Selasa, 24 Juli 2012

Hidup Bahagia ala Buddhisme

1. Pengantar                                                                                                    
Kedelapan jalan kebenaran menurut perspektif Buddhisme dilihat sebagai jalan menuju pembebasan atau pencerahan. Apa yang dimaksud pembebasan atau pencerahan itu? Itu adalah suatu keadaan di mana penderitaan lenyap dan yang ada ialah kebahagiaan tertinggi atau damai abadi.
Intinya ialah kedelapan jalan ini diyakini sebagai jalan menuju ke Nirwana. Nirwana ini juga dipahami sebagai suatu keadaan non-duality. Artinya konsep subyek-obyek dilampaui. Yang tinggal ialah kesatuan. Dalam Nirwana ini seseorang melihat gunung sebagai gunung tanpa dia mengkonstitusikan dengan pikirannya bahwa obyek yang dia lihat adalah gunung.
Perlu ditegaskan bahwa kedelapan jalan ini hanyalah sarana menuju pencerahan atau mencapai suasana kebuddhaan. Kedelapan jalan ini bukan tujuan yang man dicapai atau Nirwana itu sendiri. Pertanyaannya ialah mengapa kedelapan jalan ini begitu penting? Mengapa dengan mengikuti latihan-latihan ini penderitaan dapat dilenyapkan?
Konsep di atas berkaitan dengan perspektif Buddhisme tentang realitas yang tertuang dalam empat kesunyataan mulia.[1] Kesunyataan pertama ialah penderitaan. Buddhisme menegaskan kenyataan yang ada diwarnai dan dihiasi oleh penderitaan. Penderitaan ada karena ke-5 unsur pembentuk kehidupan seperti perasaan, tubuh jasmani, pencerapan, pikiran, dan kesadaran selalu berubah sehingga tidak kekal. Penderitaan ada karena perubahan-perubahan yang tedadi terus-menerus.
Kesunyaatan kedua ialah keinginan (Tanha). Keinginan merupakan sumber utama penderitaan. Keinginan untuk cepat kaya membuat banyak pejabat di negeri ini mengambil sebagian uang rakyat. Akan tetapi hidup dalam penjara menjadi imbalan dari keinginan tersebut. Maka untuk melenyapkan dan bebas dari penderitaan seseorang harus melenyapkan keinginannya (kesunyataan ketiga; melenyapkan penderitaan). Bagaimana caranya untuk melenyapkan keinginan-keinginan manusiawi kita supaya melenyapkan juga penderitaan yang mewarnai hidup kita akan dijawab oleh delapan jalan utama sebagai kesunyataan keempat. Jadi, kedelapan jalan utama atau mulia dalam Buddhisme perlu dimengerti dan ditempatkan dalam kerangka membebaskan seseorang dari penderitaan alias menuju Nirwana.
2. Delapan jalan utama
Delapan jalan utama yang dimaksud ialah pengertian yang benar, pikiran yang benar, bicara yang benar, perbuatan yang benar, penghidupan yang benar, usaha yang benar, perhatian yang benar dan konsentrasi yang benar.[2] Kedelapan jalan utama ini kemudian dikategorikan dalam tiga kategon' yaitu Panna (Kebijaksanaan tertinggi), Sila (Moralitas), dan Samadhi (konsentrasi atau kontemplasi).
Pertama, Panna (kebijaksanaan tertinggi). Parma ini memungkinkan seseorang mengerti kenyataan, apa adanya penderitaan, apa adanya pelenyapan penderitaan dan bagaiman cara untuk melenyapkan pendentaan.[3] Artinya dengan Panna seseorang dapat mengerti apa itu empat kesunyataan mulia berikut dinamikanya. Pengertian dan pikiran yang benar adalah dua jalan yang termasuk kategori Panna.
Kedua, Sila atau Moralitas. Sila ialah keadaan dari gerak-geriknya batin yang menjelma dan perbuatan yang benar dan perkalaan yang benar. Sila adalah kesadaran Yang terang dan kemauan yang terkendali berdasarkan pads pikiran dan batin yang luhur.[4] Artinya moralitas seseorang dilihat pada kesesuaian gerak batin atau pikirannya dengan perbuatannya. Tujuan dari Sila ialah menciptakan dan memajukan kehidupan yang damai dan harmonis bagi individu. Berbicara, bertindak, dan hidup yang benar adalan bagian dari Sila.
Ketiga, Samadhi. Samadhi ialah usaha membersihkan dan mengendalikan pikiran kite. Tujuannya ialah melepaskan seseorang dari kendali nafsu-nafsu juga dari karma-karma buruk sehingga dapat masuk ke tahap Jhana (Wisdom). Usaha, perhatian, dan konsentrasi yang benar adalah bagian dari Samadhi.
Berikut ini saya memaparkan gagasan pokok dari setiap jalan utama untuk mengalami Nirwana.

