, merupakan pengalaman dan kesempatan yang tidak bisa dirasakan lagi sekarang dari orang tuanya. Tentu saja orang lain—paman, tanta, kakak, adik, nenek-kakek, sahabat—bisa memempati posisi orang tua kandungnya, dalam arti membantu satu dan lain hal, tapi itu tidak mengingkari keberadaan orang tua kandung dalam hidupnya. Intinya, dalam ungkapan ‘anak yatim piatu’ sebaiknya perlu dipahami sebagai kehilangan kesempatan untuk mendapatkan cinta kasih dan perhatian secara fisik/nyata sekarang dari orang tua karena sekarang mereka telah tiada tetapi tidak berarti menegasikan keberadaan mereka. Pengalaman dikasihi oleh orang tua itu yang hilang tetapi bukan orang tuanya yang sama sekali tidak ada atau tidak pernah eksis. Sebuah pepatah mengatakan ini: ‘seorang guru untuk sejam, seorang maestro untuk sehari, seorang ayah untuk selamanya.’
Pengalaman serupa bisa terjadi dalam hidup iman. Sering mendengar bahwa seseorang mengatakan ‘Saya tidak beriman kepada Tuhan karena Tuhan itu tidak ada.’ Kita tidak bisa menegasikan atau mengingkari hal yang tidak ada. Kita hanya bisa mengingkari hal yang ada. Awalnya hal itu ada atau eksis tapi karena satu dan lain hal hal itu tidak ada, hal itu hilang. Orang tua saya telah tiada karena sebelumnya mereka ada, mereka pernah hidup.
Saya berpikir bahwa orang yang mengatakan bahwa Tuhan tidak ada mungkin merujuk pada pengalaman nyata tentang kehadiran-Nya. Maksudku, mereka tidak lagi merasakan pengalaman dikasihi oleh-Nya sama seperti pengalamannya orang yatim piatu. Tetapi pengalaman kehilangan itu tidak serta merta mengingkari atau menghapus keberadaan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar