Setelah
sarapan pagi saya membuka-buka halaman majalah “La civiltà cattolica”, salah satu majalah terkenal dari para Jesuit
di Italia bahkan terkenal juga di seluruh dunia. Saya tertarik dengan judul “Bertambahkah
kaum ateis di antara kaum muda Italia?”[1],
yang ditulis oleh p. GianPaolo Salvini, sj. Beliau menulis artikel ini
berdasarkan hasil penelitian sosiolog agama terkenal di Torino, F. Garelli di
mana hasil penelitiannya itu dituang dalam buku, “Piccoli atei crescono. Davvero una generazione senza Dio?” Garelli
melakukan penelitian terhadap 1.450 anak muda yang berumur dari 18 sampai 29
tahun.
Kategori
ateis, kaum yang tidak percaya, merujuk pada dua tendensi aktual di antara anak
muda: sulit memahami atau mengenal hal yang melampaui pengalaman manusiawi; dan
kesadaran bahwa mereka tidak membutuhkan Tuhan agar hidup mereka lebih berarti,
arti hidup bisa ditemukan pada hal-hal lain tanpa harus memerlukan Tuhan.
Sang
sosiolog menegaskan bahwa keadaan ini semakin meningkat di antara kaum muda
Italia. Hanya duapuluh tiga persen dari kaum muda yang mengidentifikasikan diri
sebagai orang beriman sementara tujuhpuluh persen sama sekali tidak terlibat dalam hal-hal
spiritual. Satu dari empat anak muda sempat berdoa beberapa kali dalam
seminggu. Banyak di antara kategori ini yang memelihara hidup spiritual secara
pribadi, dengan cara yang dikehendaki, dengan cara yang tidak lazim dalam
masyarakat pada umumnya. Tidak lebih dari seperempat dari kaum muda Italia
menyatakan diri asing dari kegiatan-kegiatan yang bernuansa rohani. Keterlibatan
dalam kegiatan-kegiatan keagamaan semakin menurun: hanya tigabelas persen yang
ikut kegiatan keagamaan dalam seminggu, hanya duabelas persen yang ikut sekali
dalam sebulan. Sangat menarik untuk diungkapkan bahwa duapuluh delapan persen
dari mereka yang menyatakan diri tidak percaya kepada Tuhan berasal dari
lingkungan yang sangat dinamis, punya latar belakang pendidikan yang sangat
tinggi dan berasal dari keluarga-keluarga dengan kondisi sosial budaya ekonomi
yang terpandang.
Dua
wacana yang berkembang untuk menilai keadaan tersebut di atas adalah: pertama,
generasi muda ini merupakan generasi pertama yang tidak percaya. Di lain pihak
ada wacana lain yang mengidentifikasi kenyataan ini sebagai hal yang melekat
berkembang di antara mereka. Dikatakan bahwa kebutuhan akan iman itu sangat
sedikit sehingga menyebabkan melemahnya kerinduan untuk percaya pada hal-hal di
luar yang konkret.
Dalam
konteks kekatolikan diakui adanya anak muda katolik yang sangat yakin dan aktif
dalam hal beriman. Namun dalam jangka waktu duapuluh tahun terakhir jumlahnya
semakin menurun: dari tigapuluh persen menjadi hampir sebelas persen. Sebaliknya
juga terjadi bahwa anak muda katolik karena tradisi dan pengaruh pendidikan
katolik semakin meningkat jumlahnya, tapi berada dalam keadaan yang sangat
labil karena tergantung pada situasi yang ada; karena orang tua dan keluarga
punya tradisi katolik yang kuat, maka sang anak harus ikut tradisi itu. Artinya
hidup iman itu belum menjadi sebuah keyakinan dan pilihan personal yang sadar,
mau dan tahu. Banyak di antara kategori ini yang menyatakan diri orang katolik,
orang gerejani tapi soal iman masih sangat lemah. Mereka masih kuat
bernostalgia dengan masa-masa katekese, mereka masih mempunyai gambaran yang
negatif tentang Gereja, namum dengan kepemimpinan Paus Fransiskus mereka mulai
melihat Gereja yang dekat, peduli dan terbuka kepada keadaan umat.
Orang
muda ini sulit menerima dinamika spiritualitas yang bersifat memaksa dan
menghakimi. Lalu, pengaruh hidup iman dari keluarga semakin menurun di mana
peran ibu, yang dulu besar dalam mendidik iman anak, mulai luntur; sang ibu
seakan tidak peduli lagi dengan iman anak. Lebih dari satu anak muda di antara
enam anak muda menyatakan bahwa tidak ada satu pun anggota keluarga yang
membangkitkan semangat religius dalam satu rumah tangga. Lebih dari setengah
anak muda menyatakan bahwa hampir tidak ada lagi doa bersama dalam keluarga. Lebih
dari setengah dari keluarga yang tidak beriman memiliki anak yang tidak
beriman. Bahkan dalam keluarga beriman pun hanya duapuluh dua persen saja
anak-anak mereka yang beriman sungguh-sungguh karena yakin.
Berdasarkan
uraian di atas, saya berkesimpulan bahwa besarnya jumlah ateis di kalangan anak
muda italia terjadi karena: mereka beriman bukan karena pilihan melainkan
karena tradisi “mengaku diri bagian dari Gereja tapi tidak beriman”; masih kuatnya gambaran Gereja yang negatif di
mana dalam katekese sering muncul praksis pemakasaan dan menghakimi; keluarga
sudah tidak peduli dengan pendidikan iman anak, sang ibu sibuk bekerja sehingga
lupa mendidik iman anak; di rumah jarang ada doa bersama. Dengan bersikap
seperti tertulis di atas kita turut menciptakan budaya tidak percaya kepada Allah.
[1] Saduran atas
artikel di p. GianPaolo Salvini, sj dalam “La civiltà cattolica” 2/16 settembre
2017, 417-421. Judul aslinya adalah “Aumentano gli atei tra i giovani italiani”?.