a. Pengertian yang benar
Pengertian yang benar ialah pemahaman mengenai bends-bends sebagaimana adanya bends tersebut.[5] Hal ini mencoba memahami dan melihat realitas bahkan cara kerja realitas yang sebenarnya. Artinya pengertian yang benar berusaha memahami atau melihat kursi sebagai kursi, berusaha menangkap apa adanya pensil yang terletak di atas meja belajarku. Kemampuan untuk mengidentifikasi obyek ini murni seperti yang tampak oleh indera-inderaku tanpa intervensi intelektual yang tidak dikonstitusikan oleh pikiranku. Ada usaha untuk menangkap realitas sesungguhnya.
Ruang lingkup pengertian yang benar ini meliputi pemahaman tentang hukum alamiah yang disebut karma, tentang tanggung jawab kita terhadap orang tua, dan tentang pemahaman mendalam mengenal realitas diri.[6]  Hal yang dapat dikatakan tentang karma ialah setiap tindakan manusia pasti menghasilkan akibat-akibat tertentu. Tindakan yang baik seperti berkata jujur tentu menghasilkan kelegaan dalam diri orang itu bahkan dia bahagia. Dia tidak perlu cemas mencari alasan­alasan tertentu untuk- membela dirinya. Sebaliknya, tindakan-tindakan buruk dan jahat menghasilkan rasa tidak nyaman dan terancam Hidup orang ini tidak akan bahagia dan dalam konteks ini penderitaan menguasai hidupnya.
Pengertian yang benar juga berlaku dalam relasiku dengan orang tua. Sudan menjadi kewajiban orang tua untuk memelihara dan membesarkan kita saat kita masih kecil, saat belum mandiri. Sebaliknya, ketika kita dewasa kita wajib memelihara orang tua. Ini yang disebut Dharma dalam Buddhisme.
Pengertian yang benar yang lebih mendalam ialah kesadaran tentang ketidakkekalan hidup. Ketidakkekalan melihat segala hal yang ada pada dasamya adalah sementara. Manusla lahir, tumbuh berkembang, menjadi tua dan akhirnya mati. Nafas yang kita hirup juga akan dihembuskan. Segala yang ada senantiasa berproses atau menjadi dan tidak ada yan abadl kecuali perubahan itu sendiri.
Kemampuan manusia menyadari soal ketidakkekalan ini memungkinkannya bersikap lepas bebas dan penderitaan mulai lenyap di situ. Karena, manusia akan berhenti bersikap rakus dan menolak mengumpulkan banyak harta bagi diri sendiri. Ketika seseorang bebas dari hedonisme dan konsumerisme, hidupnya akan bahagia dan mampu menghargai pluralitas.
Intinya ialah pemahaman yang jelas dan mendalam soal karma, dharma dan impermanensi hidup memampukan kita untuk menikmati kebahaglaan. Dari situ dia akan dapat hidup, berpikir dan bertindak secara benar. Orang yang menyadari pengertian yang benar dan hidup menurutnya disebut sebagai orang yang bervidya, orang berpengetahuan.
b.         Pikiran yang benar
Pikiran yang benar ialah pikiran yang bebas dari keinginan-keinginan nafsu, niat jahat maupun bebas dari kekejaman. Pikiran yang benar berarti menyadari berbagai keinginan-keinginanku dan membiarkan keinginan-keinginan  tersebut lenyap. Hal ini tidak berarti bahwa kita menekan atau mengekang keinginan-keinginan dan menyangkal keberadaanya.[7] Sikap-sikap itu tidak konstruktif dengan realitas diri manusia sebab bagaimanapun keinginan-keinginan tersebut konstitutif dengan diri manusiawi kita.
Sikap yang tepat ialah menyadari kecenderungan-kecenderungan tersebut dan tidak serta merta memenuhi atau menuruti segala yang dituntutnya. Intinya ialah nafsu dan keinginan lain diakui keberadannya tetapi saya tidak membiarkan diriku dikuasai oleh hal-hal tersebut.
Bebas dari pikiran jahat berarti bebas dari kemarahan.[8] Kita perlu menerima dan mengakui rasa marah yang muncul dan kemudian membiarkannya pergi atau lenyap. Artinya saya tidak perlu dikendalikan oleh rasa marah tersebut. Sebaliknya saya perlu menguasai diri dan situasiku dengan mengendalikan hal-hal tersebut secarai efektif dan konstruktif. Sebagai gantinya saya perlu mengedepankan sikap empati baik bagi diriku sendiri maupun orang lain. Di situ saya membuat diriku  bahagia juga demikian kepada orang lain.
c.  Bicara yang benar
Bicara yang benar berarti menghindarkan diri dari atau absen dari kebohongan, pembicaraan yang bernuansa pencemaran atau kebencian, dari sesuatu yang menjijikan.[9] Seseorang harus membebaskan diri dari pembicaraan yang palsu, penghinaan dan yang menjijikan demi kebahagiaanku dan sesama. Jika tidak demikian, saya mendatangkan keburukan kepada orang lain. Penghinaan yang kulontarkan dan kebohongan akan membuat orang lain terbebani dan sakit hati. Saya sebagai pelaku juga tentu terganggu karena akan tercipta ketidakharmonisan relasiku dengan orang lain. Dalam konteks ini saya mendatangkan penderitaan bagi orang lain dan juga buat diriku sendiri.
