Minggu, 16 September 2012

Saat-saat sebelum hijrah dari CPR-42 ke Viale San Martino, Parma (3) Sejumlah ekor ayam menjadi saksi sukacita ini…..


Aktivitas pertama yang kulakukan dalam liburan ini adalah mencari parang milikku dan melihat pohon Mahoni yang berjumlah 3 pohon yang kutanam tahun 1997. Dalam pengalaman liburan sebelumnya, mereka selalu kulihat sesaat setelah saya tiba namun kemarin hal itu tidak bisa kulakukan karena waktu tidak memungkinkan, sudah mulai redup. Seingatku saya menanam mereka beserta beberapa pohon kopi di belakang rumah yang sampai sekarang juga masih ada.
Usia mereka sekarang 15 tahun. Banyak perkembangan yang telah mereka alami: semakin tinggi, diameter mereka semakin lebar dan tampaknya sudah cukup umur untuk difungsikan. Melihat mereka dengan keadaan yang sekarang saya merasa sangat bangga karena dalam mereka saya menemukan jejakku. Perubahan dan perkembangan mereka menandai juga perubahan dan perkembangan pribadiku. Saya berharap demikian.
Sekembalinya ke rumah, ibuku telah menyediakan tete kokor (ubi rebus) yang masih panas dengan kopi hangat di pagi yang masih terasa dingin. Sayangnya saya tidak menyukai kopi maka saya melahap tete kokor dengan segelas teh hangat. Rasanya enak sekali dibandingkan dengan jenis ubi dengan ramuan yang sama yang pernah kumakan di Jakarta. Kumaklumi perbedaan itu karena ubi yang kumakan ini baru saja diambil langsung dari kebun belakang rumah. Kalau ubi yang kusantap di Jakarta telah lama berada di pasar sebelum akhirnya dibeli oleh Ibu Thres, ibu yang memasak untuk para frater dan pastor di CPR-42. Lebih nikmati lagi melahap tete tapa (ubi bakar) yang juga dibuatkan ibu untuk saya. Pokoknya pagi pertama ini sungguh menyenangkan. 
Seusai sarapan, makan tete kokor dan tete tapa dengan segelas teh, saya pergi mandi dan menimba air di Wae Bak, air yang ditampung pada sebuah bak yang digunakan oleh seluruh warga kampung Ponceng Kalo yang berjarak 500 meter dari rumahku. Suasana di tempat timba air dan mandi ini cukup ramai karena sudah ada beberapa orang di sana yang hendak melakukan ritual yang sama sepertiku. Perbincangan pun tidak bisa dihindarkan walaupun sekadar hanya bernostalgia sejenak. Pada umumnya mereka selalu menanyakan apakah saya masih ingat pengalaman-pengalaman lama yang pernah kualami bersama saat masih menetap di kampung ini.
Ketika saya berkunjung ke beberapa rumah keluargaku di Ponceng Klao, mereka selalu bertanya tentang pengalamanku bersama mereka di kampung ini. Spontan saya menjawab bahwa tidak mungkin saya melupakan semuanya itu karena itulah sejarah hidupku meskipun akhirnya saya perlu mengingat bagaimana persisnya dulu itu. Mau tidak mau pertanyaan-pertanyaan mereka membawaku kembali pada masa kecil dan masa 2 tahun nganggur setelah tamat sekolah dasar. Di antaranya adalah setiap hari pasar, hari Sabtu, saya pergi lemba nio (pikul kelapa untuk dijual), jual pisang, jual kemiri, hingga jual sangkar ayam,  ke Werang dan uangnya akan digunakan untuk membeli keperluan rumah tangga untuk satu minggu ke depan seperti minyak tanah, garam, keperluan mandi dan cuci, bahkan untuk membeli beras. Tidak hanya itu saja, saya teringat pula akan usaha kecil yang pernah kulakukan yang dalam ungkapan umum kami saat itu sering disebut mencatut atau menjadi tengkulak. Artinya saya membeli barang tertentu untuk kemudian dijual lagi. Di antaranya adalah mencatut gula, garam dan rokok. Sesampainya di rumah saya menjual kembali barang-barang itu dengan harga sedikit naik sehingga ada laba yang bisa kuambil. Catutan terakhir yang masih kuingat adalah membeli kemiri milik ayahku dengan harga pasar sebelumnya. Ternyata ketika saya hendak menjualnya lagi, harga kemiri tersebut sudah beda, sudah turun dari harga beli yang kuambil. Mau tidak mau saya tetap menjualnya dan akhirnya saya rugi…apesssss dehh…!!! Ketika bertemu dengan teman-teman sebayaku, yang saat ini pada umumnya telah menikah, pengalaman kerja di proyek sering diungkit misalnya ketika kami mengikuti proyek menanam pohon ampupu, akasia dan mahoni di sekitar Wae Leong maupun proyek cake salang (pelebaran jalan raya) Taal-Werang. Sebagian besar misa hari Minggu terutama setelah 2 tahun tamat dari SD tidak saya hadiri karena saya dan teman-teman seperti Kraeng Ikong, Godo, Oman, Hanes Himin dan kae Frans Selami pergi menjelajahi beberapa kali atau sungai untuk mencari katak, belut maupun ikan. Tidak kulupakan pengalaman kerja julu (gotong royong) kebun saat walis (musim kering), menjaga kebun, sampai pergi mencari wase werek (sejenis tali yang merambat) di hutan Nggoang dan sekitarnya dan masih banyak pengalaman lainnya yang tentunya diwarnai oleh kesuksesan dan kegagalan.

