Rabu, 30 September 2015

Orang asing, nasibmu kini!

Desio e Milano, Sabtu 22 agustus 2015. Seusai sarapan pagi saya berangkat dari komunitas Xaverian di Desio, di mana saya tinggal selama dua minggu untuk melakukan sebuah tugas kecil, menuju kota Milano. Tujuanku adalah rumah suster ALI tempat di mana sr Anna tinggal bersama para suster lainnya.  Saya hendak mengunjungi beliau terutama memanfaatkan ‘mumpung’ jarak yang dekat ini. Saya hanya bermodalkan niat untuk berjumpa dengannya, alamat rumahnya dan HP komunitas yang kupegang.

Sesampainya di stasiun, setelah jalan kaki selama sepuluh menit, saya harus berurusan dengan mesin tiket yang kurang saya pahami karena beli tiketnya harus self service: harus utak atik sendiri mesinnya karena di stasiun ini tidak ada petugas yang menjual tiket. Saya sebenarnya belum begitu percaya diri mengoperasikan mesin tiket karena ketika saya bepergian dengan kereta, saya selalu membeli tiket melalui petugas seperti yang terjadi di stasiun kereta di Parma. Saya tidak kehilangan akal dan saya menggunakan jurus tiru. Saya mondar mandir sebentar di sekitar mesin tiket dan ketika datang orang yang beli tiket saya langsung berbaris di belakangnya dan mengintip bagaimana cara dia mengoperasikan mesin. Setelah dia pergi saya mengulangi apa yang telah dibuat dan saya berhasil. Manjur juga jurusnya tapi tidak dapat kusembunyikan rasa gaptekku. Yah…begitulah nasibnya orang kampung!!!!

Setelah turun dari kereta di stasiun Sesto San Giovanni saya menumpang Metropolitana Rossa menuju Duomo dan dari Duomo saya harus mengganti dan menumpang Metropolitana Gialla ke arah Zara. Dari gerbang ini ke rumah sr Anna saya harus berjalan kaki lagi dan sempat juga tersesat sesaat.

Ketika tiba di sana saya kagum melihat rumah mereka yang indah, tipe khas bangunan Italia, berlantai tiga yang dihuni cuma oleh empat suster. Ada banyak kisah yang kami ceritakan tentang Indonesia karena sr Angela telah berkarya di Mentawai selama lebih dari empatpuluh tahun: beliau mengenal banyak pastor-pastor Xaverian dan bercerita banyak tentang mereka. Perjumpaan hangat ini disempurnakan dengan santap siang bersama berupa nasi goreng tambah kerupuk udang racikan sr Anna disertai insalata campur pomodori ala Italia.

Satu jam kemudian bersama sr Anna kami bergegas ke Stasiun Centrale dengan menumpangi bus nomor empatpuluh dua dan dari sana dengan menumpangi Metropolitana Gialla kami menuju ke Duomo di Milano. Kami mengelilingi katedrale yang telah berusia lebih dari seribu tahun dan mengabdikan moment indah ini dengan jepretan kamera miliknya. Rasa haus karena diterpa sinar mentari yang tajam menunutun kami ke gelateria economica di belakang katedrale. Sebelum akhirnya kami berpisah, kami menyempatkan diri masuk toko sport untuk sekedar melihat harga kostum asli Milan o Inter yang harganya hampir sama dengan gaji sebulan seorang pegawai negeri sipil di Jakarta.

Kunjungan persahabatan ini menyisahkan banyak kenangan : kenangan kronologisnya, lo stare insieme (berada/bercertia bersama) juga kesan kagum atau heran atas apa yang kujumpai dalam perjalanan. Salah satunya ialah kesanku berikut ini.

Dalam perjalananku dari gerbang terakhir metropolitana saya mengalami kesulitan untuk menemukan jalan ke rumah suster. Salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan ini adalah bertanya kepada orang. Orang pertama yang kujumpai adalah seorang ibu, Italiana, yang sedang passeggiata (berjalan) sambil mendorong bayinya dalam kursi bayi. Saya mendekati beliau dan bilang, “Scusi, posso chiederLe una cosa?”. Dia melihatku dengan tatapan sinis dan dengan terburu-buru dia mendorong lebih cepat bayinya tanpa sekatapun keluar dari mulutnya. Rasa heranku tak dapat kupungkiri dan dengan sedikit rasa sesal saya berhenti untuk menoleh dan mengamati sikap apatis atau takut dari ibu muda ini. Dalam hati saya berujar “Beginilah sikapnya orang yang takut terhadap orang asing. Sebuah rasa takut yang tanpa alasan!”

Sore harinya, ketika saya tiba di komunitas, seorang konfraterku menceritakan kejadian yang dialami oleh ibunya saat bertemu orang asing. Sebuah mobil mewah berhenti pas di depan rumah orang tua dari konfraterku ini. Lalu seorang wanita muda turun dan menghampiri ibu dari konfraterku yang sedang menyapu dalam kintal rumahnya. Si wanita muda ini ingin tahu di mana letak apotek terdekat di situ. Si ibu tentu saja ingin membantu dan mulai menjelaskan arah dan jalan yang harus ditempuh untuk sampai ke apotek. Ketika ibu ini sedang menjelaskan, si wanita muda ini merampas kalung berharga darinya dan kemudian melarikan diri. Ternyata, kedua orang asing ini berpura-pura tanya apotek tapi maksud mereka adalah mencuri.

Kisah ibu dari konfraterku ini membuat saya mengerti kenapa ibu muda yang kutanyai takut sama saya, orang asing ini. Ternyata rasa takutnya cukup beralasan meskipun sebenarnya saya punya niat yang tulus untuk bertanya tentang jalan. Pengalaman ini menyadarkanku akan pentingnya memahami situasi orang lain.