Sabtu, 16 September 2017

Bertambahkah jumlah ateis di antara kaum muda Italia?


Setelah sarapan pagi saya membuka-buka halaman majalah “La civiltà cattolica”, salah satu majalah terkenal dari para Jesuit di Italia bahkan terkenal juga di seluruh dunia. Saya tertarik dengan judul “Bertambahkah kaum ateis di antara kaum muda Italia?”[1], yang ditulis oleh p. GianPaolo Salvini, sj. Beliau menulis artikel ini berdasarkan hasil penelitian sosiolog agama terkenal di Torino, F. Garelli di mana hasil penelitiannya itu dituang dalam buku, “Piccoli atei crescono. Davvero una generazione senza Dio?” Garelli melakukan penelitian terhadap 1.450 anak muda yang berumur dari 18 sampai 29 tahun.

Kategori ateis, kaum yang tidak percaya, merujuk pada dua tendensi aktual di antara anak muda: sulit memahami atau mengenal hal yang melampaui pengalaman manusiawi; dan kesadaran bahwa mereka tidak membutuhkan Tuhan agar hidup mereka lebih berarti, arti hidup bisa ditemukan pada hal-hal lain tanpa harus memerlukan Tuhan.

Sang sosiolog menegaskan bahwa keadaan ini semakin meningkat di antara kaum muda Italia. Hanya duapuluh tiga persen dari kaum muda yang mengidentifikasikan diri sebagai orang beriman sementara tujuhpuluh persen  sama sekali tidak terlibat dalam hal-hal spiritual. Satu dari empat anak muda sempat berdoa beberapa kali dalam seminggu. Banyak di antara kategori ini yang memelihara hidup spiritual secara pribadi, dengan cara yang dikehendaki, dengan cara yang tidak lazim dalam masyarakat pada umumnya. Tidak lebih dari seperempat dari kaum muda Italia menyatakan diri asing dari kegiatan-kegiatan yang bernuansa rohani. Keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan keagamaan semakin menurun: hanya tigabelas persen yang ikut kegiatan keagamaan dalam seminggu, hanya duabelas persen yang ikut sekali dalam sebulan. Sangat menarik untuk diungkapkan bahwa duapuluh delapan persen dari mereka yang menyatakan diri tidak percaya kepada Tuhan berasal dari lingkungan yang sangat dinamis, punya latar belakang pendidikan yang sangat tinggi dan berasal dari keluarga-keluarga dengan kondisi sosial budaya ekonomi yang terpandang.

Dua wacana yang berkembang untuk menilai keadaan tersebut di atas adalah: pertama, generasi muda ini merupakan generasi pertama yang tidak percaya. Di lain pihak ada wacana lain yang mengidentifikasi kenyataan ini sebagai hal yang melekat berkembang di antara mereka. Dikatakan bahwa kebutuhan akan iman itu sangat sedikit sehingga menyebabkan melemahnya kerinduan untuk percaya pada hal-hal di luar yang konkret.

Dalam konteks kekatolikan diakui adanya anak muda katolik yang sangat yakin dan aktif dalam hal beriman. Namun dalam jangka waktu duapuluh tahun terakhir jumlahnya semakin menurun: dari tigapuluh persen menjadi hampir sebelas persen. Sebaliknya juga terjadi bahwa anak muda katolik karena tradisi dan pengaruh pendidikan katolik semakin meningkat jumlahnya, tapi berada dalam keadaan yang sangat labil karena tergantung pada situasi yang ada; karena orang tua dan keluarga punya tradisi katolik yang kuat, maka sang anak harus ikut tradisi itu. Artinya hidup iman itu belum menjadi sebuah keyakinan dan pilihan personal yang sadar, mau dan tahu. Banyak di antara kategori ini yang menyatakan diri orang katolik, orang gerejani tapi soal iman masih sangat lemah. Mereka masih kuat bernostalgia dengan masa-masa katekese, mereka masih mempunyai gambaran yang negatif tentang Gereja, namum dengan kepemimpinan Paus Fransiskus mereka mulai melihat Gereja yang dekat, peduli dan terbuka kepada keadaan umat.

Orang muda ini sulit menerima dinamika spiritualitas yang bersifat memaksa dan menghakimi. Lalu, pengaruh hidup iman dari keluarga semakin menurun di mana peran ibu, yang dulu besar dalam mendidik iman anak, mulai luntur; sang ibu seakan tidak peduli lagi dengan iman anak. Lebih dari satu anak muda di antara enam anak muda menyatakan bahwa tidak ada satu pun anggota keluarga yang membangkitkan semangat religius dalam satu rumah tangga. Lebih dari setengah anak muda menyatakan bahwa hampir tidak ada lagi doa bersama dalam keluarga. Lebih dari setengah dari keluarga yang tidak beriman memiliki anak yang tidak beriman. Bahkan dalam keluarga beriman pun hanya duapuluh dua persen saja anak-anak mereka yang beriman sungguh-sungguh karena yakin.

Berdasarkan uraian di atas, saya berkesimpulan bahwa besarnya jumlah ateis di kalangan anak muda italia terjadi karena: mereka beriman bukan karena pilihan melainkan karena tradisi “mengaku diri bagian dari Gereja tapi tidak beriman”;  masih kuatnya gambaran Gereja yang negatif di mana dalam katekese sering muncul praksis pemakasaan dan menghakimi; keluarga sudah tidak peduli dengan pendidikan iman anak, sang ibu sibuk bekerja sehingga lupa mendidik iman anak; di rumah jarang ada doa bersama. Dengan bersikap seperti tertulis di atas kita turut menciptakan budaya tidak percaya kepada Allah.



[1] Saduran atas artikel di p. GianPaolo Salvini, sj dalam “La civiltà cattolica” 2/16 settembre 2017, 417-421. Judul aslinya adalah “Aumentano gli atei tra i giovani italiani”?.