Saat bersama ayah dan ibuku sering juga hal serupa di atas mereka tanyakan. Atau bahkan saya yang bertanya kepada mereka bagaimana persisnya kejadian tertentu di masa lalu yang pernah kubuat. Kadang juga saya mencari tahu bagaimana sikap dan kenakalanku saat masih kecil dulu. Semuanya itu dan terutama saat berada bersama ayah dan ibuku kurasakan sebagai saat yang  nyaman dan hangat sekali. Kebersamaan dengan mereka bagiku merupakan saat yang intim. Banyak kegiatan yang kulakukan bersama mereka. Ikut menyiapkan makanan babi seperti kiru saung tete, kiru culi lalu menumbuknya, kikir nio sampai me-naang kina sering kulakukan. Pergi menimba air, kadang pagi kadang juga sore hari. Ikut pergi ke pasar menjual kelapa sampai ikut menumbuk padi. Saat mereka menghadiri acara adat di keluarga besar Batu Mese saya selalu ikut dan ikut sibuk di belakang, sebagai ngara beang.
Banyak cerita kubagikan dan kudengar dari mereka yang biasanya terjadi saat menanti masakan untuk makan malam atau sesudah makan malam kami bertiga di ruang tamu menceritakan kisah kami masing-masing. Dari cerita ini saya menangkap bahwa hal yang mereka inginkan adalah kesehatan sehingga mereka bisa sehat saat kami berlibur di kesempatan berikutknya sekaligus supaya mereka dapat bekerja untuk membiyai adik-adik yang masih sekolah. Mereka juga sangat mengharapkan supaya setiap liburan kami datang atau kalau tidak memungkinkan, seharusnya kami menelpon mereka sesering mungkin. Hal ini dapat kupahami karena mereka sangat merindukan sekaligus mencemaskan keadaan kami. Hatiku senang ketika mendengar semuanya ini dan saat perpisahanku secara langsung saya melihat air mata turun membasahi pipi mereka. Kumaknai itu sebagai ekspresi dari kerinduan mereka supaya saya selalu hidup dalam diri mereka.
Mengingat pengalaman-pengalaman di atas membuatku begitu bergembira dan termotivasi. Saya seakan-akan dibawa kembali ke masa itu yaitu ketika saya terlibat langsung. Pengalaman-pengalaman itu ternyata membentuk diriku yang sekarang ini. Semangat kerja, ketekunan, dan sikap mau berusaha menjadi lebih baik yang ada padaku sekarang ini ternyata buah dari sejarah hidupku yang lalu. Di sini saya teringat akan seorang pemikir humanis, August Comte, yang menegaskan bahwa perkembangan sejarah dan kemajuan terbentuk  oleh apa yang dia sebut sebagai positivisme. Manusia akan maju dan berubah ketika manusia beralih dari takhyul bahkan filsafat menuju ke ilmu-ilmu positif yang bisa dikalkulasi atau diukur. Bagiku, sejarah kutentukan oleh saya yang memilih bertindak tertentu dalam konteks tertentu.
Sementara itu, melihat ekspresi cinta orang tua dan keluarga yang demikian besar timbullah  pertanyaan ini dalam diriku: bagaimana saya membalas budi kepada mereka? Bagaiamana saya mengingat mereka. Menyebut mereka dalam doa-doaku tentunya menjadi sebuah wadah relasionalku dengan mereka. Dengan menyebut mereka, saya senantiasa terhubung, berelasi dan bersatu dengan mereka. Lebih dari itu saya bertekad untuk membalas budi baik mereka dengan mengembangkan apa yang telah mereka tanamkan dalam diriku.
Kusadari bahwa diriku yang sekarang ini menjadi seperti ini karena kasih sayang dan pengorbanan mereka. Mereka telah mencintaiku dengan begitu dahsyat sehingga saya dapat hidup sebagaimana sekarang ini terjadi. Maka hal yang bisa kulakukan adalah mengembangkan dan meningkatkan apa yang telah mereka tanamkan. Mereka telah menanamkan kasih, kejujuran, kerja keras, tanggung jawab, maka saya perlu melanjutkan semuanya itu kepada orang lain yang kujumpai karena hal-hal itulah yang mereka wariskan kepadaku. Jadi, saya membalas budi mereka dengan mengembangkan warisan yang mereka warisi. Mereka tentu bangga dan bahagia melihat apa yang mereka ajarkan atau tanamkan dalam diriku terlaksana dan berbuah pada diriku. Sama seperti seorang guru yang bangga dan puas ketika anak didiknya mengerti yang dia ajarkan. Saya membayangkan bahwa ibuku, yang sudah berbahagia bersama Bapa di Surga, bangga kepadaku ketika saya melanjutkan sikap hidupnya yang sederhana, jujur, dan setia dalam hidupku bersama orang di sekitarku.

© © © © © © ©

Sejak hijrah dari Ponceng Kalo  ke Kefamenanu (1999) lalu ke Jogyakarta (2005) dan ke Jakarta (2006), liburan kali ini merupakan kesempatan keempat bagiku untuk cuti.  Tidak ada rencana istimewa yang kubuat untuk mengisi liburanku kali ini. Saya mengulangi tradisi yang telah lama kulakukan setiap kali saya pulang libur. Saya mengunjungi semua keluarga dekat dan akhirnya menghabiskan sisa waktu bersama orang tuaku di rumah apalagi kali ini tinggal ayah dan ibuku saja yang mendiami rumah kami karena kami bertujuh sedang meniti masa depan kami masing-masing di tempat yang berbeda, di luar Ponceng Kalo. Kunjungan keluargaku kali ini diwarnai oleh pengalaman unik yang berbeda dari sebelumnya.
Keluarga pertama yang kukunjungi adalah keluarga di kampung asal ibu kandungku yaitu ke Compang, kira-kira 1-1,5 jam dengan sepeda motor untuk mencapainya. Di sana saya menjumpai om Jhon sekeluarga dan om Noe sekeluarga. Kunjunganku kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya karena saya dapat berjumpa dengan om Pater Bone Buahendri, SVD yang kebetulan sedang cuti. Perjumpaan terakhirku dengannya terjadi 14 tahun lalu saat dia merayakan misa perdananya di Compang tahun 1998. Sejak saat itu dia menjadi misionaris di Australia dan masih akan ke sana seuasai cuti ini. Kegembiraan dengannya bersama semua anak-anak dan cucu-cucu dari Empo Kanisius Jale dan Angela Iwus semakin penuh terjadi dalam syukuran 20 tahun hidup religius beliau pada tanggal 15 Agustus 2012 yang lalu.  Dalam acara seperti itulah saya dapat bertemu dengan banyak keluarga yang sebelumnya tidak saya kenal. Itulah salah satu pengalaman istimewaku selama liburan ini.
Pada tanggal 5 Agustus 2012 saya mengunjungi keluarga mama kecilku, ingkoe Tin sekeluarga di Mejer, adik kandung ibuku. Dia mempunyai 4 orang anak dan semuanya laki-laki. Persis pada tanggal 5 ini anaknya yang pertama, yaitu kraeng Situs, mau menikah dengan istrinya. Saya dan ayahku turut melakukan acara wuat wa’i (mengantarnya ke rumah orang tua istrinya) untuknya dengan membawa seekor ayam jantan dan sejumlah uang. Turut kujumpai dalam kesempatan ini adalah Ambo dan Ovan, adik ketiga dan keempat dari Situs yang masih duduk di bangku SMA, sementara Jos, adik keduanya, masih di Makasar. Saya begitu senang menjumpai mereka dalam keadaan sehat walafiat.
Empat hari kemudian, persis pada hari padong (mengantar pengantin wanita ke rumah pengantin pria) Ifon, teman kelasku saat SD yang juga masih anggota keluarga dekatku, saya mengunjungi istri dan anak-anak dari pamanku, Hendrikus Hamnu di Heak, Lembor. Kuakui bahwa saya masih capek saat itu setelah sibuk selama 2 hari mengikuti acara perkawinan dan pestanya Ifon. Meski demikian saya tetap menikmati kunjunganku ke Heak karena saya sangat mencintai keluarga pamanku ini. Hanya saja dalam kunjungan kali ini saya tidak dapat bercerita lagi dengan emkoe Rikus karena setahun lalu dia telah dipanggil Tuhan. Kenangan akan kebaikannya menarikku untuk ke sana, untuk mendokannya sekaligus melihat dan mengunjungi keempat saudariku di sana. Sayangnya, dalam kesempatan ini saya tidak bisa berjumpa dengan ingkoe ende Lis karena dia sedang mengunjungi Lis yang baru saja melahirkan anaknya yang pertama di Joneng. Katarina dan enu Gonda juga tidak dapat kujumpai karena Kata sedang berada di Datak sementara Gonda masih di Bali, mengadu nasib. Kerinduanku terobati oleh sikap si bungsu, enu Thres yang ada di rumah saat itu. Dia merupakan anak kesayangan emkoe Rikus, yang dulu sangat manja. Sekarang dia telah berubah banyak. Dia membeli gula, kopi dan menghidangkan minuman ketika saya, Bona dan Limun tiba. Dia dan dibantu Limun dan ende Moni menyediakan makan malam dan sarapan pagi buat kami semua. Saya sungguh kagum dan bangga melihat perkembangannya meskipun saya sendiri tidak bisa apa-apa untuk membantu mewujudkan masa depan yang cerah baginya. Hal terakhir ini masih menjadi pergulatanku.
Dari Heak saya dan Bona menuju ke Inang Sisi, inang ine de Levi, adik bungsu ayahku di Nobo. Kedaanya baik-baik saja meskipun badannya sudah turun dibandingkan ketika saya menjumpainya 2 tahun lalu. Bisa saja itu terjadi karena usia sebagaimana yang dialami oleh ayahku juga. Meski demikian inangku masih kuat bekerja seperti dulu. Sekarang dia ditemani oleh Ima, anaknya yang kedua serta oleh ketiga cucunya, putera-puteri dari K’Levi yang rumahnya tidak jauh dari rumah inang. Sementara itu Goris anaknya yang ketiga baru saja pergi mengadu nasib di Kalimantan dan Mena, anaknya yang bungsu, menikah dengan orang dari Wersawe, kampung tetangga. Mereka sungguh sangat bergembira atas kunjunganku sebagaimana saya juga bersukacita menjumpai mereka semua dalam suasan keakraban yang sangat intens. Semalam bersama mereka seakan tidak cukup untuk mengingat semua pengalaman lama yang pernah kuukir bersama mereka ketika saya berlibur ke sini setiap kali liburan sekolah saat SD dulu atau waktu 2 tahun setelah SD dulu. Waktu yang singkat ini pun tidak cukup bagiku untuk mensharingkan dinamika perantauanku maupun lika liku panggilanku. Tapi tak mengapalah karena perjumpaan semalam telah mengobati kerinduanku selama ini dan kuyakini bahwa kenangan bersama mereka senantiasa awet.    
Buah dari kunjungan kelilingku langsung terasa  misalnya rasa puas yang disertai sukacita yang mendalam. Tidak akan kulupakan senyuman, pelukan, ciuman dan ucapan selamat datang yang mewarnai setiap kunjunganku ini. Ekspresi-ekpresi tersebut mengungkapkan kurang lebih ungkapan Bapa yang baik hati dalam Injil Lukas: “Saya telah lama menanti dan merindukanmu dan saya bahagia bertemu denganmu saat ini. Mari kita berpesta.” Maka tidak heran ketika sejumlah ekor ayam menjadi saksi sukacita besar ini.  Demikianlah sukacitaku sebagai seorang anak ketika disambut dengan hangat oleh orang tua dan keluarga. Rasa sakit selama 2 hari sebelum pulang ke Jakarta kumaknai sebagai sebuah pengorbanan. Sukacita yang besar nan sejati perlu dibarengi oleh pengorbanan yang besar serta pengelolaan diri yang tekun dan ulet.  Singkat cerita, sukacitaku tidak sebanding dengan “KO” dua hari di tempat tidur persis saat seluruh warga Indonesia merayakan HUT ke 67 kemerdekaan RI. Dalam tidurku kurenungkan nasib para pahlawan pejuang kemerdekaan berbanding terbalik dengan nasibku: mereka berkorban dulu demi sukacita kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia sesudahnya,……….bersambung……..
Jakarta, 30 Agustus 2012