Sebaliknya, saya perlu bersikap jujur dan berbicara benar tentang kebenaran. Hal ini perlu diekpresikan secara benar dan santun sehingga mendatangkan kebaikan bagi semua. Bahkan seseorang perlu berbicara seperlunya saja pada tempat dan oamg yang tepat. Lebih baik diam atau tutup mulut dari pada menyebarkan kebohongan dan kebencian yang merusak relasi.[10] Buddhisme Hinayana melihat jalan berbicara benar ini sebagai suatu sikap untuk waspada dan hati-hati pada apa yang dilakukan oleh lida.[11] Artinya seseorang perlu berbicara demi menciptakan kebenaran dan kebaikan buat orang yang mendengamya,
d. Perbuatan yang benar
Perbuatan yang benar berarti menyadari dan merasakan bagaimana akibat dari perbuatan kita terhadap sesama ciptaan lain.[12] Hal ini mengandaikan kita mempunyai kepekaan terhadap akibat perbuatan kita terhadap sesama yang terkena akibat sikap dan perilaku kita. Ketika kita merasa niat dan perbuatan kita pantas dilakukan, sebaiknva kita melakukannya. Sebaliknya, ketika kita merasa perbuatan yang akan kita lakukan mendatangkan keburukan bagi sesama, sebaiknya dihentikan tanpa menunggu reaksi atau penolakan dari sesama.
Di samping itu hal ini bertendensi memajukan moralitas dan mendorong tindakan-tindakan terpuji. Tindakan terpuji ini dimengerti sebagai pengalpaan kita dari tindakan pembunuhan atau pemusnahan kemungkinan untuk hidup sesama ciptaan, membebaskan diri dari pencurian, kebohongan termasuk juga hubungan seksual yang tidak wajar.[13]
Secara positif bertindak benar berarti bertindak dan bersikap pro-life. Artinya saya perlu bersikap invitatif-konstrukfif dalam arti mampu menggugah dan mengarahkan sesama pada jalan yang benar dan baik, mengarah pada terciptanya suasana damai bagi semua. Misalnya saya perlu berhenti saat lampu merah menyala, perlu membayar pajak dan uang pajak tersebut dipergunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur transportasi maupun pendidikan. Sikap itu bernilai positif dan berorientasi pada hidup daripada mengorupsinya yang menyengsarakan hidup orang lain.
e. Penghidupan yang benar
Secara negatif penghidupan yang benar dirumuskan sebagai upaya menghindari perilaku dan cara hidup yang dapat mencelakakan dan merugikan sesama. Misalnya ialah menghindari perang, tidak melakukan penjualan senjata dan obat-obat terlarang, menghindari pembunuhan binatang dan menghindari tindakan-tindakan jahat lainnya.
Secara positif hal ini dimengerti sebagai cara hidup yang mengutamakan keadaan damai sehingga liveable untuk semua. Upaya penghindaran tetap dimengerti sebagai upaya menolak penderitaan. Dengan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan ini dapat diharapkan terciptannya kedamaian dan kerukunan hidup bersama.
Buddhisme Hinayana melihat jalan penghidupan yang benar ini sebagai sebuah pekerjaan.[14] Dikatakan bahwa setiap orang mempunyai dua pekerjaan yaitu pertama, kerja internal. Fokusnya ialah bagaimana seseorang menjemihkan pikirannya. Kedua, pekerjaan eksternal yaitu usaha seseorang dalam melenyapkan kecenderungan egoisme atau pendewaan diri sendiri dan mengusahakan yang terbaik bagi orang lain. Dalam konteks ini, menghindari pengedaran obat terlarang dan senjata, perang, dan pembunuhan adalah usaha untuk menciptakan suatu keadaan yang pantas untuk dihuni oleh manusia dan makluk lainnya secara berdampingan. Situasi itu menghadirkan kebahagiaan tertentu.
 f. Usaha yang benar
Usaha yang benar digambarkan seperti orang yang mau mendaki puncak gunung.[15] Puncak gunung tidak akan kugapai ketika saya hanva membayangkannya sambil duduk-duduk di kaki gunung itu. Di sini, usaha dipahami sebagai tindakan mewujudkan cita-cita tersebut. Oleh karena itu saya perlu mulai mendaki dan berjalan menuju puncak tersebut. Yang perlu diperhatikan ialah usahaku menggapai cita-citaku kusesuaikan dengan kemampuanku.
Hal ini juga dapat dilihat sebagai suatu kehendak yang berdaya guna[16] untuk mencegah keinginan jahat yang kupikirkan dan menghilangkan niat jahat yang lama kupendarn Dalam konteks ini perubahan sikap sangat dibutuhkan; dari niat jahat menjadi berbuat baik. Secara positif, usaha yang benar adalah energi yang kuat untuk membangkitkan niat baik dalam diriku dan juga mengembangkan serta menyempurnakan bakat-bakat positif yang kumiliki. Hal yang diutamakan di sini ialah kemauan dan kesediaan untuk memberdayakan dan menyempurnakan potensi yang ada demi diri dan kebaikan sesama.
