Desio e Milano,
Sabtu 22 agustus 2015. Seusai sarapan pagi saya berangkat dari komunitas
Xaverian di Desio, di mana saya tinggal selama dua minggu untuk melakukan
sebuah tugas kecil, menuju kota Milano. Tujuanku adalah rumah suster ALI tempat
di mana sr Anna tinggal bersama para suster lainnya. Saya hendak mengunjungi beliau
terutama memanfaatkan ‘mumpung’ jarak
yang dekat ini. Saya hanya bermodalkan niat untuk berjumpa dengannya, alamat
rumahnya dan HP komunitas yang kupegang.
Sesampainya di stasiun, setelah jalan kaki selama
sepuluh menit, saya harus berurusan dengan mesin tiket yang kurang saya pahami
karena beli tiketnya harus self service:
harus utak atik sendiri mesinnya karena di stasiun ini tidak ada petugas yang
menjual tiket. Saya sebenarnya belum begitu percaya diri mengoperasikan mesin
tiket karena ketika saya bepergian dengan kereta, saya selalu membeli tiket
melalui petugas seperti yang terjadi di stasiun kereta di Parma. Saya tidak
kehilangan akal dan saya menggunakan jurus tiru. Saya mondar mandir sebentar di
sekitar mesin tiket dan ketika datang orang yang beli tiket saya langsung
berbaris di belakangnya dan mengintip bagaimana cara dia mengoperasikan mesin.
Setelah dia pergi saya mengulangi apa yang telah dibuat dan saya berhasil.
Manjur juga jurusnya tapi tidak dapat kusembunyikan rasa gaptekku. Yah…begitulah
nasibnya orang kampung!!!!
Setelah turun
dari kereta di stasiun Sesto San Giovanni saya menumpang Metropolitana Rossa menuju Duomo dan dari Duomo saya harus
mengganti dan menumpang Metropolitana
Gialla ke arah Zara. Dari gerbang ini ke rumah sr Anna saya harus berjalan
kaki lagi dan sempat juga tersesat sesaat.
Ketika tiba di
sana saya kagum melihat rumah mereka yang indah, tipe khas bangunan Italia,
berlantai tiga yang dihuni cuma oleh empat suster. Ada banyak kisah yang kami
ceritakan tentang Indonesia karena sr Angela telah berkarya di Mentawai selama
lebih dari empatpuluh tahun: beliau mengenal banyak pastor-pastor Xaverian dan
bercerita banyak tentang mereka. Perjumpaan hangat ini disempurnakan dengan
santap siang bersama berupa nasi goreng tambah kerupuk udang racikan sr Anna
disertai insalata campur pomodori ala Italia.
Satu jam
kemudian bersama sr Anna kami bergegas ke Stasiun
Centrale dengan menumpangi bus nomor empatpuluh dua dan dari sana dengan
menumpangi Metropolitana Gialla kami
menuju ke Duomo di Milano. Kami
mengelilingi katedrale yang telah
berusia lebih dari seribu tahun dan mengabdikan moment indah ini dengan
jepretan kamera miliknya. Rasa haus karena diterpa sinar mentari yang tajam
menunutun kami ke gelateria economica
di belakang katedrale. Sebelum
akhirnya kami berpisah, kami menyempatkan diri masuk toko sport untuk sekedar melihat harga kostum asli Milan o Inter yang
harganya hampir sama dengan gaji sebulan seorang pegawai negeri sipil di
Jakarta.
Kunjungan
persahabatan ini menyisahkan banyak kenangan : kenangan kronologisnya, lo stare insieme (berada/bercertia
bersama) juga kesan kagum atau heran atas apa yang kujumpai dalam perjalanan.
Salah satunya ialah kesanku berikut ini.
Dalam
perjalananku dari gerbang terakhir metropolitana saya mengalami kesulitan untuk
menemukan jalan ke rumah suster. Salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan
ini adalah bertanya kepada orang. Orang pertama yang kujumpai adalah seorang
ibu, Italiana, yang sedang passeggiata (berjalan) sambil mendorong
bayinya dalam kursi bayi. Saya mendekati beliau dan bilang, “Scusi, posso chiederLe una cosa?”. Dia
melihatku dengan tatapan sinis dan dengan terburu-buru dia mendorong lebih
cepat bayinya tanpa sekatapun keluar dari mulutnya. Rasa heranku tak dapat
kupungkiri dan dengan sedikit rasa sesal saya berhenti untuk menoleh dan
mengamati sikap apatis atau takut dari ibu muda ini. Dalam hati saya
berujar “Beginilah sikapnya orang yang takut terhadap orang asing. Sebuah rasa
takut yang tanpa alasan!”
Sore harinya, ketika saya tiba di komunitas, seorang
konfraterku menceritakan kejadian yang dialami oleh ibunya saat bertemu orang
asing. Sebuah mobil mewah
berhenti pas di depan rumah orang tua dari konfraterku ini. Lalu seorang wanita
muda turun dan menghampiri ibu dari konfraterku yang sedang menyapu dalam
kintal rumahnya. Si wanita muda ini ingin tahu di mana letak apotek terdekat di
situ. Si ibu tentu saja ingin membantu dan mulai menjelaskan arah dan jalan
yang harus ditempuh untuk sampai ke apotek. Ketika ibu ini sedang menjelaskan,
si wanita muda ini merampas kalung berharga darinya dan kemudian melarikan
diri. Ternyata, kedua orang asing ini berpura-pura tanya apotek tapi maksud
mereka adalah mencuri.
Kisah ibu dari
konfraterku ini membuat saya mengerti kenapa ibu muda yang kutanyai takut sama
saya, orang asing ini. Ternyata rasa takutnya cukup beralasan meskipun
sebenarnya saya punya niat yang tulus untuk bertanya tentang jalan. Pengalaman
ini menyadarkanku akan pentingnya memahami situasi orang lain.