Kamis, 30 Agustus 2012

Saat-saat sebelum hijrah dari CPR-42 ke Viale San Martino, Parma (2)


Dikira Penjual Ikan….
narsis sesaat sebelum ke Dufan
Sehari sebelum berangkat ke kampung Nunang dan Ponceng Kalo, kami (fr. Asis, Fonsi, Kornel dan saya), minus fr Gordi yang telah berada di Yogyakarta untuk menjalani tahun orientasi misionernya di sana, berekreasi ke Dunia Fantasi (Dufan) Ancol yang letaknya di bagian Utara Jakarta. Di sana kami melepaskan penat dan keseharian di komunitas dengan menaiki kereta gantung, roll coster, bumper car, dan masih banyak lainnya. Selama seharian ini kami sungguh menikmati arena di luar komunitas bahkan tanpa memikirkan apa yang terjadi di komunitas. Dari sekian wahana yang ada dan sempat kami coba, saya sungguh menikmati permainan bumper car yaitu saling menabrakkan mobil dengan mobil teman. Nikmatnya ada saat berusaha menabrakan dengan sengaja mobil mainanku dengan mobil teman. Uauhhh…..asyik sekali@@@!!! Permaianan ini memang menjadi favoritku namun sayang dalam kesempatan ini hanya sekali saja saya memainkannya mengingat banyaknya peminat yang ingin mencobanya.

Di tengah keramaian dan sukacita rekreatif tersebut, secara pribadi sebetulnya saya masih  cemas. Hati dan pikiran saya terbagi dua antara rekreasi dan pulkamp (pulang kampung). Yang membuat saya cemas adalah tiket yang belum jelas dan pasti. Hal ini cukup beralasan karena saat tiba di Halte Senen, K’Nasus, kakak pertamaku yang ada di Bali, menelpon bahwa dia belum bisa memboking tiket karena masih menunggu uang yang harus segera ditransfer. Untung saat itu P. Matteo bersedia mentransfer uang ke abangku karena kalau tidak saya ga bisa ikut rekreasi.

Memikirkan tiket pergi dan pulang ternyata bukan satu-satunya hal yang berkecamuk dalam pikiranku. Perjalanan, hal apa yang mau kukatakan/ceritakan, keadaan orang tua dan keluarga di kampung, tentang kunjungan ke keluarga dan masih banyak lagi mewarnai kepalaku yang kecil ini. Rasa-rasanya semua hal harus pasti dan beres sebelum memulainya… itulah tipeku yang perfeksionis ini! Ribet juga ya!
Tapi tidak mengapalah, karena ketika saatnya tiba semuanya dapat dinikmati. Ketika diantar oleh Br. Kornel dan fr. Feliks pada Sabtu siang tanggal 28 Juli 2012, saya merasa gembira sekali. Rasa takut dan cemas yang menghantuiku kemarin seakan-akan sirna karena saya tahu bahwa sedikit lagi saya berjumpa dengan kakak saya di Bali dan nantinya dengan semua keluarga di Manggarai. Kedatangan dan kehadiranku pasti menjadi kejutan yang besar bagi mereka. Saya membayangkan bahwa mereka pasti senang dan tentunya saya sendiri akan menikmati hal serupa. Suasana keakraban itu menarikku sehingga saya melupakan apa yang terjadi kemarin dan sebelumnya.

Pengalaman perdana menumpang pesawat sendirian, tanpa ditemani orang yang kukenal yang bisa menjadi andalanku, baru kurasakan saat itu meskipun bukan ini yang pertama kalinya saya menumpang pesawat. Untuk memastikan soal pintu masuk, jam keberangkatan dan jenis maskapainya saya berulang-ulang melihat di tiketku sekaligus menanyakannya ke beberapa orang penumpang serta petugas. Saya membayangkan bahwa orang yang sehari-hari berada di bandara pasti mengenal kekakuanku. Saya tidak peduli hal itu karena yang penting bagiku kelancaran perjalananku sekaligus sebagai wadah pembelajaran.

Semua ketakutan itu terasa sirna setelah berada dalam pesawat. Tak henti-hentinya saya mengamati bagian dalam pesawat Sriwijaya Air yang kutumpangi dan tentunya mengamati pula para penumpang lainnya. Segala gerak-gerik awak pesawat terutama para pramugari yang cantik-cantik tidak luput dari perhatianku. Saya menemukan bahwa mereka selalu tersenyum saat berhadapan dengan penumpang sebagai tanda welcome. Sambil memandangi itu terbersit pertanyaan ini: apakah mereka senyum secara tulus atau demi profesi? Pada akhirnya saya tidak melangkah lebih jauh mendalami keisenganku itu karena itu bukan urusanku dan hal yang kuinginkan saat itu hanyalah keselamatan dan kelancaran perjalanan kami. Syukurlah, dengan durasi waktu 90 menit, kami tiba dengan selamat di Bandara Ngurah Rai Denpasar, Bali sore hari waktu setempat.
Selama beberapa menit saya menunggu jemputan bersama dengan seorang teman yang kukenal sejak masih di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta (Soeta). Dia pergi mendahului saya karena orang yang menjemputnya telah tiba lebih awal. Pandanganku tidak pernah absen memandangi banyak orang yang hiruk pikuk di sekitarku selama waktu penantian itu. Ada banyak turis mancanegara yang keluar masuk dengan segala kekhasannya dan tak ketinggalan wisatawan domestik juga melakukan aktivitas serupa. Di benakku terbersit ungkapan ini: ini yang namanya kota wisata internasional ketika kae Marten, teman kost dari abangku, mendekatiku dan mengajakku pergi ke Badung, tempat mereka dan abangku tinggal.