Secara kongkret, usaha yang benar perlu memampukanku untuk menghilangkan niat balas dendamku terhadap tetanggaku yang meracuni ibuku dulu. Usaha yang benar juga perlu membebaskanku dari niat mengambil uang basil kerasulan untuk kepentinganku sendiri dan sebaliknya menyerahkannya kepada rektor untuk dimanfaatkan demi semua anggota komunitas. Secara positif hal ini juga berlaku ketika saya dengan kemampuanku mampu memberdayakan orang lain. Misalnya saya mampu menjahit sepatu yang rusak. Potensiku ini perlu kuajarkan kepada teman lain sehingga mereka juga mampu memperbaiki sepatu mereka sendiri.
g. Perhatian yang benar
Perhatian yang benar ialah usaha memberi perhatian khusus pada hal-hal tertentu yang dianggap dapat membantu. Fokus dari usaha ini ialah membangkitkan kesadaran penuh pada diriku dan aktivitas-aktivitasku.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati dan menyadari apa yang kurasakan, kupikirkan, kualami oleh tubuhku dan jiwaku. Saya perlu terlibat aktif dan mengalami segala yang terjadi padaku. Bila perlu saya mengamati naik turunnya perasaanku dan muncul-hilangnya ide-ideku- Intinya ialah saya mengetahui dan menyadari dinamika kerja diriku: pikiranku, perasaanku, dan aktivitas diriku, saya bahkan perlu tahu dan mereasakan gerak nafasku. Dengan ini saya dapat menyadari dan akhirnya dapat mengerti kenyataan sesungguhnya.
Dengan kesadaran ini saya bisa memahami apa yang abadi, apa yang utama dalam hidupku dan mengupayakan nilal-nilal tersebut hidup membawaku pada pembebasan. Sebab kebodohan adalah jalan menuju karma buruk.
h. Konsentrasi yang benar
Konsentrasi yang benar ialah kemampuan pikiran manusia untuk tetap fokus pada sebuah obyek tertentu. Ini adalah suatu kemampuan untuk melihat obyek apa adanya dia tidak berdasarkan konstitusi pikiranku bahwa itu adalah suatu obyek yang kuamati.
Dalam Theravada konsentrasi merupakan kata lain dan Samatha.[17] Samatha ialah keadaan pikiran yang diarahkan untuk fokus hanya pada satu obyek dengan maksud mencapai kesadaran. Caranya ialah dengan mendengar sungguh apa yang kudengar, atau menyentuh sunggu-sungguh apa yang kupegang. Intinya ialah ada usaha menginderai obyek apa adanya dia. Samatha ialah keadaan pikiran yang tidak dapat digoncangkan, tenang, aman, damai dan nyala.[18]
Konsentrasi sangat dibutuhkan di sini. Memperhatikan cara kita bernafas sangat efektif membantu mencapai konsentrasi karena nafas selalu menjadi bagian hidup kita sepanjang hayat masih dikandung badan atau karena nafas merupakan sesuatu yang dialami tanpa perlu dipikirkan. Dengan fokus pada nafas, di mana pun seseorang berada dia dapat belajar berkonsentrasi bahkan di jalan raya yang bising sekalipun.
Pada tahap ini pikiran tentang rasa lelah, ragu-ragu, pikiran buruk, kegelisahan terlenyapkan atau hilang. Sebagai gantinya ada rasa senang, sukacita, kegembiraan. Hal-hal ini mewarnai diri seseorang ketika memasuki tahap ini.
3.  Penutup
a. Kesimpulan
Kedelapan jalan utama ini adalah jalan Buddhisme untuk melenyapkan penderitaan. Keinginan sebagai akar penderitaan adalah musuh yang perlu dilenyapkan. Keinginan  ini praktisnya dapat dilenyapkan melalui jalan Panna, Sila, dan Samadhi.
Orang yang mengetahui (Panna) sungguh-sungguh apa yang abadi dari yang sementara dapat mengarahkan keinginannya terhadap yang abadi dan baik. Sebaliknya, ia dapat menahan diri dan keinginannya dari hal-hal buruk dan sementara. Dengan Sila yaitu dengan menyelaraskan apa yang dipikirkan dan melakukannya ia dapat meningkatkan karma baiknya dan mengurangi karma buruknya. Dengan Samadhi, seseorang dibawa pada keadaan non-duality yaitu kesatuan. Di situlah la melihat gunung sebagai gunung.
b. Tanggapan
Saya melihat kedelapan jalan ini bernilai positif sekaligus komprehensif. Nilai-nilai ini dapat diamati pada tujuan yang mau dicapai yaitu menghendaki terwujudnya situasi bonum commune, kebaikan bersama. Perlu diakui bahwa kedelapan jalan ini merupakan disiplin hidup personal dan tampaknya dilakukan secara personal tetapi mampu memberi kontribusi positif untuk komunitas masyarakat. Menghindari perkataan bohong, dari pencurian, dari perang, dll adalah tindakan-tindakan personal yang menciptakan damai bagi banyak orang.
