Setelah selesai kursus di Universitas Pontificia Salesiana,
saya dan beberapa teman kursus menumpang bus no 80 menuju perhentian
Metropolitana Jonio untuk selanjutnya ke stasiun kereta api Termini. Kali ini
kami sangat beruntung karena, ketika tiba di Jonio, la Metropolitana tiba dengan cepat sehingga kami pun tiba lebih
awal di Termini.
Sebagaimana biasanya saya menyempatkan diri ke toko buku Don
Bosco yang ada di depan stasiun kereta. Kali ini saya ke sana untuk mencari
buku “Il vangelo di Giovanni” yang ditulis oleh Juan Mateos, biblista yang
sangat disukai oleh p. Franco Manganello, konfraterku di Salerno, dan beliau
menganjurkan saya untuk membelinya karena Juan Mateos menerjemahkan secara
sangat objektif injil ini juga memberikan penafsiran yang sangat mendalam.
Sayangnya, di toko buku ini hanya dijual buku injil Markus terjemahan dari
penulis yang sama, dengan harga yang sangat sulit dijangkau. Saya tidak
berhenti lama di toko buku karena sangat capeh berdiri dan saya memutuskan
untuk kembali ke stasiun menanti kereta yang akan berangkat jam 20.53 malam
menuju kota Salerno.
Beralaskan tas jinjingku, saya memilih duduk di lantai di sebuah
sudut yang sangat strategis. Dari sudut ini saya dengan memudah memantau nomor
dan tujuan kereta yang masuk maupun yang pergi, sehingga saya tidak mengalami
kesulitan untuk mengecek kereta yang akan saya tumpangi. Dua tiga meter di
depan dan sampingku orang lalu lalang. Tidak jauh dari sisi kiriku ada sebuah
kantong sampah plastik dan sering sekali orang berhenti memasukkan sampah
sambil sesekali menoleh ke arahku.
Setelah kurang lebih satu jam duduk sambil membaca dua
komentar tentang injil hari Minggu nanti seorang pemuda mengagetkanku dengan
pertanyaan ini, “Scusa, li vuoi?
(Maaf, apakah anda mau ini?)” Spontan saya mengangkat kepala ke arah datangnya
suara dan bilang, “Cosa? (Apa?)” tanpa
memperhatikan apa yang disodorkan kepadaku. “Li
vuoi? (Apakah kamu mau ini?)”tanyanya, seraya menyodorkan lagi dua buah
roti kepadaku. Sambil memandang beliau dan roti yang ditawarkan kepadaku, saya
katakan, “Si, li voglio. Grazie mille!
(Ya, gak apa-apa, saya ambil! Makasih!)” tanpa bisa menepis perasaan aneh nan
kaget gak karuan karena tanpa direncana saya sudah berhasil menunjukkan tampang pengemis
yang lapar.
Ketika sang pemuda pergi, kira-kira berumur 18 tahun, saya
berujar dalam hatiku, “Oh ternyata masih ada anak muda yang masih peduli
terhadap pengemis gadungan ini”. Mendapati dua roti gratis di tanganku, dalam
keadaan yang lapar pula, tentu sangat jarang terjadi. Maka, dengan gratis pula kubiarkan
mereka melewati tenggorokanku yang sejak siang tadi sudah menanti makanan enak.