Perjalanan kami dari bandara menuju kost sedikit terganggu karena beratnya tas yang kupikul. Rasanya saya ditarik ke belakang oleh beban itu sehingga membuat punggungku sakit. Keadaan itu tidak menghalangi kekagumanku akan keasrian kota tempat kami lewat. Sejak keluar dari bandara, saya tidak menemukan kemacetan seperti yang kualami di Jakarta. Pengendara kendaraan bermotor dengan penuh hati-hati memacu kendaraan mereka secara tertata. Tidak ada yang nyalip sana, nyalip sini. Praktisnya kami berhenti ketika berada di trafic light yang berwarna merah. Sisanya mulus, tidak ada pengamen dan pengemis yang berkeliaran. Di banyak persimpangan selalu ada polisi yang mengatur lalu lintas supaya lancar. Hal ini cukup berbeda dengan situsi di Jakarta. Polisi lalu lintas yang ada di jalan raya pada umumnya menciptakan kemacetan karena sedang merazia orang yang melanggar aturan dan mungkin ujung-ujungnya minta duit.
Kota ini juga sangat rapi. Tidak banyak sampah yang berserakan kecuali di tempat pembuangan sampah. Orang-orangnya tampak sangat ramah dan bersahabat. Buktinya selama menunggu jemputan di bandara, para penawar jasa transportasi tidak memaksa kami untuk mengikuti mereka. Pada umumnya mereka menawarkan diri dan mereka mundur ketika kita memberi kepastian bahwa sudah ada orang yang jemput. Mereka tidak seperti penawar jasa yang ada di Jakarta di mana mereka langsung mengambil barang bawaan kita supaya menuruti permintaan mereka. Melihat kenyataan ini saya disadarkan tentang hal ini: lain kota lain situasi, lain orang lain perilaku. Atau dalam bahasa Manggarai terungkap seperti ini: do lako, do ita dan do bae. Artinya ketika kita banyak berpetualang, kita bisa melihat dan menemukan banyak hal yang berbeda dari kota asal kita. Di situ kita belajar banyak hal sehingga wawasan kita diperkaya. Begitu larutnya saya meresapi apa yang kujumpai membuat perjalanan kami terasa cepat tiba di kost abangku yang sudah menungguku.

© © © © ©

Kak Nasus masih istirahat ketika saya memasuki kostnya. Dia segera sadar ketika dibangunkan oleh Kae Matius, teman kostnya. Segera sesudahnya saya merasa menjadi orang penting dan menjadi pusat perhatian pada saat itu karena mereka semua menempatkan saya di tengah lalu mereka me-ris (ris, sebuah kebiasaan orang Manggarai untuk menyapa orang yang bertamu ke rumah kita atau menyapa orang yang baru tiba dari tempat yang jauh). Tidak lama berselang suguhan minuman kopi dihidangkan yang dilanjutkan dengan presa, tanya jawab atau cerita banyak hal terutama mereka mencari tahu pengalamanku.
Dalam benakku saya berujar bahwa saatnya mulai tiba untuk menyingkapkan rahasia di balik berita liburanku. Sudah sejak 3 hari yang lalu, ketika saya meminta k’Nasus untuk membeli tiket t ujuan Bali-Labuan Bajo, saya sadari bahwa dia pasti penasaran dengan info ini. Dalam sebuah SMS-nya, dua malam lalu dia menulis ini: “ade, saya mengoleksi banyak pertanyaan tentang liburanmu yang mendadak ini. Tolong britahu saya rahasiamu,” Dugaanku itu memang benar karena segera sesudah itu dia menanyakan ulang hal seruapa. Saya tentu menjelaskan hal itu sampai kami berangkat ke pulau kasur. Kesanku dia sepertinya heran sekaligus senang mendengar ceritaku, dan memang itu yang kuharapkan.

Keesokan paginya, Minggu 29 Juli, jam 06.30 kami sudah berada kembali di bandara untuk check in untuk melanjutkan perjalananku ke Labuan Bajo dan Nunang. Semua berjalan lancar. Saya tidak merasa takut lagi dengan perjalanan ini karena jarak tempuhnya hanya 50an menit. Saya tak sabar lagi membuat kejutan kepada k’Jhony, kakaku yang kedua yang tinggal di Labuan Bajo, dan kepada bapak Bene sekeluarga di sana.

Apa yang kuharapkan memang terjadi. Jam 10 padi wita saya memasuki rumah bapak Bene di Labuan Bajo dan ternyata k’Jhoni bersama Bona, adik persis setelah saya, sudah berada di sana. Mereka semua heran dan sama sekali tidak tahu akan kedatanganku. Sesudah itu, segala hal berjalan normal. Saya dapat bertindak sebagai anak di rumah, melakukan apa yang bisa kulakukan sambil berjalan-jalan di sekitar kota Labuan Bajo. Saya menetap di Labuan Bajo selama 3 malam sesuai permintaan mereka sebelum akhirnya pada hari Rabu, 1 Agustus 2012 saya berangkat ke Ponceng Kalo dengan menggunakan sepeda motor.
Saya membutuhkan waktu 2 jam perjalanan untuk tiba di Tengtoda, tempat kak iparku, bu Yulin dengan Dian, putri pertamanya, menetap sebagai guru SD di SDK Werang. Durasi waktu itu pas untuk saya yang baru mengenal medan seperti itu dan syukurlah semuanya berjalan lancar. Seuasai makan siang di Tengtoda, saya melanjutkan perjalananku ke Ponceng Kalo dan di Taal saya berjumpa dengan ayahku beserta sebagian besar bapak-bapak keluarga besar Batu Mese yang saat itu sedang membuat kemah untuk pernikahan Ifon, salah seorang anggota keluarga kami. Saya berhenti sejenak di situ sambil menerima sapaan mereka semua sebelum akhirnya saya bersama ayahku melanjutkan perjalanan ke Ponceng Kalo, tujuan akhir perjalananku hari itu.
Saya tiba di rumahku di Ponceng Kalo hampir jam 6 sore, saat itu masih dalam suasana redup. Bunyi motorku dianggap sebagai bunyi motor penjual ikan oleh ibuku yang sedang menampi beras saat itu. “Ehhhh..anak gaku. Nggoe nuk gaku rebao ga ata pika nakeng ca mai hiat rebao leso anggan ga…”kata ibuku. Dia mengira penjual ikan, yang siang tadi datang menawarkan jualannya, datang lagi sore itu, maka dia tidak menghiraukannya. Dia kaget bukan kepalang ketika diberitahu oleh ayahku bahwa saya datang berlibur. Pelukan dan ciuman hangat mewarnai perjumpaanku dengan orang yang kucintai sore itu. Tidak lama berselang beberapa tetangga rumah kami datang memberi salam selamat datang kepadaku. Saya sungguh merasa senang, bahagia dan bersyukur karena telah sampai pada tujuan. Orang tuaku tak menyangka saya pulang secepat ini karena yang mereka tahu tahun depan baru giliranku untuk berlibur. Setelah saya menjelaskan apa yang terjadi malam itu akhirnya mereka dapat menerimanya.