Secara antropologis, kedelapan jalan ini cukup representatif sifatnya. Ketiga kategori yaitu Panna, Sila, dan Samadhi merupakan sesuatu yang integral dengan diri manusia. Dengan mengikuti kedelapan jalan ini, ada jaminan bahwa seseorang dapat mengembangkan dirinya menjadi manusia utuh. Dengan kata lain, kedelapan jalan ini bisa dilihat atau diyakini sebagai filosofi hidup manusia untuk menemukan siapa dirinya.

Daftar Pustaka
Ali, Matins, 2010, Filsafat Asia Selatan (Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme ), Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Smith, Jean (edt.)., 1999, Radiant Mind. Essential Buddhist Teachings and Text, New York; The Berkley Publishing Group.
Sonia), Hyon Gak (edt.)., 1997, The Compass of Zen, 1997, London; Shambala Boston.




[1] Ali, Matius, 2010, FilsafatAsia Selatan (Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme ), Jakarta; Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkam hal. 140-142.
[2] Ali, Filsafat Asia-Selatan, hal. 141.
3 Ali, Filsafat Asia-Selatan, hal. 143.
[4] Ali, Filsafat Asia-selatan, hal. 143.
[5] Rahula, Walpola, "The Eight Path" dalam Radiant Afind. Essential Buddhist Teachings and Text, Jean Smith (edt.), 1999, New York; The Berkley Publishing Group, hal. 90.
[6]Goldstein, Joseph, "Noble Eight Path", dalam Radiant Mind, hal. 92-93.
[7] Goldstein, Joseph., dalam Radiant Mind, hal. 93-94. " Goldstein,
[8] Joseph., dalam Radiant Mind, hal. 94.
[9] Rahula, Walpola, dalam Radiant Mind, hal.87.
[10] Rahula, Walpola, dalam Radiant Mind, hal.87.
[11] Sahn, Seung-Zen Master., "The Eightfold Path", dalam The Compass of Zen, Hyon Gak Sunim (edt.), 1997, London; Shambala Boston, hal. 101.

[12] Shan, Seung-Zen Master, dalam The Compass of Zen, hal. 102.
[13] Rahula, Walpola, dalam Radiant Mind, hal. 87-88.

[14] Shan, Seung-Zen Master, dalam The Compass of Zen, hal.102.
[15] Goldstein, Joseph, dalam RadiantMind, hal.96.
[16] Rahula, Walpola, dalam Radiant Mind, hal. 88.

[17] Gunaratama, Henepola, "Vipassana Meditation", dalam Radiant Mind, hal. 15 1.

[18] Ali, Filsafat Asia Selatan, hal. 144.

Senin, 23 Juli 2012

Menjembatani Relasi Manusia dengan Yang Ilahi Menurut Orang Dawan

Pengantar
Orang Dawan[2] melihat dan menyakini manusia selalu bersifat relasional. Manusia membutu'hkan yang lain dalam hidupnya.
Relasionalitas manusia ini terjalin baik kepada yang ilahi atau realitas metaempiris (relasi vertikal) dan kepada sesama manusia (horisontal). Manusia bergantung kepada yang ilahi karena manusia berasal dari yang ilahi. Manusia juga senantiasa berelasi dengan sesama manusia. Relasionalitas horisontal ini dalam kultur Dawan dipengaruhi oleh pola relasi kosmis. Konsep bipolaritas kosmis sangat kuat dalam kultur Dawan ini ditemui dalam relasi "feto-mone" (jantan-betina; pria-wanita), "be'i-na-i" (kakek-nenek), dll. Artinya, seseorang ada selalu karena ada pasanganya. Pertanyaanya dalam konteks ini ialah, "Bagaimana relasi manusia dengan yang ilahi terjalin? Apa atau siapa yang menjembatani relasi tersebut? ".
Bandingkan misalnya dengan kristianitas. Kristianitas mengakui Allah mempunyai sifat yang berbeda dari kualitas manusia. Kualitas Allah jauh lebih lebih unggul bahkan dikatakan mahaunggul atas kualitas manusia. Bagaimana memjembatani relasi Allah dan manusia ini? Jawabannya ialah wahyu Allah sebagai perantara relasi tersebut. Yesus Kristus adalah perantara Allah dan manusia. Maka, inkarnasi dipahami sebagai peristiwa Allah menjadi manusia sekaligus manusia diilahikan dalam dan melalui Yesus Kristus. Maka, ketika seseorang menghidupi dan meneladani cara hidup Yesus, dia sudah berelasi dengan Allah bahkan sudah mulai mengalami kualitas diri Allah. Relasi kekristenan adalah relasi dengan pribadi Yesus Kristus. Dalam konteks semacam ini, bagaimana relasi yang ilahi dan manusia terjalin dari perspektif agama lokal Dawan adalah hal yang mau ditunjukkan dalam tulisan ini.
Yang ilahi dan Manusia
a. Siapa Yang Ilahi
1.      Uis Neno
Lanur[3] menegaskan bahwa Uis Neno adalah nama wujud tertinggi atau yang ilahi yang diakui dan diyakini oleh orang Dawan. Mereka meyakininya sebagai wujud tertinggi yang mempunyai peranan sentral bagi eksistensi mereka. Hal ini berkaitan dengan keyakinan mereka bahwa manusia diciptakan justru oleh Uis Neno.
Identifikasi Uis Neno sebagai wujud tertinggi atau yang ilahi tidak terlepas dari kultur sosial politik masyarakat Dawan. Term Uis Neno terdiri atas 2 kata yaitu "Uis" dan "Neno". "Uis" berarti tuan, raja. Gelar ini dalam konteks mereka adalah gelar bagi bangsawan pria yang tentunya punya kedudukan tinggi dalam masyarakat dan karena itu sangat dihormati. Term "Neno" berarti hari, matahari, dan langit. Maka, secara etimologis "Uis Neno" berarti raja matahari, raja langit atau penguasa matahari.
Identifikasi ini perlu dimengerti secara simbolis bukan kosmis. Term matahari, langit misalnya bukan berarti matahari, langit yang kita mengerti dalam arti biasa. Karena itu term matahari bukanlah personifikasi dari yang tertinggi itu. Namun sebaliknya harus dipahami dan ditafsirkan sebagai term simbolis untuk menyapa wujud tertinggi, yang tidak terselami oleh pikiran manusia. Jadi, Uis Neno adalah sapaan orang Dawan untuk menyapa realitas tertinggi yang diyakini punya kekuatan, punya otoritas atas manusia karena itu manusia perlu menghargainya, menghormatinya dan taat padanya. Jadi, yang ilahi atau wujud tertinggi diidentifikasi sebagai Uis Neno dalam kultur Dawan.
Selain Uis Neno, roh leluhur yang disebut Bei-Nai juga diakui dan diyakini punya pengaruh besar dalam hidup masyarakat suku Dawan. Bei-nai mampu melindungi dan memelihara anggota keluarga yang masih hidup bahkan Bei-nai dijadikan pengantara yang baik manusia kepada Uis Neno.
2.      Uis Neno Mnanu dan Uis Neno Pala
Uis Neno Mnanu adalah Tuhan Allah Tinggi, penguasa langit. Ia diidentifikasi dengan matahari, sumber terang. Ia diyakini sebagai sumber cahaya yang bernyala-nyala dan juga pencipta clan penopang hidup mereka. Uis Neno Pala ialah Tuhan Allah Rendah, Tuhan Allah Bumi (Uis Pah). la berperan sebagai pemberi kesejukan, kenyamanan, dan kesejahteraan. Uis Neno Mnanu tetap berbeda dari Uis Neno Pala.
3.      Relasi Uis Neno Mnanu dan Uis Neno Pala
Relasi keduanya diidentifikasi sebagai relasi feto-mone. Term feto-mone berarti betina-jantan; wanita-pria. Feto adalah term simbolis betina atau wanita bagi Uis Neno Pala. Mone adalah term simbolis untuk jantan atau pria dari Uis Neno Mnanu. Identifikasi wanita-pria, betina-jantan terhadap realitas tertinggi bukan berarti identifikasi persona yang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan.
Identifikasi feto-mone perlu dimengerti dalam arti analogis-metaforis. Tujuannya ialah untuk menggambarkan relasi wujud tertinggi. Melalui Uis Neno Mnanu (jantan atau mone) mengalirlah kesuburan yang menghidupkan. Artinya Uis Neno Mnanu diyakini sebagai pemberi hidup, pencipta, penopang hidup manusia. Term feto atau wanita diyakini sebagai yang berperan melindungi dan memelihara kehidupan. Rahim feto atau wanita adalah tempat yang aman untuk suatu kehidupan barn.
Relasi Uis Neno Mnanu dan Uis Neno Pala adalah bahwa Uis Neno Mnanu (pria) memberi kesuburan yang menghidupkan kepada orang Dawan melalui rahim feto dari Uis Neno Pala. Sumber hidup orang Dawan justru berasal atau dianugerahkan oleh realitas tetinggi. Oleh karena itu, manusia perlu mengandalkannya dan tentunya harus taat padanya. Bukti ketergantungan mereka ialah dengan melakukan ritual-ritual yang memungkinkan sumber penghidupan tetap dianugerahkan oleh wujud tertinggi ini kepada mereka. Jadi, relasi keduanya bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia.