Saya tidur cukup nyenyak namun sedikit terganggu pada malam pertamaku di rumah. Pasalnya adalah hawa dingin yang sangat dingin. Selimut yang berlapis-lapis rupanya tidak mampu mengusir hawa dingin itu sehingga saya sadar lebih cepat daripada waktu di komunitas biara. Tapi tak mengapa, karena di situ saya tidak mendengar suara orang berdoa dari mesjid maupun suara bajai yang sangat keras dan mengganggu suasana tidur pada waktu subuh sebagaiamana kualami di Jakarta. Yang kudengar adalah suara koor para jangkrik dan sejenisnya termasuk suara kokokan ayam tanda waktu tertentu bagi orang kampungku. Suara binatang-binatang ini mengingatkanku tentang kampungku bahwa memang demikianlah situasi di kampungku. Tidak banyak perubahan yang kutemui di kampungku kecuali bahwa saya, Pandri, dalam banyak hal, tidak sama dengan yang dulu. “Semoga saja saya dapat menikmati masa-masa indah ini dengan sukacita besar,” ucapku pagi itu seraya membangunkan ayahku yang sedang tidur di sampingku…. bersambung….
Jakarta, 27 Agustus 2012

Senin, 27 Agustus 2012

Saat-saat sebelum hijrah dari CPR-42 ke Viale San Martino, Parma….(1)


Ujian hingga urus Pasport-Visa
Cerita ini berawal dari peristiwa dan situasi di akhir Juni 2012 yang lalu….
Saat itu kegembiraanku mendekati puncaknya yang tinggi mengingat 2 peristiwa besar baru saja kulewati sebagai mahasiswa. Lulus ujian skripsi dan ujian komprehensif (khas STF Driyarkara) merupakan 2 peristiwa penting yang kumaksudkan. Karena, hal-hal itu menandai berakhirnya pergulatanku sebagai mahasiswa di sebuah sekolah tinggi, yang tentunya dari segi pembelajaran, hal itu bukan akhir dari proses belajar. Tapi tidak apalah, untuk saat ini boleh kukatakan sebuah akhir yang memang harus kulewati.
Di sisi lain, kedua hal itu berarti penting karena perjuanganku tidak sia-sia. Kerja keras selama setahun terakhir—menyelesaikan tugas akhir yang sangat berat—ternyata memetik hasil yang menggembirakan bukan hanya untuk diriku melainkan juga konfratersku dan keluargaku. Saya memang tidak ingin membuat mereka bangga tetapi menunjukan hasil dari kerja keras dan ketekunan yang teguh. Pepatah lama ini, “No Pain, No Gain!”, akhirnya terlaksana dan hal itu memang benar.      
Di tengah suasana gembira itu, suatu hal istimewa kembali terdengar. Viale San Martino, Kota Parma, Italia, menjadi tempat tujuanku setelah hijrah dari CPR-42 (Wisma Xaverian, jln. Cempaka Putih Raya, 42 ; Jakarta), tempat tinggalku selama 4 tahun terakhir ini. Kabar ini kudengar langsung dari rektorku P. Matteo Rebecchi, SX, sesaat sebelum turun ke lapangan futsal CPR 42, suatu sore Jumat bulan Juni yang lalu (maaf, aku lupa tanggalnya). Rasa sukacitaku tak mampu kugambarkan dengan kata-kata saat itu bahkan main futsal sore itu terasa lain dari biasanya. Saya begitu bersemangat seakan-akan saya berlari tanpa menyentuh tanah dan mengejar bola seperti memburu emas. Yang jelas sesuatu yang uauuuuuuuuhhhhhhhh…..sedang menghinggapi diriku.

Tapi, hal ini tentunya bukan sebuah kebetulan yang tak pernah dibayangkan. Berita ini sudah bermula pada sebuah proses yang telah terjadi pada pertengahan April 2012 lalu saat saya membuat lamaran untuk pergi ke teologi internasional, bahkan jauh sebelum itu yaitu bulan Juni 2011 yang lalu. Saat itu memang saya tidak tahu tempat yang jelas tetapi saya mempunyai harapan yang besar sebagaimana berita akhir yang kuterima ini.
Berita  terakhir ini memungkinkan saya berangan-angan untuk berlibur ke kampung menjumpai orang tua dan keluargaku. Alasanya sangat jelas bahwa selama menjalani masa formasi dan pendidikan di Parma saya tidak mempunyai kesempatan cuti. Saat cutiku adalah saat sebelum berangkat ke Parma. Kabar inilah yang kemudian kujadikan alasan untuk meminta ijin cuti ke rektor dan syukurlah beliau menyetujuinya. Satu hal yang kupegang teguh adalah rencana liburan ini dan rencana keberangkatanku ke Parma hanya milikku saja. Saya berniat tidak memberitahu siapapun sampai saya sendiri yang menceritakannya ke orang tua dan keluargaku. Dalam beberapa kali kesempatan telepon dengan keluarga saya selalu mengelak ketika ditanya kapan liburan ke kampung dan kapan pergi TOM (tahun orientasi misioner). Saya selalu berusaha mengalihkan pembicaraan ketika mereka menanyakan hal itu.

Sambil menanti waktu cuti dan waktu hijrah tiba saya mengurusi banyak hal. Di antaranya saya mengurus pasport (kartu identitas internasional, kata Br. Kornel, konfraterku) sebagai syarat penting untuk mendapatkan visa (surat ijin tinggal di suatu negara selain negara asal). Praktisnya kedua hal ini yang penting untuk menentukan kepastian keberangkatanku. Seingatku Fr. Gordi, SX (menjalani masa tahun orientasi misioner di Yogyakarta, yang mendampingi calon-calon Rajawali misioner kami) menemani saya dan fr. Peter, SX (yang mau berangkat ke Kamerun via Italia) selama proses pengurusan pasport. Berkat dia banyak informasi dan lainnya berkaitan dengan urusan ini dapat berjalan lancar. 

Adapun syarat yang dibutuhkan untuk memperoleh pasport adalah KTP, KK, Akte Kelahiran, Ijasah, membutuhkan waktu 10 hari sejak memasukan berkas kewargaanku ke kantor imigrasi setempat. Setelah mendapat pasport saya melengkapi berkas untuk mengurus visa di antaranya surat rekomendasi dari Roma, dari Padang, tiket, foto ukuran 3x4, mengisi formulir yang disediakan kedutaan bersangkutan, dan akhirnya memenuhi panggilan wawancara.