b. Siapa Manusia
Orang Dawan menyakini bahwa manusia sebagaimana, langit dan bumi diciptakan oleh Uis Neno. Manusia diciptakan justru atas kerjasama Uis Neno Mnanu dan Uis Neno Pala. Mite Neno Nima menjelaskan bagaimana alam semesta termasuk manusia diciptakan. Penciptaaan manusia terjadi seperti ini bahwa Koko (seekor ular besar) menetap pada sebuah pohon di bumi. Koko dianggap sebagai penguasa bumi (Uis Pah). Suatau ketika saat ular besar ini ini keluar dari sarangnya, datanglah seekor rusa menempati pohon tempat ular tinggal. Lantas, ular memakannya dan meninggalkan hanya kepala dan kulitnya. Tidak lama kemudian sebuah 'benda asing' keluar dari hidung rusa itu tanpa lengan, kaki, dan tangan. Atas kehendak Uis Neno benda itu dibiarkan hidup selama 5 hari. Benda itu kemudian berubah menjadi manusia tanpa nafas. Uis Neno kemudian menghembusinya nafas sehingga dapat hidup dan diberi nama Lasa. Kemudian Uis Neno menciptakan seorang wanita dari tulang rusuk Pah Tuaf untuk dijadikan istri Lasa. Uis Neno Mnanu dan Uis Neno Pala (Uis Pah, Pah Tuaf) bekerjasama menciptakan manusia.
Hal yang mau dikatakan dari mite ini ialah alam semesta termasuk manusia berasal dari suatu kekuatan metaempiris yang melampui kekuatan manusia. Di hadapan kekuatan ini, manusia tidak berdaya. Berhadapan dengannya, manusia perlu taat, takut, pasrah. Jelaslah bahwa wujud tertinggi adalah pihak yang menghadirkan manusia ke bumi.
Selain diciptakan oleh wujud tertinggi, manusia menurut orang Dawan terbentuk oleh badan dan jiwa. Badan atau unsur ragawi disebut "aof' berasal dari kata "au" yang berarti saaya. Aof ini menyatakan keseluruhan diri manusia dan aof dapat mati. Jiwa atau "smanaf' adalah unsur dalam, prinsip hidup, unsur inti dan keselamatan manusia. Unsur ini tidak akan mati ketika aof atau tubuh ragawi mati. Smanaf akan kembali menuju Uis Neno saat tubuh ragawi mati.
Dengan demikian, manusia berasal dari yang ilahi dan akan kembali ke yang ilahi (Uis Neno). Konsekuensinya ialah manusia tidak bisa melepaskan diri darinya. Dengan kata lain manusia perlu berelasi dengan yang ilahi itu. Kultur Dawan sendiri menunjukan bahwa manusia bersifat relasional. Artinya keberadaan manusia tidak bisa tunggal, terpisah dari yang lain. Manusia harus selalu berkaitan dengan yang lain baik yang sifatnya horisontal maupun yang vertikal. Lantas, bagaimana menjembatani relasi yang ilahi denngan manusia, ciptaanya?
Bagaimana menjembatani relasi yang ilahi dan manusia?
Orang Dawan membutuhkan perantara untuk menghubungkan relasi manusia dengan yang ilahi. Perantara ini sangat penting karena kualitas yang tertinggi atau yang ilahi itu jauh berbeda dengan kualitas/sifat manusia. Ini berkaitan dengan keyakinan bahwa yang ilahi itu mempunyai kualitas "Le'u" yang berarti keramat, sakral, kudus, agung, mulia, penuh daya sehingga ia tidak dapat didekati secara langsung oleh manusia. Manusia perlu mengandalkanya dan tunduk padanya. Jadi, perantara ini memungkinkan manusia berelasi, mendekati yang ilahi tersebut.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ketergantungan relasional manusia terhadap yang ilahi disimbolkan oleh apa yang mereka yakini sebagai Uma Le'u (Rumah Adat) termasuk Ni Ainafnya (tiang inti), dan Hau Teas. Dengan melakukan ritual tertentu atau berhadapan dengan simbol-simbol ini, mereka merasa sedang menghubungkan diri dengan realitas adikodrati. Artinya ialah mereka mengungkapkan ketergantungnan mereka justru melalui simbol-simbol ini. Berikut ini penulis akan menjelaskan makna simbolis religius dari hal-hal tersebut meski sebenarntya makna antropologis juga termuat dalam simbol-simbol tersebut. Fokusku ialah makna religius untuk menjembatani kerinduan relasional mereka terhadap yang ilahi.
a.  Leluhur (Bei-nai)
Leluhur dianggap sebagai mediator utama relasi manusia dengan Uis Neno. Leluhur bahkan dianggap sebagai pelinclung clan pemelihara hidup bagi anggota suku yang masih hidup.
b.      Rumah Adat (Uem Le'u)
Rumah Adat sangat penting bahkan dianggap pusat hidup mereka. Karena, rumah adat mempunyai nilai religius dan antropologis. Nilai antropologisnya disimbolkan oleh sebuah batu kecil yang ditaruh di bawah tiang agung untuk setiap anggota suku baru yang lahir atau masuk. Jumlah batu kecil yang terdapat dalam rumah adat mewakili jumlah anggota-anggota suku yang masih menjadi bagian dari suku itu.
Nilai religiusnya terletak pada keyakinan orang Dawan yang melihat rumah adat sebagai tempat pertemuan antara manusia dengan Uis Neno dan leluhur. Rumah adat menjadi tempat perjumpaan antara kekuatan yang tak kelihatan atau metaempiris atau adikodrati dengan manusia. Atas dasar ini rumah adat dianggap tempat atau rumah kudus, sakral, kramat (Uem Le'u). Kehadiran yang ilahi memungkinkan keberlangsungan hidup manusia dan untuk menopang hidup mereka.