Sayangnya, dalam perjalanan waktu masih ada kekurangann sana sini, informasi yang belum jelas maka proses pengurusan visa tidak bisa diselesaikan sebelum saya pulang kampung alias berlibur. Saya harus melanjutkan proses itu setelah selesai masa liburan bahkan waktu liburanku harus disesuaikan dengan appoitment yang sudah ditetapkan pihak kedutaan. Tentu rasa penasaran, ingin cepat selesai termasuk rasa tidak puas menghiasi diriku selama proses ini namun saya tetap optimis bahwa semuanya akan berjalan lancar…
 Saya tentu bersyukur atas kerjasama dan bantuan fr Harno, P. Matteo dan konfraters lainnya yang setia membantu saya dan fr Peter dalam mengurusi semuanya ini demi sebuah cita-cita ini: menjadikan dunia satu keluarga…..……bersambung…..     
Jakarta, 26 Agustus 2012

Selasa, 24 Juli 2012

Hidup Bahagia ala Buddhisme

1. Pengantar                                                                                                    
Kedelapan jalan kebenaran menurut perspektif Buddhisme dilihat sebagai jalan menuju pembebasan atau pencerahan. Apa yang dimaksud pembebasan atau pencerahan itu? Itu adalah suatu keadaan di mana penderitaan lenyap dan yang ada ialah kebahagiaan tertinggi atau damai abadi.
Intinya ialah kedelapan jalan ini diyakini sebagai jalan menuju ke Nirwana. Nirwana ini juga dipahami sebagai suatu keadaan non-duality. Artinya konsep subyek-obyek dilampaui. Yang tinggal ialah kesatuan. Dalam Nirwana ini seseorang melihat gunung sebagai gunung tanpa dia mengkonstitusikan dengan pikirannya bahwa obyek yang dia lihat adalah gunung.
Perlu ditegaskan bahwa kedelapan jalan ini hanyalah sarana menuju pencerahan atau mencapai suasana kebuddhaan. Kedelapan jalan ini bukan tujuan yang man dicapai atau Nirwana itu sendiri. Pertanyaannya ialah mengapa kedelapan jalan ini begitu penting? Mengapa dengan mengikuti latihan-latihan ini penderitaan dapat dilenyapkan?
Konsep di atas berkaitan dengan perspektif Buddhisme tentang realitas yang tertuang dalam empat kesunyataan mulia.[1] Kesunyataan pertama ialah penderitaan. Buddhisme menegaskan kenyataan yang ada diwarnai dan dihiasi oleh penderitaan. Penderitaan ada karena ke-5 unsur pembentuk kehidupan seperti perasaan, tubuh jasmani, pencerapan, pikiran, dan kesadaran selalu berubah sehingga tidak kekal. Penderitaan ada karena perubahan-perubahan yang tedadi terus-menerus.
Kesunyaatan kedua ialah keinginan (Tanha). Keinginan merupakan sumber utama penderitaan. Keinginan untuk cepat kaya membuat banyak pejabat di negeri ini mengambil sebagian uang rakyat. Akan tetapi hidup dalam penjara menjadi imbalan dari keinginan tersebut. Maka untuk melenyapkan dan bebas dari penderitaan seseorang harus melenyapkan keinginannya (kesunyataan ketiga; melenyapkan penderitaan). Bagaimana caranya untuk melenyapkan keinginan-keinginan manusiawi kita supaya melenyapkan juga penderitaan yang mewarnai hidup kita akan dijawab oleh delapan jalan utama sebagai kesunyataan keempat. Jadi, kedelapan jalan utama atau mulia dalam Buddhisme perlu dimengerti dan ditempatkan dalam kerangka membebaskan seseorang dari penderitaan alias menuju Nirwana.
2. Delapan jalan utama
Delapan jalan utama yang dimaksud ialah pengertian yang benar, pikiran yang benar, bicara yang benar, perbuatan yang benar, penghidupan yang benar, usaha yang benar, perhatian yang benar dan konsentrasi yang benar.[2] Kedelapan jalan utama ini kemudian dikategorikan dalam tiga kategon' yaitu Panna (Kebijaksanaan tertinggi), Sila (Moralitas), dan Samadhi (konsentrasi atau kontemplasi).
Pertama, Panna (kebijaksanaan tertinggi). Parma ini memungkinkan seseorang mengerti kenyataan, apa adanya penderitaan, apa adanya pelenyapan penderitaan dan bagaiman cara untuk melenyapkan pendentaan.[3] Artinya dengan Panna seseorang dapat mengerti apa itu empat kesunyataan mulia berikut dinamikanya. Pengertian dan pikiran yang benar adalah dua jalan yang termasuk kategori Panna.
Kedua, Sila atau Moralitas. Sila ialah keadaan dari gerak-geriknya batin yang menjelma dan perbuatan yang benar dan perkalaan yang benar. Sila adalah kesadaran Yang terang dan kemauan yang terkendali berdasarkan pads pikiran dan batin yang luhur.[4] Artinya moralitas seseorang dilihat pada kesesuaian gerak batin atau pikirannya dengan perbuatannya. Tujuan dari Sila ialah menciptakan dan memajukan kehidupan yang damai dan harmonis bagi individu. Berbicara, bertindak, dan hidup yang benar adalan bagian dari Sila.
Ketiga, Samadhi. Samadhi ialah usaha membersihkan dan mengendalikan pikiran kite. Tujuannya ialah melepaskan seseorang dari kendali nafsu-nafsu juga dari karma-karma buruk sehingga dapat masuk ke tahap Jhana (Wisdom). Usaha, perhatian, dan konsentrasi yang benar adalah bagian dari Samadhi.
Berikut ini saya memaparkan gagasan pokok dari setiap jalan utama untuk mengalami Nirwana.