Ni Ainaf (tiang inti) yang ada di tengah atau pusat rumah adat diyakini sebagai sarana penghubung antrara Uis Neno (yang ilahi), leluhur, dan manusia. Oleh karena keyakinan ini, orang Dawan melakukan doa, ritual, dan meletakan persembahan di sekitar Ni Ainaf. Bahkan dikatakan juga bahwa segala Le'u (benda keramat) yang digantungkan pada tiang ini merupakan simbol berkat, rahmat, damai sejahtera Uis Neno dan leluhur yang dibutuhkan oleh anggota keluarga suku. Dengan ini mau dikatakan bahwa Ni Ainaf menjadi simbol di mana manusia memperoleh berkat, rahmat dan damai sejahtera tanda kehadiran Uis Neno.
c.                Tiang bercabang (Hau Teas )
Hau Teas adalah pohon bercabang tiga yang ditanam di tengah kampung di depan rumah adat suku Dawan. Secara etimologis, term Hau Teas berasal dari 2 kata Dawan; Hau atau Haub yang berarti kayu, pohon; dan Teas yang berarti teras, inti, penopang. Jadi, Hau Teas berarti pohon inti yang kuat sebagai penopang hidup mereka. Dengan arti lain dapat dikatakan bahwa Hau Teas adalah simbol yang merujuk pada sesuatu yang menjadi penopang hidup mereka.
Hau Teas mempresentasikan kehadiran Uis Neno Mnanu, Uis Neno Pala, dan Bei-nai (leluhur). Ketiga cabang dari kayu inti ini memiliki ukuran yang berbeda sesuai dengan maknanya masing-masing. Cabang yang lebih tinggi atau panjang ukurannya melambangkan kehadiran Uis Neno Mnanu, Allah langit atau Allah tinggi. Cabang yang lebih rendah atau pendek ukurannaya mempresentasikan kehadiran Uis Neno Pala, Allah bumi. Sedangkan, cabang yang terpendek melambangkan kehadiran leluhur. Di bawah pohon ini juga tersedia 3 batu ceper tempat meletakan persembahan untuk ketiga kekuatan adikodrati yang mereka yakini hadir. Jadi, Hau Teas adalah simbol kehadiran dan keterlibatan yang ilahi atau realitas adikodrati dalam hidup mereka.
Akibatnya ialah Hau Teas dari segi manusia menjadi sarana komunikasi manusia dengan Uis Neno dan leluhur. Mereka menerima clan mengalami kehadiran yang ilahi ketika berada dalam rumah adat dan melakukan ritual sebagaimana yang mereka yakini. Dengan demikian, ritual, doa, persembahan yang diadakan di sekitarnya dilihat sebagai ungkapan relasional manusia kepada yang adikodrati; entah untuk menyatakan ketergantungan, hormat juga permohonan mereka kepada yang ilahi dan leluhur.
Kesimpulan
Roh leluhur menjadi perantara relasi antara manusia dengan yang ilahi. Bahkan leluhur diyakini selain sebagai perantara kepada yang ilahi tetapi juga sebagai pelindung dan pemelihara hidup anggota suku yang hidup.
Selain itu, rumah adat termasuk Ni Ainafnya serta Hau Teas adalah simbol yang menjembatani relasi antara yang ilahi dan manusia. Saat berada dalam rumah adat, mereka merasa berdialog, bertemu, bahkan berada bersama yang ilahi dan leluhur. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa ritual di sekitar Ni Ainaf memampukan mereka untuk merasakan dan memperoleh rahmat, berkat dari Uis Neno dan leluhur. Begitu juga dengan Hau Teas sebagai simbol kehadiran Uis Neno Mnanu, Uis Neno Pala dan leluhur dalam hidup mereka. Realitas metaempiris tersebut hadir untuk menopang hidup mereka. Oleh karena itu sepantasnya mereka menghargai dan menanggapinya dengan berdoa, melakukan ritual clan memberi persembahan. Tindakan-tindakan tersebut menjadi ekspresi relasional-komunikatif manusia dengan yang ilahi dan leluhur.

Daftar Pustaka
Lanur, Alex, 1999, Manusia dan Kebudayaan II.- Agama-agama di Indonesia, Jakarta: STF Driyarkara (Silabus Kuliah untuk tahun ajaran 1999/2000).





[1] Tulisan ini merupakan tugas kuliah Agama-agama lokal saat kuliah semester VI (Juni 2010) di STF Driyarkara, Jakarta. 
[2] Suku Dawan adalah suku asli yang tinggal di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Timor Barat, NTT.
[3] Lanur, Alex, 1999, Manusia dan Kebudayaan II. Agama-agama di Indonesia, Jakarta: STF Driyarkara (Silabus Kuliah 1999/2000). Bahan utama tulisan ini berasal dari tulisan Prof. Dr. Alex Lanur ini.