a. Pengertian yang benar
Pengertian yang benar ialah pemahaman mengenai bends-bends sebagaimana adanya bends tersebut.[5] Hal ini mencoba memahami dan melihat realitas bahkan cara kerja realitas yang sebenarnya. Artinya pengertian yang benar berusaha memahami atau melihat kursi sebagai kursi, berusaha menangkap apa adanya pensil yang terletak di atas meja belajarku. Kemampuan untuk mengidentifikasi obyek ini murni seperti yang tampak oleh indera-inderaku tanpa intervensi intelektual yang tidak dikonstitusikan oleh pikiranku. Ada usaha untuk menangkap realitas sesungguhnya.
Ruang lingkup pengertian yang benar ini meliputi pemahaman tentang hukum alamiah yang disebut karma, tentang tanggung jawab kita terhadap orang tua, dan tentang pemahaman mendalam mengenal realitas diri.[6]  Hal yang dapat dikatakan tentang karma ialah setiap tindakan manusia pasti menghasilkan akibat-akibat tertentu. Tindakan yang baik seperti berkata jujur tentu menghasilkan kelegaan dalam diri orang itu bahkan dia bahagia. Dia tidak perlu cemas mencari alasan­alasan tertentu untuk- membela dirinya. Sebaliknya, tindakan-tindakan buruk dan jahat menghasilkan rasa tidak nyaman dan terancam Hidup orang ini tidak akan bahagia dan dalam konteks ini penderitaan menguasai hidupnya.
Pengertian yang benar juga berlaku dalam relasiku dengan orang tua. Sudan menjadi kewajiban orang tua untuk memelihara dan membesarkan kita saat kita masih kecil, saat belum mandiri. Sebaliknya, ketika kita dewasa kita wajib memelihara orang tua. Ini yang disebut Dharma dalam Buddhisme.
Pengertian yang benar yang lebih mendalam ialah kesadaran tentang ketidakkekalan hidup. Ketidakkekalan melihat segala hal yang ada pada dasamya adalah sementara. Manusla lahir, tumbuh berkembang, menjadi tua dan akhirnya mati. Nafas yang kita hirup juga akan dihembuskan. Segala yang ada senantiasa berproses atau menjadi dan tidak ada yan abadl kecuali perubahan itu sendiri.
Kemampuan manusia menyadari soal ketidakkekalan ini memungkinkannya bersikap lepas bebas dan penderitaan mulai lenyap di situ. Karena, manusia akan berhenti bersikap rakus dan menolak mengumpulkan banyak harta bagi diri sendiri. Ketika seseorang bebas dari hedonisme dan konsumerisme, hidupnya akan bahagia dan mampu menghargai pluralitas.
Intinya ialah pemahaman yang jelas dan mendalam soal karma, dharma dan impermanensi hidup memampukan kita untuk menikmati kebahaglaan. Dari situ dia akan dapat hidup, berpikir dan bertindak secara benar. Orang yang menyadari pengertian yang benar dan hidup menurutnya disebut sebagai orang yang bervidya, orang berpengetahuan.
b.         Pikiran yang benar
Pikiran yang benar ialah pikiran yang bebas dari keinginan-keinginan nafsu, niat jahat maupun bebas dari kekejaman. Pikiran yang benar berarti menyadari berbagai keinginan-keinginanku dan membiarkan keinginan-keinginan  tersebut lenyap. Hal ini tidak berarti bahwa kita menekan atau mengekang keinginan-keinginan dan menyangkal keberadaanya.[7] Sikap-sikap itu tidak konstruktif dengan realitas diri manusia sebab bagaimanapun keinginan-keinginan tersebut konstitutif dengan diri manusiawi kita.
Sikap yang tepat ialah menyadari kecenderungan-kecenderungan tersebut dan tidak serta merta memenuhi atau menuruti segala yang dituntutnya. Intinya ialah nafsu dan keinginan lain diakui keberadannya tetapi saya tidak membiarkan diriku dikuasai oleh hal-hal tersebut.
Bebas dari pikiran jahat berarti bebas dari kemarahan.[8] Kita perlu menerima dan mengakui rasa marah yang muncul dan kemudian membiarkannya pergi atau lenyap. Artinya saya tidak perlu dikendalikan oleh rasa marah tersebut. Sebaliknya saya perlu menguasai diri dan situasiku dengan mengendalikan hal-hal tersebut secarai efektif dan konstruktif. Sebagai gantinya saya perlu mengedepankan sikap empati baik bagi diriku sendiri maupun orang lain. Di situ saya membuat diriku  bahagia juga demikian kepada orang lain.
c.  Bicara yang benar
Bicara yang benar berarti menghindarkan diri dari atau absen dari kebohongan, pembicaraan yang bernuansa pencemaran atau kebencian, dari sesuatu yang menjijikan.[9] Seseorang harus membebaskan diri dari pembicaraan yang palsu, penghinaan dan yang menjijikan demi kebahagiaanku dan sesama. Jika tidak demikian, saya mendatangkan keburukan kepada orang lain. Penghinaan yang kulontarkan dan kebohongan akan membuat orang lain terbebani dan sakit hati. Saya sebagai pelaku juga tentu terganggu karena akan tercipta ketidakharmonisan relasiku dengan orang lain. Dalam konteks ini saya mendatangkan penderitaan bagi orang lain dan juga buat diriku sendiri.
Sebaliknya, saya perlu bersikap jujur dan berbicara benar tentang kebenaran. Hal ini perlu diekpresikan secara benar dan santun sehingga mendatangkan kebaikan bagi semua. Bahkan seseorang perlu berbicara seperlunya saja pada tempat dan oamg yang tepat. Lebih baik diam atau tutup mulut dari pada menyebarkan kebohongan dan kebencian yang merusak relasi.[10] Buddhisme Hinayana melihat jalan berbicara benar ini sebagai suatu sikap untuk waspada dan hati-hati pada apa yang dilakukan oleh lida.[11] Artinya seseorang perlu berbicara demi menciptakan kebenaran dan kebaikan buat orang yang mendengamya,
d. Perbuatan yang benar
Perbuatan yang benar berarti menyadari dan merasakan bagaimana akibat dari perbuatan kita terhadap sesama ciptaan lain.[12] Hal ini mengandaikan kita mempunyai kepekaan terhadap akibat perbuatan kita terhadap sesama yang terkena akibat sikap dan perilaku kita. Ketika kita merasa niat dan perbuatan kita pantas dilakukan, sebaiknva kita melakukannya. Sebaliknya, ketika kita merasa perbuatan yang akan kita lakukan mendatangkan keburukan bagi sesama, sebaiknya dihentikan tanpa menunggu reaksi atau penolakan dari sesama.
Di samping itu hal ini bertendensi memajukan moralitas dan mendorong tindakan-tindakan terpuji. Tindakan terpuji ini dimengerti sebagai pengalpaan kita dari tindakan pembunuhan atau pemusnahan kemungkinan untuk hidup sesama ciptaan, membebaskan diri dari pencurian, kebohongan termasuk juga hubungan seksual yang tidak wajar.[13]
Secara positif bertindak benar berarti bertindak dan bersikap pro-life. Artinya saya perlu bersikap invitatif-konstrukfif dalam arti mampu menggugah dan mengarahkan sesama pada jalan yang benar dan baik, mengarah pada terciptanya suasana damai bagi semua. Misalnya saya perlu berhenti saat lampu merah menyala, perlu membayar pajak dan uang pajak tersebut dipergunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur transportasi maupun pendidikan. Sikap itu bernilai positif dan berorientasi pada hidup daripada mengorupsinya yang menyengsarakan hidup orang lain.
e. Penghidupan yang benar
Secara negatif penghidupan yang benar dirumuskan sebagai upaya menghindari perilaku dan cara hidup yang dapat mencelakakan dan merugikan sesama. Misalnya ialah menghindari perang, tidak melakukan penjualan senjata dan obat-obat terlarang, menghindari pembunuhan binatang dan menghindari tindakan-tindakan jahat lainnya.
Secara positif hal ini dimengerti sebagai cara hidup yang mengutamakan keadaan damai sehingga liveable untuk semua. Upaya penghindaran tetap dimengerti sebagai upaya menolak penderitaan. Dengan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan ini dapat diharapkan terciptannya kedamaian dan kerukunan hidup bersama.
Buddhisme Hinayana melihat jalan penghidupan yang benar ini sebagai sebuah pekerjaan.[14] Dikatakan bahwa setiap orang mempunyai dua pekerjaan yaitu pertama, kerja internal. Fokusnya ialah bagaimana seseorang menjemihkan pikirannya. Kedua, pekerjaan eksternal yaitu usaha seseorang dalam melenyapkan kecenderungan egoisme atau pendewaan diri sendiri dan mengusahakan yang terbaik bagi orang lain. Dalam konteks ini, menghindari pengedaran obat terlarang dan senjata, perang, dan pembunuhan adalah usaha untuk menciptakan suatu keadaan yang pantas untuk dihuni oleh manusia dan makluk lainnya secara berdampingan. Situasi itu menghadirkan kebahagiaan tertentu.
 f. Usaha yang benar
Usaha yang benar digambarkan seperti orang yang mau mendaki puncak gunung.[15] Puncak gunung tidak akan kugapai ketika saya hanva membayangkannya sambil duduk-duduk di kaki gunung itu. Di sini, usaha dipahami sebagai tindakan mewujudkan cita-cita tersebut. Oleh karena itu saya perlu mulai mendaki dan berjalan menuju puncak tersebut. Yang perlu diperhatikan ialah usahaku menggapai cita-citaku kusesuaikan dengan kemampuanku.
Hal ini juga dapat dilihat sebagai suatu kehendak yang berdaya guna[16] untuk mencegah keinginan jahat yang kupikirkan dan menghilangkan niat jahat yang lama kupendarn Dalam konteks ini perubahan sikap sangat dibutuhkan; dari niat jahat menjadi berbuat baik. Secara positif, usaha yang benar adalah energi yang kuat untuk membangkitkan niat baik dalam diriku dan juga mengembangkan serta menyempurnakan bakat-bakat positif yang kumiliki. Hal yang diutamakan di sini ialah kemauan dan kesediaan untuk memberdayakan dan menyempurnakan potensi yang ada demi diri dan kebaikan sesama.
Secara kongkret, usaha yang benar perlu memampukanku untuk menghilangkan niat balas dendamku terhadap tetanggaku yang meracuni ibuku dulu. Usaha yang benar juga perlu membebaskanku dari niat mengambil uang basil kerasulan untuk kepentinganku sendiri dan sebaliknya menyerahkannya kepada rektor untuk dimanfaatkan demi semua anggota komunitas. Secara positif hal ini juga berlaku ketika saya dengan kemampuanku mampu memberdayakan orang lain. Misalnya saya mampu menjahit sepatu yang rusak. Potensiku ini perlu kuajarkan kepada teman lain sehingga mereka juga mampu memperbaiki sepatu mereka sendiri.
g. Perhatian yang benar
Perhatian yang benar ialah usaha memberi perhatian khusus pada hal-hal tertentu yang dianggap dapat membantu. Fokus dari usaha ini ialah membangkitkan kesadaran penuh pada diriku dan aktivitas-aktivitasku.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati dan menyadari apa yang kurasakan, kupikirkan, kualami oleh tubuhku dan jiwaku. Saya perlu terlibat aktif dan mengalami segala yang terjadi padaku. Bila perlu saya mengamati naik turunnya perasaanku dan muncul-hilangnya ide-ideku- Intinya ialah saya mengetahui dan menyadari dinamika kerja diriku: pikiranku, perasaanku, dan aktivitas diriku, saya bahkan perlu tahu dan mereasakan gerak nafasku. Dengan ini saya dapat menyadari dan akhirnya dapat mengerti kenyataan sesungguhnya.
Dengan kesadaran ini saya bisa memahami apa yang abadi, apa yang utama dalam hidupku dan mengupayakan nilal-nilal tersebut hidup membawaku pada pembebasan. Sebab kebodohan adalah jalan menuju karma buruk.
h. Konsentrasi yang benar
Konsentrasi yang benar ialah kemampuan pikiran manusia untuk tetap fokus pada sebuah obyek tertentu. Ini adalah suatu kemampuan untuk melihat obyek apa adanya dia tidak berdasarkan konstitusi pikiranku bahwa itu adalah suatu obyek yang kuamati.
Dalam Theravada konsentrasi merupakan kata lain dan Samatha.[17] Samatha ialah keadaan pikiran yang diarahkan untuk fokus hanya pada satu obyek dengan maksud mencapai kesadaran. Caranya ialah dengan mendengar sungguh apa yang kudengar, atau menyentuh sunggu-sungguh apa yang kupegang. Intinya ialah ada usaha menginderai obyek apa adanya dia. Samatha ialah keadaan pikiran yang tidak dapat digoncangkan, tenang, aman, damai dan nyala.[18]
Konsentrasi sangat dibutuhkan di sini. Memperhatikan cara kita bernafas sangat efektif membantu mencapai konsentrasi karena nafas selalu menjadi bagian hidup kita sepanjang hayat masih dikandung badan atau karena nafas merupakan sesuatu yang dialami tanpa perlu dipikirkan. Dengan fokus pada nafas, di mana pun seseorang berada dia dapat belajar berkonsentrasi bahkan di jalan raya yang bising sekalipun.
Pada tahap ini pikiran tentang rasa lelah, ragu-ragu, pikiran buruk, kegelisahan terlenyapkan atau hilang. Sebagai gantinya ada rasa senang, sukacita, kegembiraan. Hal-hal ini mewarnai diri seseorang ketika memasuki tahap ini.
3.  Penutup
a. Kesimpulan
Kedelapan jalan utama ini adalah jalan Buddhisme untuk melenyapkan penderitaan. Keinginan sebagai akar penderitaan adalah musuh yang perlu dilenyapkan. Keinginan  ini praktisnya dapat dilenyapkan melalui jalan Panna, Sila, dan Samadhi.
Orang yang mengetahui (Panna) sungguh-sungguh apa yang abadi dari yang sementara dapat mengarahkan keinginannya terhadap yang abadi dan baik. Sebaliknya, ia dapat menahan diri dan keinginannya dari hal-hal buruk dan sementara. Dengan Sila yaitu dengan menyelaraskan apa yang dipikirkan dan melakukannya ia dapat meningkatkan karma baiknya dan mengurangi karma buruknya. Dengan Samadhi, seseorang dibawa pada keadaan non-duality yaitu kesatuan. Di situlah la melihat gunung sebagai gunung.
b. Tanggapan
Saya melihat kedelapan jalan ini bernilai positif sekaligus komprehensif. Nilai-nilai ini dapat diamati pada tujuan yang mau dicapai yaitu menghendaki terwujudnya situasi bonum commune, kebaikan bersama. Perlu diakui bahwa kedelapan jalan ini merupakan disiplin hidup personal dan tampaknya dilakukan secara personal tetapi mampu memberi kontribusi positif untuk komunitas masyarakat. Menghindari perkataan bohong, dari pencurian, dari perang, dll adalah tindakan-tindakan personal yang menciptakan damai bagi banyak orang.
Secara antropologis, kedelapan jalan ini cukup representatif sifatnya. Ketiga kategori yaitu Panna, Sila, dan Samadhi merupakan sesuatu yang integral dengan diri manusia. Dengan mengikuti kedelapan jalan ini, ada jaminan bahwa seseorang dapat mengembangkan dirinya menjadi manusia utuh. Dengan kata lain, kedelapan jalan ini bisa dilihat atau diyakini sebagai filosofi hidup manusia untuk menemukan siapa dirinya.

Daftar Pustaka
Ali, Matins, 2010, Filsafat Asia Selatan (Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme ), Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Smith, Jean (edt.)., 1999, Radiant Mind. Essential Buddhist Teachings and Text, New York; The Berkley Publishing Group.
Sonia), Hyon Gak (edt.)., 1997, The Compass of Zen, 1997, London; Shambala Boston.




[1] Ali, Matius, 2010, FilsafatAsia Selatan (Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme ), Jakarta; Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkam hal. 140-142.
[2] Ali, Filsafat Asia-Selatan, hal. 141.
3 Ali, Filsafat Asia-Selatan, hal. 143.
[4] Ali, Filsafat Asia-selatan, hal. 143.
[5] Rahula, Walpola, "The Eight Path" dalam Radiant Afind. Essential Buddhist Teachings and Text, Jean Smith (edt.), 1999, New York; The Berkley Publishing Group, hal. 90.
[6]Goldstein, Joseph, "Noble Eight Path", dalam Radiant Mind, hal. 92-93.
[7] Goldstein, Joseph., dalam Radiant Mind, hal. 93-94. " Goldstein,
[8] Joseph., dalam Radiant Mind, hal. 94.
[9] Rahula, Walpola, dalam Radiant Mind, hal.87.
[10] Rahula, Walpola, dalam Radiant Mind, hal.87.
[11] Sahn, Seung-Zen Master., "The Eightfold Path", dalam The Compass of Zen, Hyon Gak Sunim (edt.), 1997, London; Shambala Boston, hal. 101.

[12] Shan, Seung-Zen Master, dalam The Compass of Zen, hal. 102.
[13] Rahula, Walpola, dalam Radiant Mind, hal. 87-88.

[14] Shan, Seung-Zen Master, dalam The Compass of Zen, hal.102.
[15] Goldstein, Joseph, dalam RadiantMind, hal.96.
[16] Rahula, Walpola, dalam Radiant Mind, hal. 88.

[17] Gunaratama, Henepola, "Vipassana Meditation", dalam Radiant Mind, hal. 15 1.

[18] Ali, Filsafat Asia Selatan, hal. 144.